"Tolong pegang tanganku. Malam itu penuh sukacita dan denganmu di sampingku, aku akan menyanyikan lagu cinta bahkan dalam gelap." Hanam memegang tangan gadis dengan jepit rambut bunga matahari di depannya. "Semua yang kumiliki adalah milikmu. Semua yang dimiliki dunia ini adalah untukmu," imbuhnya.
Gadis berjepit rambut itu menarik jepit rambut yang ada di atas kepalanya. Membuangnya ke lantai.
"Berhenti," teriaknya seraya menutup telinga.
"Sampai saat ini aku tidak bisa menghindari tatapan mataku di kedua dadamu. Namun, aku takut." Gadis itu terisak. Kedua tangan yang telah berada di dada Hanam terus meraba. Tak berhenti bergerak. Membuka satu persatu kancing kemeja hingga tampak apa yang selama ini telah mereka berdua sembunyikan.
"Han, sampai kapanpun aku tetap merasa takut menerima kenyataan bahwa aku selalu mencintaimu Hanami."
"Maaf ..." punggung  bayangan cinta pertama Hanam pergi menjauh dan tak pernah lagi kembali.
Inikah cinta itu? Seperti lampu lalulintas. Cinta adalah sesuatu yang tak memungkinkan, saat lampu hijau menyala, lampu merah mati. Saat lampu merah menyala lampu hijau yang mati. Cinta itu sama egoisnya dengan manusia.
Bayangan beberapa tahun silam itu kembali menyesaki dadanya. Di hadapan tubuh Sanae yang kian membiru. Hanami memeluk tubuh Sanae erat-erat, tubuh perempuan yang telah menjadikannya cinta pertama.
Kesedihan adalah perpisahan yang manis yang 'kan terbawa hilang bersama gerimis.
Surabaya, 20 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H