Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ke Dalam Memorimu

20 April 2022   11:17 Diperbarui: 20 April 2022   11:25 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hidup sebagai seorang siswa adalah hal yang terburuk. Kita hanya bisa tinggal di dalam kelas dan belajar. Bahkan di dalam cuaca yang sangat bagus seperti ini, orang-orang dewasa pergi berlibur, piknik ke pantai, atau memandang keindahan gunung. Tapi tidak bagi seorang pelajar, apalagi jika masa ujian datang, Astaga ... melelahkan.

"Cuacanya sangat bagus, bukan." Ajakan bolos dari teman-teman kutangkap sebagai sesuatu yang menyenangkan.

"Apakah kau sangat membenci sekolah," tanya salah satu dari mereka. 

"Ya." 

Berempat kita berlari-lari di antara kesunyian kebun Raya Purwodadi yang ada di kota Malang. Kota dingin itu menjadi tujuan bolos kita kali ini.

Aku kira membolos adalah salah satu kehormatan bagi mereka. Namun tidak bagiku, membolos hanyalah sebuah kesalahan yang kusesali hingga saat ini. Lagi pula mereka semua akan melupakanku. Solidaritas antar teman membuatku terjebak melakukan kebodohan-kebodohan yang menjadi akar segala permasalahan saat ini. 

Jika saja saat itu tidak sering melakukannya mungkin nilai akademis yang kuperoleh bisa di atas rata-rata, dengan begitu aku bisa mendapatkan kemudahan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Namun mau bagaimana lagi melepaskan satu hari pelajaran dengan imbalan habisnya dagangan permen dan kacang tanpa menunggu berakhir kelas, masih menjadi iming-iming yang menggiurkan dari mereka. 

Ibu bahkan tidak mau tahu, apakah jempol di jari kaki bisa keluar dari sol sepatu yang saat itu kukenakan. Yang ibu tahu hanya bagaimana perut kami terisi dengan nasi meskipun bukan dengan kualitas prima. Sementara Bapak telah melepaskan tanggung jawab membesarkan kami, aku dan ketiga adikku. Semenjak adik terkecilku lahir Bapak dipanggil Tuhan karena penyakit TBC yang dideritanya. Otomatis sedikit tanggung jawab atas kebutuhan adik-adik menjadi tanggunganku. 

Aku pikir bagaimanapun harusnya saat itu, aku belajar. Bahkan mungkin saat kesempatan belajar itu tidak lagi ada. Kecuali saat kita ingin melupakan segala kehidupan ini. Mungkin lebih baik menyimpan sedikit ilmu pengetahuan sebagai kenangan yang nantinya bisa digunakan di masa depan. 

"Mak, aku lapar?" Suara rengekan bocah di samping menghentikan lamunan panjangku.

"Mungkin air ini bisa sedikit menghilangkan rasa laparmu," bisikku pada Sari. Anak itu hanya cemberut menerima sebotol air yang kubawa dari rumah tadi pagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun