"Seperti yang Nak Anas ketahui, saat ini usia Sumi tidak bisa dikatakan muda lagi. Pastinya akan banyak sekali perbedaan di antara kamu dan dia."
"Apa maksud ibu. Saya dan Mbak Sumi?" ujarnya penasaran.
Kata-kata ibumu tidak hanya membuat penasarannya tapi sekaligus membuat wajah Ustad Mansyur menjadi muram.
"Iya, kamu datang kemari bukannya untuk melamar Sumi untuk menjadi istrimu?"
"Maaf, Ibu salah paham. Saya kesini justru melamar Mbak Sumi untuk bapak saya."
Kau menggeleng, pandanganmu menelusuri wajahnya bergantian dengan lelaki tua di sampingnya. Kau tatap kosong wajah ibumu, rupanya kekecewaan itu tidak hanya ada di hatimu, justru kekecewaan lebih mengubur harapan-harapan ibumu sendiri. Harapan melihatmu mengenakan baju pengantin dan melihatmu menjadi seorang istri.
Kau berusaha menenangkan hati, menghalau air mata agar tak berlompatan keluar. Kau letih setelah beberapa saat lalu di terbangkan angan-angan. Untuk kedua kalinya kau merasakan kebencian kepada dirimu sendiri. Selain daripada menjadi anak pertama dan kini mencintai lelaki yang menginginkanmu hanya menjadi ibunya, istri sambung bagi bapaknya.Â
Kau menunduk lalu memainkan jarimu. Lalu berdiri dan meninggalkan mereka. Tak kau dengar lagi bagaimana akhir pembicaraan lamaran itu.
Yang kau ketahui enam bulan dari malam lamaran itu. Suara cucak lampah mengiringi pertemuan dua pengantin di halaman samping rumahmu. Pernikahannya dengan gadis sepantaran yang sangat dicintainya. Kau lihat tangannya saling melempar beras kuning, dia tersenyum malu-malu. Dadamu berdesir.Â
"Jangan menangis Sumi. Ibu tahu merelakan itu sakit," kata ibumu.
Perlahan kau menutup jendela, tanganmu mengelus pipi. Membuang jatuh air mata yang susul menyusul turun. Seketika kau memalingkan muka, kakimu gemeteran. Ibumu berusaha menghibur, menyanyikan lagu    lalu mencubit pipimu. Seakan-akan kau bocah kecil yang merajuk minta dibelikan gula-gula.Â