Peringatan:Jika di dekat Anda ada anak kecil, tunda dulu baca artikel ini karena di sini ada screenshots twit yang sangat nggak pantas dibaca mereka. Twit-twit itu tidak termasuk twit kasar untuk standar Doktor Yulian Paonganan tapi termasuk sangat kasar untuk sebagian besar orang terutama anak kecil.Terima kasih.
______________________
Bapak Doktor Yulian Paonganan yang terhormat,
Anda berjasa besar dalam hidup saya. Tiap kali membaca twit Anda, diri saya selalu melimpah dengan ucapan syukur,”Untung….Bukan anak gue yang kayak gini…Untung bukan suami gue” dan,tentu saja,”Untung bukan gue…”.
Pak Doktor, akademisi biasanya erat dengan dua hal:Bersikap obyektif dan berpikir kritis. Dua hal ini tak bisa HANYA dipakai saat mengajar dan sebelum atau sesudahnya ditanggalkan. Oleh karena itulah saya takjub melihat twit Anda,seorang dosen, begitu jauh dari dua hal tersebut. Akademisi yang bisa seenaknya menanggalkan dan mengenakan dua hal itu tentulah menderita kepribadian ganda, minimal punya potensi dahsyat untuk itu.
#Analisa abal-abal #Abaikan
Pak Doktor, Twitter adalah ranah publik. Sebagai akademisi Anda punya tanggung jawab moral untuk mencerdaskan masyarakat, bukan hanya dari dalam kelas namun juga dari luar kelas. Akademisi, apalagi bergelar doktor, dituntut untuk punya etika dan etiket yang tinggi, bahkan sangat mungkin lebih tinggi daripada rata-rata masyarakat pada umumnya.
Tuntutan ini lahir karena proses pendidikan yang dialami seseorang bisa dimaknai secara luas, bukan hanya proses belajar di dalam kelas melainkan juga film yang ditonton, pertunjukan politik yang disaksikan, media yang dibaca…Macam-macamlah.
Pak Doktor, Anda jadi akademisi niatnya cari hidup dari dunia pendidikan atau menghidupi dunia pendidikan,sih ? Tidakkah Anda pernah berpikir bahwa sebagai dosen Anda terikat dengan kode etik, yaitu bahwa nama almamater mesti dijaga dan sikap serta kata-kata Anda harus dikelola dengan bijak ? Bukan hanya di kalangan internal, yaitu kampus Anda, melainkan juga di hadapan umum ? Kalau saja Anda kerja di UGM, pasti Anda sudah diseret ke Komisi Etik.Lha cewek yang satu kali menghina warga Yogya dan sultan aja disidang kok, padahal dia ‘hanya’ mahasiswa,bukan dosen, sementara Anda minimal sudah puluhan kali menghina dan memaki sebagian rakyat negara ini, gubernur Jakarta serta presiden Indonesia.
Saya takjub dengan semangat Anda untuk menodai bidang yang selama ini memberi Anda penghidupan. Tidakkah Anda merasa berhutang budi pada kampus dan profesi yang sudah memampukan Anda untuk ‘eksis’ ? Kata eksis ada di dalam tanda kutip karena saya nggak tahu, sebagai manusia Anda itu sesungguhnya eksis atau hanya sekedar ada,sih?
Saya penasaran dengan militansi haters dalam memaki Jokowi dan Ahok . Workaholik, jujur dan cerdas memang kombinasi yang bawa sial bagi para perampok. Apa sekarang Anda lagi marah karena merasa dituduh sebagai perampok atau berminat merampok ? Saya nggak nuduh apa-apa lho Pak soal itu,coba aja cek dari baris pertama. Jangan terlalu sensitif, nanti malahan orang jadi nuduh bahwa Anda beneran mau ngobyek atau ngerampok tapi proposalnya ditolak Jokowi-Ahok.
Pak Doktor yang desain dronenya sungguh memancarkan aura kekinian, berhentilah mencemarkan dunia akademik. Ini wilayah yang semestinya jauh dari prasangka dan kebencian. Ini adalah daerah yang semestinya bebas dari kata-kata rasis dan kalimat pornografis. Pendidikan adalah tempat untuk menumbuhkan etiket dan etika hingga tinggi menjulang, menanam benih toleransi serta bibit perdamaian. Jadi, Anda sebagai akademisi saya tantang (1) untuk mentwit dengan cerdas, kritisi kinerja Jokowi-Ahok dengan logis. Jangan memaki lalu ngeles,”Ahok maki-maki juga!!!” Kebodohan itu mbok ya disembunyikan tho Pakkk...Bukan diumbar:Beliau memaki koruptor, Anda memaki orang yang memaki koruptor, beda ‘kan. Juga (2) jangan bicara porno dan (3) jangan menyebar link berita abal-abal yang diikuti dengan kalimat hasutan.
Sekarang tentang rasisme. Efek rasisme amatlah mengenaskan. Anda akademisi, cobalah cari literatur tentang rasisme, bukan hanya bisa menyampah di dunia maya. Korban perlakukan rasis bisa mengalami penurunan kondisi fisik, hidup dalam ketakutan, merasa inferior lalu depresi. Sementara pelakunya berpotensi untuk melakukan perusakan baik secara mental, fisik serta intelektual karena merasa superior (Contoh terbaik adalah, tentu saja, Anda sendiri). Jadi, saya juga tantang Anda (4) untuk berhenti melontarkan kata-kata rasis. Hentikan mentwit kalimat yang merendahkan etnis apapun, dalam hal ini secara spesifik Anda kerap merendahkan perempuan Tionghoa dan menghina etnis Tionghoa. Bersikeras untuk tetap rasis di era teknologi seperti ini hanya akan membuat Anda jadi salah satu orang yang paling layak dikasihani.
Anda lulusan S3.Dosen IPB,salah satu universitas terbaik di negeri ini.CEO atau direktur.Pembicara seminar.Pemimpin Redaksi. Pencipta drone (Aduh…Gemetar tangan awak ngetik ini…Keren kali lah kau ya…). Saya tantang Anda (5) untuk minta bertemu Ahok agar bisa mendebat beliau tentang mengapa Jokowi dan dirinya tak pantas jadi pemimpin. Doktor dengan kualifikasi sementereng Anda tak pantas hanya berkoar-koar di sosmed. Temui langsung orangnya, tunjukkan bahwa pengecut bukanlah nama tengah Anda. Nggak usah minta ketemu Jokowi, pasti ditolak. Kalo Ahok, walau kansnya menerima Anda hanya 1% tapi tetap ada kans, gitu lho. Kalo Ahok setuju bertemu, mintalah agar rekaman pertemuan jangan diupload ke YouTube, kasihanilah istri dan anak Anda. Kalo Ahok menolak ketemu, Anda bisa ngetwit,”Preman Resmi DKI nggak berani lawan doktor pencipta drone”. Anda akan diundang TVO*e, bisa pajang miniatur drone di meja wawancara, terus banyak yang beli, jadi kaya lalu nyagub dan nyapres, dikalahkan atau mengalahkan Ahok pada 2017 dan Jokowi di 2019.
Tapi sebelum dikalahkan mengalahkan Jokowi dan Ahok , (6) harap Anda mengedukasi masyarakat. Ajarkan warga tentang mengapa Jokowi dan Ahok tak pantas jadi pemimpin. Jika Anda memang benar adalah orang terdidik, fokuskan materi edukasi pada kinerja mereka, bukan pada ras dan agama Ahok. Juga jangan melakukan black campaign tentang Jokowi.
Pak Doktor, akademisi semestinya menyodorkan solusi, bukan jadi bagian dari masalah namun yang Anda lakukan adalah menyebarkan prasangka serta kebencian. Anda minta Ahok pulang kampung karena beliau minoritas ? Orang Toraja lebih sedikit jumlahnya daripada Tionghoa, kenapa tidak Anda saja yang pulang ? Fadli Zon orang Padang dan Padang lebih minoritas daripada Tionghoa, kenapa bukan dia yang Anda suruh pulang ? Seorang doktor kok nggak tau bahwa sebagai sebuah bangsa kita disebut Indonesia, tak ada istilah Jawa Hindu, Batak Katolik, Aceh, Padang berdarah Jerman, Dayak Muslim turunan Tionghoa atau Menado Kristen. Anda nggak tau Bhinneka Tunggal Ika, ya ? Pernah baca teks Sumpah Pemuda ? UU nomor 12 tahun 2006 Pasal 1 ?
Many are schooled but few are educated. Jika enam tantangan di atas tidak Anda penuhi, berarti Anda sebagai dosen bergelar doktor merangkap pemimpin redaksi, pembicara seminar, CEO atau direktur, dan pencipta barang canggih, ternyata hanya termasuk kategori yang pertama: Bersekolah namun tidak berpendidikan.
Rasisme adalah gua persembunyian yang nyaman bagi mereka yang tak percaya diri, ketakutan, dan merasa terancam. Rasisme adalah tempat perlindungan bagi mereka yang merasa kecil dan inferior. Hidup Anda masih panjang, jangan sia-siakan. Carilah konselor, entah rohaniwan yang bisa Anda percaya, psikolog atau psikiater.
Sungguh, saya serius. Saya amat sangat serius.
Jumat, 10/9/2015, jam 15.29 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H