Semua berjalan normal dan sesuai harapan. Kecuali harapan Melisa. Melisa justru berharap layar pemantau detak jantung itu menunjukkan kurva yang membentuk garis lurus. Kalau ia tega, ia ingin sekali menusukkan scalpelyang sekarang ada di tangannya, ke jantung lelaki itu! Lalu menggunting urat nadinya sekalian! Biar segera mampus!
Operasi kali ini sungguh berbeda dengan banyak operasi yang Melisa lakukan. Ada rasa benci, kecewa, sedih, dan marah yang beraduk di dadanya. Saat ini, sepertinya ia harus gagal dan membuat pasien ini tidak selamat dalam operasi di tangannya. Persetan dengan sumpah dokter yang harus berusaha menyelamatkan pasiennya. Toh kalau pasien ini mati, Melisa sudah bersiap dengan defibrillator yang ia gunakan sebagai tameng. Ia akan pura-pura menggenjot defibrillator itu biar terkesan memperjuangkan nyawa si pasien. Jika tetap mati, ya terserah!
Sampai operasi hampir selesai, kurva itu tak juga membentuk garis lurus. Melisa menarik napas. Bukan napas lega, tapi napas kecewa. Kecewa karena pasiennya kali ini gagal mati di tangannya. Ini menyesakkan. Bayangan hal-hal buruk tiba-tiba menyergap. Bayangan Rendra yang lari meninggalkannya, Rendra yang memilih untuk bersama dengan pelacur itu. Semua bayangan maha buruk itu berkelindan di otaknya.
Melisa menatap pasiennya lagi dengan tatapan benci yang kian menjadi. Sembilan tahun ia selalu mengedepankan kesetiaan. Ia abaikan rasa cemburunya yang begitu dalam ketika melihat Rendra bersama wanita-wanita lain. Mencumbu, memeluk, dan mencium mereka di hadapannya.
Hati Melisa berkobar dahsyat. Bibirnya bergetar hebat. Matanya memerah. Ia tak mendengar lagi ketika para asisten medis di dekatnya memanggil-manggil namanya.
Sekejap mata, ia mengepal gunting operasinya dan menikamkan ke dada Rendra secara membabi buta. Darah membanjiri meja operasi seketika. Tubuh Rendra kejang. Seluruh tim panik, sebagian menyeret Melisa menjauh dan sebagian lagi mengerubungi Rendra. Semua di luar perkiraan.
Suster Mia menggosok-gosokkan kedua lempengan defribillator, meratakan gel yang sudah teroles. Kedua tangan suster senior itu bergetar hebat. Alat yang ringan itu mendadak sangat berat di genggamannya.
“Dua ratus joule!” seru suster Mia.
Suster Mia segera menempelkan alat itu pada dada Rendra, yang membuat Rendra terangkat dan terhempas. Mata suster Mia melirik layar pemantau detak jantung, berharap nada lengkingan monitor itu berubah. Berharap kurva lurus itu mau meliuk lagi.
Suster Mia kembali menempelkan alatnya ke dada Rendra. Dan tetap sama. Lengkingan monitor dan kurva monitor itu tak berubah.
“Empat ratus joule!” perintah Suster Mia.