Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Tertinggal di Jam Dinding Tua

8 April 2022   21:00 Diperbarui: 8 April 2022   21:02 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak pernah ingin kembali, setelah pergi begitu jauh. Kota Tokyo dengan empat musim membuatku betah berlama-lama di sana. Jika ibu dan bapak tidak berpisah, mungkin saja saat ini aku sedang bermain-main dengan salju di bulan Desember. Di bawah pohon dengan hiasan lampu natal di tengah-tengah kota, tidak di sini.

Mereka berdua tidak pernah mengerti perasaanku. Dengan mudah putusan pisah mereka ambil, setelah hidup 15 tahun bersama. Sebagai anak tunggal di dalam kehidupan mereka tidak ada yang memikirkan perasaanku. Mau tinggal bersama siapa? bagaimana kehidupanku selanjutnya? sama sekali tidak ibu atau bapak pertimbangkan. Jadilah aku di sini, bersama Simbah di kota kecil Blitar. Kota tempat perjuangan tentara PETA di masa penjajahan sebelum kemerdekaan.

Awal ku jejakkan kaki di kota ini, tidak ada yang kuinginkan. Meskipun kata ibu, kota ini tidak kalah indahnya dengan Tokyo dengan penduduk kota yang lebih ramah. Namun tidak seperti yang kurasakan. Di kelas 9 SLTP Negeri 3 aku berada saat ini. Entah bagaimana proses kepindahanku semua sudah diatur oleh ibu.

**

Gerbang sekolah terbuka perlahan meskipun aku belum menyentuhnya.

Krieeetttt ....

Suara besi karatan dan suasana sepi membuat suara pagar terdengar sangat berat. Entah kenapa suasana di sekolah ini begitu sepi padahal jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul 06.30 sementara pelajaran dimulai pukul tujuh.

"Mungkin siswa di sini lebih suka hadir ke sekolah mendekati jam pelajaran dimulai," pikirku.

Kulewati lorong bangunan kelas dengan dinding bercat putih pucat, sebenarnya sekolahan ini lebih mirip dengan bangsal rumah sakit daripada ruang kelas. Bagaimana tidak warna cat yang digunakan terlalu pucat, tak tampak nuansa cerah seperti sekolah-sekolah pada umumnya.

"Ahhh apa peduliku."

Cepat kuarahkan kaki ke ruang kelas, seperti yang diberitahukan ibu dalam telepon kemarin bahwasanya aku duduk di kelas 9A. Seperti yang sudah-sudah ibu hanya mengabarkan tempat dan waktu sekolah melalui telepon. Kota besar Jakarta terlampau kuat menjerat langkahnya untuk mengantarkanku ke sekolah pertama kalinya. Sementara Nenek tidak mampu untuk berjalan beberapa kilometer melewati jalanan kecil di tengah pematang sawah di musim penghujan seperti saat ini.

Beberapa ruangan terlewati, tetapi belum juga kutemui satu orang pun di sini. Mataku terus mencari di mana ruang kelas 9A, sampai pada satu ruangan kulihat seorang gadis sedang bermain gitar. Mataku tak henti melihatnya memetik senar gitar dengan jari-jarinya yang lentik. Rambut hitam sebahu dengan poni samping menutup sebagian muka serta mata yang terpejam membuat wajah gadis itu tampak begitu sedih.

"Mungkin ia terlalu menghayati suara petikan gitar yang sedang dimainkannya," bisik hati kecilku.

Gadis itu terus saja memainkan gitar coklat di pangkuannya. Sedikitpun tak terusik dengan kehadiranku yang masih saja memperhatikan tanpa berkedip. Sampai dua bening kristal jatuh perlahan dari sudut mata dan lagu itu berakhir. Reflek tepuk tangan kuhadiahkan untuk gadis bermata sendu sebagai ciri khas gadis jawa.

Ia melihat ke arahku dan tersenyum. Setelah kurasa ia tak terusik, maka timbul satu keberanian untuk mengenalnya.

"Aku Pasha, murid baru di sekolah ini, kelas 9A. Kamu?" Ku ulurkan tangan meminta pertemanan.

"Arin."

Singkat saja kata yang keluar dari bibirnya, bahkan ia tak menyebut kelas berapa, tapi seragam yang berbeda dengan anak perempuan saat ini membuatku merasa tidak yakin bahwasanya ia seangkatan denganku. Namun begitu aku tak ingin melepaskan moment mengenal lebih jauh teman pertamaku di sekolah ini dengan pikiran-pikiran lain.

"Wah aku kalah jago nih main gitarnya denganmu. Kapan-kapan kita main bareng ya," kataku memujinya. Satu janji pertemuan selanjutnya sekaligus kuutarakan sebagai awal pertemanan.

"Boleh, memangnya kamu punya gitar? Di sini cuma ada satu, atau kamu mau menyanyi saja?"

"Ahh akhirnya dia berbicara lebih panjang," bisik hatiku.

"Hei."

"Ah iya ada. Besok aku bawa ya," teriakku segera meninggalkan Arin setelah beberapa kali kudengar bel pertanda pelajaran segera dimulai.

***

Tak ada kenangan dan keinginan-keinginan untuk tinggal di Tokyo lagi, semua rasa itu hilang semenjak kukenal Arin. Musik telah menjadikan kami dekat. Setiap jam istirahat atau setelah pulang sekolah kami selalu main gitar berdua. Di ruang kesenian, di bawah pohon beringin belakang sekolah, tak jarang di Aula tepat di depan; jam kuno berukuran sebesar lemari berdiri.

"Kamu tahu Pasha, kenapa orang membuat jam selain daripada untuk mengingat akan waktu?" Tanyannya kepadaku suatu siang setelah kita berdua memainkan lagu fur elise.

"Agar kita tidak telat sekolah, makan, tidur, mungkin," jawabku sekenanya, karena aku sesungguhnya tidak tahu kenapa orang membuat jam selain daripada sebagai penunjuk waktu.

"Aahh, selain itu." Wajah Arin tiba-tiba tampak murung.

"Ihh gitu aja ngambek," bisikku lirih. "Aku ngak tahu, beneran."

Arin berjalan, mengarah ke jam tua besar di sudut dalam Aula. Tepat lurus dari kursi panjang tempat biasa kita bermain gitar. Tangan kanan gadis itu mengusap lembut kaca pembingkai angka-angka di jam itu.

"Jam dibuat dengan angka-angka sebagai kenangan, agar kita tidak saling melupakan."

"Ahh ...."

Aku menengok ke samping, kulihat matanya dalam-dalam. Seperti ada slide-slide film yang diputar perlahan.

Bayangan seorang gadis dengan lelaki sedang bernyanyi bersama di ruangan kosong. Di mana si gadis yang memetik gitar dan si lelaki bernyanyi dengan suara merdu. Tergambar dua wajah yang begitu bahagia, gadis itu Arin. Namun lelaki itu bukan aku. Siapakah lelaki itu?

Sampai nyanyian berakhir dan asap putih menyembul dari berbagai ruangan menutupi dua orang yang sedang berbahagia itu. Berapa saat kemudian asap kembali hilang dan menyisakan Arin seorang diri. Kemana lelaki itu? Siapa dia?

Tet ... Tet ... Tet ....

Suara bel istirahat berakhir mengembalikan kesadaranku. Bersamaan dengan itu bayangan gadis dalam bayanganku menghilang, pun demikian dengan Arin sudah tidak ada lagi di sampingku. Menyisa aku sendiri dengan pertanyaan memenuhi kepala.

"Besoklah akan kutanyakan kepada Arin saja," tukasku sebelum kembali kelas.

****

Kudatangi ruang kesenian siang ini, sudah tiga hari Arin tidak tampak di kelasnya. Bahkan seluruh ruangan sekolah telah kuperiksa. Semenjak terakhir kali kita bernyanyi dan berbincang perihal jam dinding di Aula.

"Dia juga tidak ada lagi di sini?" pikirku.

"Kamu di mana sih, aku kangen?"

Tiga hari tak melihat Arin seperti berpuluh-puluh tahu kehilangan. Entah bagaimana perasaan itu tiba-tiba ada di dalam pikiranku, apakah ini karena lelaki yang bersama Arin dalam bayanganku beberapa hari lalu? Entahlah.

Bagiku tidak ada yang memahamiku seperti Arin, meski sebenarnya ada satu teman perempuan di kelas yang memiliki perhatian lebih kepadaku, Ais namanya. Namun entah hanya dengan Arin kubisa bebas bercerita tentang banyak hal.

Seperti pagi tadi, Ais mengajakku ke rumahnya. Kebetulan Nenek Ais adalah salah satu siswa juga di sekolah ini dahulunya. Sebenarnya tidak ada yang penting buatku namun seperti kata simbah, aku harus banyak bergaul dengan teman-teman khususnya yang berhubungan dengan sekolah ini. Dengan demikian akan timbul kecintaanku dengan kota ini.

"Hay," teriak Ais. "yuk kita pulang."

Gadis itu tiba-tiba sudah menggandeng dan mengajakku segera meninggalkan kelas Kesenian.

"Nenekku pasti sudah menunggu, beliau sangat ingin mengenalmu."

"Iya ... Iya ...."

Aku terpaksa mempercepat langkahku guna mengikutinya.

Lamat-lamat kudengar suara denting gitar Arin di kejauhan, ruang kelas yang mulai kosong, bangku-bangku coklat yang beberapa waktu lalu masih diduduki siswa-siswi mendengarkan pelajaran dari guru kini telah tertata rapi.

***

Denting suara gitar di ujung lorong kelas sekolah ini terdengar nyaring. Arin sedang memainkannya seorang diri sementara di pintu aku berdiri mematung memandang punggungnya. Terus memandangnya.

Ketika bel pelajaran berbunyi, aku hendak meninggalkannya untuk kembali ke kelas. Namun tiba-tiba Arin sudah berdiri di belakangku.

"Kamu kembali untukku, kan?"

"Apa, apa maksudmu?"

"Aku mohon jangan pergi!" pinta Arin. "Mainkan lagu kita."

Gadis itu berlari mengambil gitarnya, jari-jemarinya mulai memetik senar gitar kembali. "Ini lagu kita, menyentuh bukan?"

"Terbang, mimpi, harapan, lagu relaksasi,

dulu kau menyukainya bukan. Dulu kau selalu menyanyi setiap kali aku memainkannya."

Gadis itu terus memetik nada dengan sepenuh hati. Lagu itu terdengar begitu sedih di telingaku. Wajah Arin begitu dingin, tak ada lagi senyum di sudut bibir seperti biasanya.

"Aku terus mencarimu tapi tak kunjung kutemukan, sekian tahun aku mencarimu."

Arin menghentikan lagunya, lalu berdiri menghadapku. Tiba-tiba bibirnya yang dingin sudah bersentuhan dengan bibirku. Rasa kaget dan takut ketahuan guru di sekolah ini membuatku mendorong tubuhnya mundur beberapa langkah.

"Ah, maaf ...." kutinggalkan Arin begitu saja setelah bel istirahat berbunyi untuk kedua kali.

**

Sepulang sekolah aku sengaja tidak ke ruang kesenian menemui Arin. Entah kenapa satu ciuman darinya tadi membuatku merasa begitu dingin, tatapan mata menerawang jauh. Aku seperti tidak mengenal Arin lagi.

Semua siswa di kelasku satu per satu meninggalkan kelas. Menyisakan Ais, seperti biasanya kita selalu pulang bareng jika tidak ada kegiatan lain. Karena kami berdua mendapat giliran piket kelas maka Ais menghapus papan tulis, sedangkan aku merapikan meja dan kursi di kelas ini.

"Ais, di sekolah ini apakah ada seorang gadis yang memakai seragam lama dengan rok bawahan lipit."

Ais menghentikan pekerjaannya menghapus papan tulis.

"Ada apa?" tanya Ais ragu-ragu.

"Di sekolah ini apakah ada yang masih memakai seragam sekolah lama." Kuulang pertanyaanku lagi.

"Kamu ngomong apa sih, sekolah ini biarpun tidak sekeren Tokyo. Tapi tidak mungkin membiarkan kesenjangan di antara muridnya begitu saja."

"Aku penasaran saja."

"Mari kita tanyakan ke Nenek," bisik Ais lirih.

Ia kemudian menarik tanganku cepat-cepat meninggalkan kelas yang sebenarnya belum semua kurapikan.

Gemericik suara air di kolam ikan, udara yang sejuk membuatku betah berlama-lama di rumah Ais. Selain itu, cerita nenek Ais tentang kota dan sekolah ini mulai membuatku tertarik. "Mungkin aku bisa bebas bertanya tentang segala hal, khususnya tentang gadis dengan seragam lama itu kepada Nenek Ais," pikirku.

Setibanya di rumah Ais, aku disambut hangat oleh Neneknya. Benar kata ibu kota ini memang penuh dengan keramahan. Pertama Arin, Ais, dan sekarang Neneknya. Meskipun baru pertama kali berkunjung, tetapi keramahannya sudah seperti mengenalku lama.

"Seragam itu ya?"

Nenek berdiri dan berjalan menuju rak buku di ruang belajarnya. Beberapa menit kemudian nenek kembali membawa buku tebal bersampul biru, seperti sebuah buku kenangan.

"Lihat, sekolah kalian dulu adalah sekolah nenek."

Tangan nenek mulai membuka lembar-lembar halaman di dalam buku itu. Tepat seperti perkiraanku, sebuah buku kenangan. Foto-foto bersama seluruh siswa dari tahun ke tahun ada di dalamnya."

"Berarti nenek adalah senior kami."  Tawa keluar dari bibirku dan Ais secara bersamaan.

"Ya, begitulah," jawab Nenek lirih.

"Mungkin tak ada lagi yang tersisa selain daripada buku ini."

Nenek terus membuka lembar-lembar buku hingga berhenti di sebuah halaman dengan huruf besar KELAS 9A TAHUN 1975.

Telunjuk Nenek berhenti di antara dua foto sepasang siswa-siswi.

"Mereka berdua sangat akrab."

"Eh, mereka?" Aku terkejut mengamati dua orang di foto itu.

"Mereka sering kali menjadi bahan perbincangan. Ada yang bilang mereka berkasih-kasihan, ada yang bilang mereka hanya bersahabat. Namun yang pasti mereka selalu berdua, di mana-mana berdua. Yang perempuan suka memainkan gitar mengiringi suara merdu si laki-laki."

Nenek berhenti bercerita, matanya menerawang. Mengingat-ingat segala kejadian puluhan tahun silam.

"Terus Nek,"

Rasa penasaran membuatku ingin selekasnya mendengar cerita nenek.

"Lalu si laki-laki meninggal karena sakit, dan si perempuan ...," lanjut Nenek."

"Si perempuan, Nek?" tanya Ais.

Ternyata tidak hanya aku yang penasaran dengan kelanjutan cerita nenek.

Nenek mengambil napas panjang, kemudian mulai melanjutkan ceritanya.

"Yang perempuan ikut meninggal tidak lama kemudian."

"Eh,"

Kembali aku dibuat terkejut oleh cerita nenek.

"Awal-awal banyak yang membicarakan mereka. Namun pada akhirnya kami menyadari bahwasanya hal itu adalah sesuatu yang lumrah."

"Memang susah menanggung beban perasaan seperti yang ditanggung gadis itu," lanjut Nenek.

Suara jangkrik mulai terdengar, desir angin mengiringi ingatan nenek ke masa silam. Kami bertiga tenggelam ke dalam pikiran masing-masing. Hingga tak menyadari waktu terus berjalan mendekati malam.

"Perempuan dalam foto itu," desahku lirih.

Tiba-tiba angin berembus kencang, menerbangkan daun-daun kering di pelataran rumah Ais. Hujan turun dengan derasnya, aroma petrichor menyeruak sampai ke hidung dan membuat bulu kuduk sedikit berdiri.

"Aku tutup jendelanya, Nek," seru Ais.

"Kok tiba-tiba deras sih, padahal sesorean tidak ada tanda-tanda akan turun hujan."

"Kamu pulang ntar kalau sudah sedikit reda aja, Nak Pasha," kata Nenek.

"Iya, Nek."

****

Suara petikan gitar terdengar kembali. Kulihat mereka sedang memainkannya, tetapi kali ini si pemuda hanya diam duduk tertunduk di sebelah si gadis.

"Petikan gitarmu mungkin tak akan kudengar lagi," kata pemuda itu. "Sampai saat ini biarkan seperti ini."

"Tapi saya tidak bisa hidup tanpa kamu." Si gadis akhirnya bersuara.

"Saya tak akan ke mana-mana. Meskipun tak ada lagi di sini, terus mainkanlah."

Pemuda itu buru-buru menyusut sudut matanya yang mulai tergenang. Ingin sekali ia menangis di pundak gadis di sampingnya, namun bagaimanapun lelaki tak pantas terlihat rapuh di hadapan seorang gadis meskipun itu kekasihnya sendiri.

"Selalu ...."

Rasa penasaran dengan apa yang terlihat membuat langkah kakiku bergerak maju. Sehingga tanpa kusadari ujung kakiku menyenggol kaki kursi di samping pintu. Kembali bayangan sepasang kekasih itu menghilang.

Rasa penasaran membuat Kakiku terus saja melangkah, hingga berhenti di jam besar di sudut Aula. Kuamati satu persatu jarum jam dalam kaca, tak ada sesuatu yang aneh.

"Ada apa?" suara Arin mengagetkanku, ia tiba-tiba sudah ada disampingku.

Aku menoleh, kutatap wajahnya lekat.

"Aku sudah menemukannya," kataku. "Pemuda dalam bayanganku, yang bersamamu. Di foto kenangan lama, di situ wajahmu begitu ceria."

"Jika aku ada di dalam foto itu, berarti juga ada kamu," jawab Arin lirih.

"Kamu salah, pemuda di foto itu bukan aku. Aku adalah aku, bukan yang di foto itu."

Satu butir air mata jatuh di pipiku, aku tak peduli jika Arin melihatku cengeng. Karena sesungguhnya berat apa yang harus kukatakan selanjutnya.

"Namun gadis yang di foto adalah kamu, kamu berasal dari dunia lain. Kamu sudah mati," teriakku

Arin menatapku tajam. Kedua bibirnya mengatup rapat, entah apa yang saat ini ada di dalam pikirannya. Sekilas ada rasa marah, namun rasa sayang masih lebih besar dari kemarahannya itu.

Arin mengambil kedua tanganku lalu berkata, "ayo ikut aku. Banyak yang harus kita lewati berdua."

"Ke duniamu?" tanyaku.

"Ayo ...." Arin menarik saja kedua tanganku. Mengajakku berlari menuju halaman belakang terus keluar menjauhi sekolahan. Melewati semak belukar dan beberapa pepohonan. Hingga sampai di sebuah taman dengan banyak bunga dan kupu-kupu, suara gemericik air menimpa batu, kami berhenti. Entah saat ini aku berada di mana.

"Aku ingin kau mengobati rasa rinduku." Arin kembali bersuara.

"Kamu tahu kenapa aku selalu ada di sini."

Aku menggeleng mendengar pernyataannya.

"Karena selalu menunggunya di sini, dengan mengamati jarum jam mengukir waktu."

"Kamu tahu kenapa aku mengajakmu ke sini," tanyanya sekali lagi.

"Em ...," aku menggeleng kembali.

"Suara gemericik air menimpa bebatuan, kupu-kupu dengan siraman cahaya. Merupakan tempat singgah para peri, dan jika kita berada di sini, ikut bersama mereka menjadi cahaya."

"Ayo peluk aku. Kita akan bersama mereka selamanya." Kedua tangan Arin terulur kepadaku.

Aku tak tahu apa yang menggerakkannya tiba-tiba kedua tanganku telah menyambut uluran tangannya.

"Seru kan, tangan ini adalah satu ikatan. Tak akan terputus, bila hati kita terhubung. Aku sering bermain bersamanya di sini."

"Tapi aku bukanlah orang yang kau maksud." Kulihat wajah Arin berubah sendu. Kilat-kilatan kecil di sudut matanya terlihat jelas karena pantulan sinar matahari.

"Tak apa ... aku hanya ingin dipikirkan, diingat," katanya pelan, "dan kamulah orang yang selalu mengingatku."

"Entahlah, aku tidak tahu."

"Aku tahu," sergahnya. "Kamulah yang selalu menemukanku. Ayo, pergi bersamaku."

"Kamu sangat menyayanginya, tapi aku bukan dia," tegasku sekali lagi.

"Aku selalu menunggunya, namun ia tidak pernah menemuiku. Hingga saat kamu menemukanku, aku menginginkanmu. Ingin selalu berada di sampingmu serta tidak ingin membiarkanmu sendirian."

Kami berdua kembali menyatukan tangan, remasannya begitu dingin. Wajah sendu yang beberapa waktu lalu menaungi parasnya tiba-tiba hilang, dan aku serta merta tak ingin kehilangan dia. Benar-benar tak ingin.

"Pasha," teriak Ais.

"Jangan!"

Ais menarik tanganku dengan kuat. Membuat tautan tangan kami terlepas.

"Kamu tidak boleh membawanya. Bukankah kau hanya ingin dipikirkan, diingat, serta tidak ingin membiarkannya sendirian," teriak lantang Ais kepada Arin.

"Pasha bersamaku, ia tidak sendirian. Kita akan selalu mengingatmu, Pergilah!"

Setelah mendengar teriakan Ais dan melihat tanganku telah terlepas dari genggamannya, Arin berjalan menjauh meninggalkan kita berdua. Sejak saat itu ia tak pernah lagi menemuiku.

Seperti kata Nenek yang kudengar dari Ais, gadis itu hanya ingin membawaku ke dunianya. Sejak kematiannya, Arin selalu mencari teman dari setiap lelaki yang tak bisa membedakan mana dunia nyata dengan dunia maya. Untuk dibawa, setelah itu tak pernah kembali. Walaupun nantinya kembali, pemuda itu tak akan pernah mengingat siapa dirinya lagi.

"Aku takut, " bisik Ais napasnya tertahan. "Aku takut kehilanganmu ...,"

"Eh," kutatap wajah Ais dalam-dalam. Tak pernah terpikir sekalipun kata-kata itu akan meluncur dari bibir Ais.

"Jangan pergi lagi dariku." Anggukan Ais meyakinkan pendengaranku, bahwa tak ada yang salah di telingaku.

"Apa?" tanyaku.

"Sudahlah, terima kasih." Senyum kuhadiahkan kepadanya.

Kita berjalan beriring. Seperti kata orang, terkadang satu kalimat cinta tak cukup untuk mengungkapkan segala perasaan. Saat ini yang sedang kulakukan kepadanya hanyalah saling menjaga.

Hijau dedaunan, embusan angin menghadirkan gemerisik suara ranting-ranting kering.  Matahari mulai beranjak ke peraduan, semburat merah menandakan bahwa hari mulai senja.

"Kami harus pergi," kata pemuda yang biasa kulihat bersama Arin di dalam bayangan.

"Kalian? Kalian akan membawa pergi seseorang lagi." Ais bersuara tegas.

"Kami tidak akan membawa siapapun, kami cuma tak ingin dilupakan."

"Tak ingin dilupakan?" Aku bersuara.

"He'eh, kami hanya ingin kalian ingat bahwa kisah cinta kita pernah ada di sini."

Setelah berkata pemuda itu berjalan menjauh, lalu menghilang. Semenjak kejadian itu Arin tak pernah menemuiku lagi. Tak ada yang berbeda dengan sekolah ini. Rutinitas sekolahan, teman-teman bermain dan bercanda, masih sama. Hanya yang berbeda adalah, aku tidak lagi bermain gitar seorang diri. Di ruang kesenian, Aula, dan di bawah pohon belakang sekolah menjadi satu-satunya kegiatan di luar pelajaran semenjak hari pertama kujejakkan kaki di sekolah ini.

Mulai hari ini Ais selalu menemaniku bermain gitar dan bernyanyi. Lalu berdiri di depan jam tua coklat di sudut ruangan seraya mengenang mereka Arin dan kekasihnya, serta seluruh kenangan di kota ini. Sebelum waktu meninggalkan kita semua.

Surabaya, Maret 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun