Penyelesaian sengketa melalui keberatan dan pengurangan sanksi menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak yang juga merupakan lembaga yang berwenang melakukan pemeriksaan pajak. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui upaya hukum banding, gugatan, dan judicial review dilakukan melalui pengadilan, di bawah kewenangan pihak ketiga kehakiman.
Putusan pengadilan tentang penyelesaian sengketa pajak
Fenomena dua jalur penyelesaian sengketa ini dapat dikategorikan sebagai perbedaan karakter putusan penyelesaian sengketa oleh dua lembaga yang berbeda: oleh eksekutif dan oleh yudikatif. Penyelesaian sengketa pajak melalui DJP yang merupakan bagian dari eksekutif cenderung tidak netral. Hal ini dapat dimaklumi, karena terjadi perselisihan antara wajib pajak dengan DJP itu sendiri, yang juga merupakan organ eksekutif yang menyelesaikan perselisihan tersebut.
Sementara itu, dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang berada di cabang yudikatif, putusan yang dihasilkan cenderung lebih adil dan objektif. Hal ini merupakan konsekuensi dari status pengadilan sebagai lembaga peradilan. Dengan posisinya sebagai lembaga yudikatif, pengadilan lebih mampu mengambil posisi yang lebih objektif dalam menyelesaikan sengketa antara wajib pajak dan DJP sebagai bagian dari lembaga eksekutif.
Peran pengadilan dalam penyelesaian sengketa ini sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan MA RI No. 5K/TUN/1992 antara D. binti A dkk. dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menegaskan bahwa suatu keputusan pejabat atau badan tata usaha negara tidak boleh bertentangan atau melanggar tatanan hukum yang ada.
Melalui yurisprudensi ini, ditunjukkan bahwa tidak hanya dalam bidang perpajakan tetapi secara umum di Indonesia, suatu keputusan yang dibuat oleh suatu badan atau pejabat tata usaha negara (TUN) yang merupakan lembaga eksekutif, tidak diperbolehkan jika bertentangan dengan tatanan hukum yang ada.
Kesimpulan
Fakta bahwa otoritas pajak sering menjalankan tugasnya hanya berdasarkan kekuasaan eksekutif menciptakan kebutuhan mutlak untuk upaya penyelesaian sengketa tertentu yang dapat diandalkan oleh wajib pajak. Tanpa upaya hukum tersebut, pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak tidak akan dapat berjalan secara optimal, karena belum adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan perpajakan.
Â
Referensi:
Peraturan Direktur Jenderal Pajak - PER-01/PJ/2017