Orang-orang yang awalnya menafsirkan ucapan Pak Kepala Desa sebagai pemakluman. Toh selama ini tidak mengganggu atau menggoda orang-orang di kampung, selain itu Emak menjadi satu faktor pemakluman mereka. Jika aku tidak melakukannya siapa yang mau menafkahi segala kebutuhan Emak. Ya biarkan sajalah, batin mereka.
Namun seiring waktu, pemikiran dan pemakluman itu tidak lagi berlaku untukku. Semenjak insiden beberapa hari lalu. Tatkala aku pulang di hantarkan oleh seorang lelaki dengan mobil tepat berhenti di depan rumah, karena kaki kiriku terluka oleh pecahan gelas.
***
Pagi-pagi, orang-orang sudah berkumpul di Balai Desa tidak seperti biasanya setiap berkumpul di sini orang-orang selalu berwajah melas dan kemudian tersenyum bahagia lantaran telah menerima bantuan dari pemerintah. Namun pagi ini wajah-wajah itu hilang entah kemana menyisa tarikan tegas di kening dan suara gemeretak dari kedua gigi geraham yang saling beradu mirip tanduk kerbau di lapangan pertarungan.
"Selama ini saya diamkan saja, karena bagaimanapun Narti dan ibunya tidak pernah sekalipun mendapatkan bantuan dari Pemerintah. Namun itu tidak menjadikan pembenaran dari perilakunya yang menyimpang. Melanggar norma kesusilaan yang ada di masyarakat kita, Pak Kades." Suara lantang perwakilan dari warga kampung mulai berbicara.
"Iya saya tahu, dan saat ini saya juga telah melakukan pemanggilan atas diri saudari Narti," tegas Pak Kades.
"Tunggulah beberapa menit lagi."
Sementara itu di rumah, berita pemanggilan sampai juga di telinga Emak. Itulah yang kukhawatirkan tatkala Kang Amir menyampaikan titah dari Pak Kades dengan suara yang begitu lantang, dan bilah-bilah bambu di rumah ini tidak cukup rapat menutup suaranya. Jangankan menutup suara Amir, nyamuk-nyamuk saja begitu mudah menumpang teduh jika hujan mulai datang setiap malamnya.
"Nar," panggil Emak nyaris tak terdengar.
"Iya, Mak."
"Kenapa kamu berbohong, Nduk?"