Kaumenatap lekat-lekat jendela kamarmu. Suara gerimis teratur mengetuk genteng kaca. Bagimu hujan dan gerimis adalah suara Tuhan yang mengurangi kesepianmu. Kesepian yang mengingatkan pada sosok pria bermata teduh dengan garis bibir yang menyenangkan. Mata itu membuatmu memendam rindu, membangun istana dengan bunga-bunga cinta berwarna-warni. Juga perasaan cinta yang membuatmu lupa sebuah perbedaan.Â
Ragamu senantiasa meremaja, ketika kehangatan kata-kata menyapa. Kaubayangkan bibir lelaki itu mengucapkan janji pernikahan di depan para undangan. Seketika telaga kering di hatimu terisi oleh air hujan. Terasa basah itu merabai seluruh tubuh dan berhenti di bilik jantung.
Kautersenyum ngeri dan tubuh gemetar bukan karena dingin hujan. Kau kembali memeluk diri sendiri seraya merenggut rambut dengan bibir terus melontarkan kata-kata penuh cinta. Kau tak menyadari teriakan melengking itu tak lebih nyaring dari suara tangis ibumu yang berdiri di depan pintu. Tak ada yang mengerti tangismu, bahkan bulan yang pucat pun lebih memilih memahami kemuraman malam.Â
Sejak malam itu kau lebih senang menangis daripada berbicara. Lebih memilih berteriak sekedar mengeluarkan kehendak. Kaumenyesali kelahiran dirimu sebagai anak pertama.Â
***
"Punten, Bu. Ini saya mau melamar putri ibu," ujarnya.
"Ibu senang sekali."
Ia mengawali niat kedatangannya ke rumahmu sore itu. Sementara rona bahagia tak bisa kausembunyikan. Di usia yang tidak mudah lagi, Tuhan masih mengirimkan seorang pemuda yang menginginkanmu untuk berumah tangga. Sebenarnya tidak sekali dua kali lamaran yang sama pernah kau terima saat usiamu masih bisa dikatakan muda. Namun karena tanggung jawab yang harus kautanggung setelah kematian bapakmu, untuk membantu ibu membiayai sekolah ketiga adikmu, membuatmu menolak lamaran-lamaran itu.
Hening ruangan ini, kau cukup bisa mendengar suara detak jantungmu sendiri. Kau lihat senyum dan kemantapan tampak jelas di wajahnya. Sementara lelaki tua di sampingnya justru menatap wajahmu lekat-lekat, adalah bapaknya Ustad Mansyur.
"Apakah bapakmu sungguh benar-benar menyetujuinya, Nak Anas? Sementara banyak sekali perbedaan di antara kalian," kata ibumu memecah keheningan ruangan itu.Â
"Justru bapaklah orang yang paling tidak memperdulikan perbedaan itu, Bu." Lelaki yang disebut bapak olehnya hanya mengangguk dan tersenyum.