Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Pertama... Cinta Pertama

20 September 2022   01:42 Diperbarui: 20 September 2022   02:13 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia terbujur lemah di atas bangku penopang tubuhnya yang baru saja kelelahan mengejar mimpi, sementara dari pergelangan tangan mengalir segar harapan yang baru saja diputuskannya.


"Romeo, masihkah akan kautertidur selamanya?" Tangis seorang berambut cepak di sudut ruang. Ia terus mengapai apa saja yang ada di depannya. Namun, tak sekalipun ada yang bisa dipegangnya.
Gadis yang terbujur di atas bangku melayang ke udara, bergerak terus mengangkasa. Menembus awan, matahari tiba-tiba meredup seakan-akan seseorang telah menekan saklar di dekat pintu. Bintang-bintang mulai menampakkan warna indahnya. Kuning, hijau, abu, dan biru menari mengeliling tubuhnya. Sama sekali tak ada reaksi dari gadis berkulit langsat itu meskipun berkali-kali kepalanya terantuk-antuk. Inikah yang dinamakan surga.


"Ah, kau tak asyik. Bukankah tak ada romeo yang berambut panjang, Sanae?" Pada akhirnya Hanam menghentikan drama yang sedari pagi mereka lakukan berdua.
Hanya Sanae yang memiliki mimpi berdiri di atas panggung pagelaran yang panjang dengan lampu penutup dan tepuk tangan penonton akan mengiringi akhir drama tahunan kali ini.


"Agar aku mati dengan ciuman, maka biarkan bibirku mencecap sisa racunmu. Maka kau akan melihatku tertidur berkali-kali."

Kalimat terakhir Sanae yang dibaca olehnya di selarik kertas, di atas meja membuat Hanam mendekat ke wajah gadis itu. Terus mendekat hingga napasnya yang hangat menyentuh pipi putih Sanae yang telah membeku. Dua bibir yang tak lagi bisa berbicara perihal mimpi-mimpi yang terlukis di dada, saling menyatu. Seperti malam dan kehangatannya, sunyi melebur dalam satu dekapan.


***
Tangan cowok berbeda dengan cewek. Kedewasaanya dimulai dari tangan, lihatlah urat-urat pada tangannya. Jelas sekali perbedaannya. Keharmonisan antara perempuan dengan lelaki adalah sebuah hukum alam. Lantas bagaimana dengan sebaliknya? Lalu bagaimana dengan hati Sanae dengan Hanam?


 "Bukankah itu hukum alam semesta?"
 Hanam menatap Sanae di sampingnya. Desir itu datang kembali. Ada yang bilang saat kita jatuh cinta, kita akan merasakan sepasang kupu-kupu di dalam perut kita. Kupu-kupu itu terus bergerak, berputar-putar terbang ke atas dan berhenti di dada. Sesekali keluar serupa kata-kata yang manis.


"Lihat apa kamu," bisik Sanae. "Ikut aku." Gadis itu mengibaskan rambut sebahu yang menghalangi pandangannya dari wajah lucu Hanam. Sementara tangan kanan membimbing mengikutinya.
Di puncak lantai tertinggi gedung sekolah adalah tempat mereka berdua menghabiskan waktu setelah pulang sekolah hingga menjelang malam. Hanam  lebih suka berlama-lama di luar rumah karena rumah dan keheningan  tidak ada bedanya. Sementara Sanae tak sedikitpun memiliki waktu untuk bermanja-manja dengan diri sendiri jika sudah berada di rumah, sebab pekerjaan rumah sebagai seorang kakak dari ketiga adik-adik yang masih balita tentu sangat merepotkan. Hingga berlama-lama di sekolah adalah cara baginya untuk melarikan diri.


"Pelangi suka datang saat gelap, saat semua makhluk hidup di bumi bahagia," lirih suara Hanam sampai ke telinga sanae. "Jika pelangi tampak malam ini, itu berarti orang yang membuatku sedih sedang bahagia tanpaku." Air mata menggenang di sudut matanya.


"Langit sangat biru saat ini, tenang saja pelangi tak akan datang hari ini, Han."


"Terkadang, langit biru juga terluka." Hanam berjalan menuruni tangga sementara Sanae terus mengejarnya dengan berlari-lari kecil. Sanae terus saja melihat punggung Hanam yang menjauh.


***
Sanae berjalan menyusuri pantai dengan ombak yang tak terlalu besar. Terus berjalan menyisakan jejak kaki yang tak terhapus oleh ombak. Di kejauhan tampak Hanam rebah di atas hamparan pasir pantai, mengarahkan wajah ke langit dan sedikitpun tak terusik oleh riak air laut yang menyentuh kedua kakinya. Kedua matanya tertutup, Sanae duduk mendekati wajah itu. Membisikkan kata-kata dengan harapan Hanam mengetahui keberadaannya. Namun, ia tak juga membuka mata.


"Tanganmu begitu lembut dari ribuan kata-kata. Begitu suci hingga tak layak untuk kusentuh dengan bibirku." Ketika tangan Sanae telah menyentuh lembut bibir Hanan tiba-tiba terdengar ketukkan pintu yang membangunkannya dari mimpi.

"Nae, ayo bangun. Bantu ibu memasak." Suara ibu berteriak di balik pintu benar-benar telah merusak mimpi indah gadis itu.


"Ahh,, iya."


Andai ada yang tahu bagaimana cinta telah menemukan tempatnya dan membuat dunia menjadi indah. Sanae ingin melihatnya.

Seseorang pernah bilang jika kau ingin menemukan cinta. Maka tutuplah matamu, bayangkan kau sedang duduk di lautan zamrud yang bersinar. Dengan ombak yang bergemericik dan pantai yang indah, kamu bahagia dan tenang. Putar kepalamu ke samping dan lihat wajah yang tersenyum. Wajah siapakah itu?
"Hanam ...."

Siang ini, sekali lagi Sanae melihat Hanam merebahkan badannya di rerumputan belakang sekolah. Di satu telinganya tertancap sebuah headseat sementara satu sisi lainnya dibiarkan begitu saja. Mata sendu itu terpejam rapat. Ia tak sama sekali terusik dengan kehadiran Sanae. Gadis itu mengambil satu sisi heandset yang terbiar, menancapkan di telinganya sendiri. Lagu someone like you milik Addele membuat suasana siang itu begitu sejuk.


Sanae memainkan bayangan tangannya tepat di atas dada Hanam. Bayangan tangan itu terus bergelak liar menjelajahi leher putih, terus bergerak ke atas menyentuh pipi, dan berhenti di bibir Hanam yang setengah terbuka.


"Aku merasa ada setan di dalam diriku, menunggu untuk merobek tubuhku dan keluar."
"Apa yang kau katakan?" Hanam bertanya sore itu. Tak terasa waktu begitu cepat bagi keduanya.
Hujan tiba-tiba turun, Sanae dan Hanam berlarian menuju gerbang sekolah tempat motor Hanam terparkir. Masih dengan wajah yang dingin melebihi dinginnya hujan kali ini, Hanam memaju motornya kencang-kencang. Membuat kedua lengan Sanae memeluknya erat dan menyandarkan kepala dengan manja di bahu Hanam.


"Han, maukah kauselalu bersamaku?" teriak Sanae dalam deras hujan.
"Dengan satu syarat."
"Apa?" tanya Sanae
"Berjanjilah asalkan kau tidak mencintaiku."
"Ahh ...."
Tiba-tiba semua menjadi dingin melebihi gigil hujan malam ini. Meskipun di rambut gadis itu tersemat jepit rambut matahari yang siang tadi Hanam sematkan. Sama sekali tak menghalau kebekuan hati keduanya.


***

"Tolong pegang tanganku. Malam itu penuh sukacita dan denganmu di sampingku, aku akan menyanyikan lagu cinta bahkan dalam gelap." Hanam memegang tangan gadis dengan jepit rambut bunga matahari di depannya. "Semua yang kumiliki adalah milikmu. Semua yang dimiliki dunia ini adalah untukmu," imbuhnya.


Gadis berjepit rambut itu menarik jepit rambut yang ada di atas kepalanya. Membuangnya ke lantai.


"Berhenti," teriaknya seraya menutup telinga.
"Sampai saat ini aku tidak bisa menghindari tatapan mataku di kedua dadamu. Namun, aku takut." Gadis itu terisak. Kedua tangan yang telah berada di dada Hanam terus meraba. Tak berhenti bergerak. Membuka satu persatu kancing kemeja hingga tampak apa yang selama ini telah mereka berdua sembunyikan.

"Han, sampai kapanpun aku tetap merasa takut menerima kenyataan bahwa aku selalu mencintaimu Hanami."

"Maaf ..." punggung  bayangan cinta pertama Hanam pergi menjauh dan tak pernah lagi kembali.


Inikah cinta itu? Seperti lampu lalulintas. Cinta adalah sesuatu yang tak memungkinkan, saat lampu hijau menyala, lampu merah mati. Saat lampu merah menyala lampu hijau yang mati. Cinta itu sama egoisnya dengan manusia.
Bayangan beberapa tahun silam itu kembali menyesaki dadanya. Di hadapan tubuh Sanae yang kian membiru. Hanami memeluk tubuh Sanae erat-erat, tubuh perempuan yang telah menjadikannya cinta pertama.


Kesedihan adalah perpisahan yang manis yang 'kan terbawa hilang bersama gerimis.

Surabaya, 20 September 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun