Mohon tunggu...
Mei Juita
Mei Juita Mohon Tunggu... Akuntan - Wata Tnebar

Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si.Ak Universitas Mercu Buana Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Tugas Besar 1 Prof. Dr. Apollo M.Si.Ak: Sengketa Perpajakan

8 April 2022   00:01 Diperbarui: 10 April 2022   23:45 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sub-CPMK 3. Sengketa Perpajakan (CPMK 2)

Sistem perpajakan Indonesia memiliki hierarki peraturan, yang diharapkan dapat menstandardisasi perpajakan secara adil di seluruh Indonesia. Namun dalam praktiknya, otoritas pajak masih dapat gagal menjalankan sistem tersebut secara optimal dan ini berpotensi menimbulkan kontroversi pajak yang diajukan oleh penggugat. Apabila sengketa pajak timbul karena kontroversi tersebut, sebagai bagian dari sistem penyelesaian sengketa, pengadilan pajak dapat menawarkan untuk memberikan penyelesaian sengketa yang adil kepada wajib pajak.

Kontroversi dalam praktik perpajakan

Sesuai dengan sistem perpajakan di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan melalui self assessment, dimana wajib pajak menghitung dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Dalam kasus tertentu, terdapat mekanisme penilaian resmi dimana otoritas pajak/Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara aktif menentukan kewajiban perpajakan wajib pajak melalui penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) atau Surat Ketetapan Pajak (SKP).

 Konstitusi melindungi hak-hak Wajib Pajak berdasarkan Pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang menyebutkan: “Pajak dan pungutan wajib lainnya yang diperlukan untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Salah satu penyebab sengketa pajak adalah otoritas pajak yang terlalu berlebihan dalam menjalankan kekuasaan eksekutifnya, yang bertentangan dengan maksud dari peraturan perpajakan dan/atau hierarki perpajakan. Dengan kata lain, otoritas pajak seringkali menjalankan tugasnya hanya berdasarkan kekuasaan lembaga eksekutif dan cenderung mengabaikan peraturan perpajakan yang seharusnya berlaku sebagai landasan wajib dalam pelaksanaan perpajakan. Fenomena ini menimbulkan kontroversi perpajakan di Indonesia.

Dalam dua ringkasan putusan pengadilan pajak yang sebenarnya berikut ini, dapat dilihat bagaimana pengadilan pajak - sebagai salah satu pemain dalam sistem sengketa pajak - dapat memberikan pemulihan bagi seorang wajib pajak ketika otoritas pajak, yang secara berlebihan menerapkan kekuasaan eksekutifnya, menyebabkan kontroversi pajak seperti itu.

Contoh satu: Sengketa surat internal DJP

Berdasarkan surat internal DJP, menunjukkan bahwa kantor pajak wajib menerbitkan STP PPN atas keterlambatan penerbitan faktur pajak dalam hal Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa PPN. DJP telah melakukan interpretasi terhadap landasan hukum Pasal 14 ayat (1) huruf (d) UU PPN yang berbunyi:

Contoh satu: Sengketa surat internal DJP

Berdasarkan surat internal DJP, menunjukkan bahwa kantor pajak wajib menerbitkan STP PPN atas keterlambatan penerbitan faktur pajak dalam hal Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa PPN. DJP telah melakukan interpretasi terhadap landasan hukum Pasal 14 ayat (1) huruf (d) UU PPN yang berbunyi: (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila: d. pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak, atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;

Berdasarkan fakta tersebut, Wajib Pajak tidak setuju dengan STP yang diterbitkan DJP, dengan alasan dasar hukum yang digunakan DJP berupa surat internal adalah tidak benar, karena tidak sesuai dengan undang-undang PPN.

Untuk STP yang tidak sependapat, Wajib Pajak mengupayakan penyelesaian sengketa dengan mengajukan surat permohonan pengurangan atau pembatalan surat tagihan pajak yang tidak benar kepada DJP, dengan menggunakan landasan hukum Pasal 36 ayat (1) , huruf (c) Tata Cara Umum dan Ketentuan Perpajakan (UU KUP). Hasil dari upaya penyelesaian sengketa ini adalah DJP menolak permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Wajib pajak kemudian menempuh upaya hukum untuk penyelesaian sengketa lebih lanjut dengan mengajukan gugatan terhadap putusan DJP ke pengadilan pajak.

Hasil dari pengajuan gugatan tersebut adalah adanya putusan dari majelis hakim yang mengabulkan seluruhnya gugatan Wajib Pajak karena dasar hukum penafsiran yang digunakan oleh KPP adalah berupa surat intern, yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. undang-undang PPN.

Contoh dua: Perselisihan dalam jangka waktu

Karena tidak sesuai dengan Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar. Dalam proses penyelesaiannya, DJP kemudian menerbitkan surat tentang pemberitahuan hasil penyidikan sebagai tanggapan atas surat permintaan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Wajib Pajak diberi kesempatan untuk menjawab secara tertulis, disertai dengan data, bukti, dan dokumen pendukung, paling lama 10 hari sejak tanggal surat dan untuk menghadiri konferensi penutup. Dalam surat tersebut tidak disebutkan secara jelas apakah artinya 10 hari kerja atau 10 hari kalender. Meski demikian, surat yang disampaikan DJP menyebutkan bahwa jangka waktu 10 hari harus disebut 10 hari kalender dan bukan 10 hari kerja.

Hal ini kemudian menjadi persoalan karena, berdasarkan ketentuan, 10 hari dimaksud, seharusnya 10 hari kerja. Berikut petikan ketentuan yang bersangkutan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 1 Tahun 2017 yang merupakan ketentuan yang mengatur tata cara penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar:

 “Wajib Pajak dapat menyampaikan tanggapan tertulis atas surat pemberitahuan hasil pemeriksaan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 10 hari kerja terhitung sejak tanggal surat pemberitahuan hasil pemeriksaan. pemeriksaan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.

Dalam ketentuan itu, tentang tata cara penyelesaian, dengan jelas disebutkan bahwa jangka waktunya adalah 10 hari kerja. Oleh karena itu Wajib Pajak memiliki dasar yang kuat untuk menyatakan keberatan atas jangka waktu yang disampaikan oleh DJP sebagaimana tercantum dalam surat DJP tersebut.

Upaya hukum yang ditempuh oleh Wajib Pajak adalah gugatan terhadap surat pemberitahuan hasil pemeriksaan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, yang diajukan ke pengadilan pajak. Secara khusus, gugatan tersebut menggugat bahwa DJP tidak memenuhi ketentuan formal dalam tata cara penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Hasil dari gugatan tersebut adalah putusan majelis hakim yang mengabulkan gugatan wajib pajak secara utuh.

Peraturan pajak dan sistem hukum

Khusus untuk perpajakan, Pasal 7 ayat (4) UU 12 Tahun 2011 mengatur jenis lain dari hierarki peraturan perundang-undangan, dan salah satunya adalah undang-undang perpajakan. Secara administrasi negara, otoritas di Indonesia yang bertanggung jawab di bidang perpajakan adalah Menteri Keuangan. Selanjutnya khusus untuk perpajakan, Menteri Keuangan dibantu oleh Dirjen Pajak sebagai struktur pemerintahan di bawah Menteri Keuangan. Hirarki peraturan perundang-undangan perpajakan adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);

2. Hukum pajak;

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

4. Peraturan Pemerintah;

5. Peraturan Menteri Keuangan;

6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak; dan

7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.

Dalam hierarki ini, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah statusnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ini juga menyiratkan bahwa kekuatan hukum dalam peraturan perundang-undangan akan mengacu pada hierarki ini.

Pembuatan peraturan perundang-undangan pada dasarnya dimulai dengan perencanaan, dilanjutkan dengan penyusunan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengesahan, dan publikasi. Selain itu, dalam perencanaan peraturan perundang-undangan juga perlu dilakukan penyelarasan dan penyesuaian dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah dari rancangan undang-undang, sehingga dapat disusun secara sistematis dan tidak terjadi tumpang tindih.

Solusi untuk menyelesaikan sengketa pajak

Dalam hal Wajib Pajak tidak setuju dengan kewajiban perpajakan yang diatur oleh fiskus dalam surat pemberitahuan tersebut, undang-undang KUP memberikan beberapa alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh Wajib Pajak dengan mengajukan keberatan, permohonan pengurangan SKP atau sanksi denda, banding, gugatan , dan/atau peninjauan kembali.

Penyelesaian sengketa melalui keberatan dan pengurangan sanksi menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Pajak yang juga merupakan lembaga yang berwenang melakukan pemeriksaan pajak. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui upaya hukum banding, gugatan, dan judicial review dilakukan melalui pengadilan, di bawah kewenangan pihak ketiga kehakiman.

Putusan pengadilan tentang penyelesaian sengketa pajak

Fenomena dua jalur penyelesaian sengketa ini dapat dikategorikan sebagai perbedaan karakter putusan penyelesaian sengketa oleh dua lembaga yang berbeda: oleh eksekutif dan oleh yudikatif. Penyelesaian sengketa pajak melalui DJP yang merupakan bagian dari eksekutif cenderung tidak netral. Hal ini dapat dimaklumi, karena terjadi perselisihan antara wajib pajak dengan DJP itu sendiri, yang juga merupakan organ eksekutif yang menyelesaikan perselisihan tersebut.

Sementara itu, dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang berada di cabang yudikatif, putusan yang dihasilkan cenderung lebih adil dan objektif. Hal ini merupakan konsekuensi dari status pengadilan sebagai lembaga peradilan. Dengan posisinya sebagai lembaga yudikatif, pengadilan lebih mampu mengambil posisi yang lebih objektif dalam menyelesaikan sengketa antara wajib pajak dan DJP sebagai bagian dari lembaga eksekutif.

Peran pengadilan dalam penyelesaian sengketa ini sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Putusan MA RI No. 5K/TUN/1992 antara D. binti A dkk. dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menegaskan bahwa suatu keputusan pejabat atau badan tata usaha negara tidak boleh bertentangan atau melanggar tatanan hukum yang ada.

Melalui yurisprudensi ini, ditunjukkan bahwa tidak hanya dalam bidang perpajakan tetapi secara umum di Indonesia, suatu keputusan yang dibuat oleh suatu badan atau pejabat tata usaha negara (TUN) yang merupakan lembaga eksekutif, tidak diperbolehkan jika bertentangan dengan tatanan hukum yang ada.

Kesimpulan

Fakta bahwa otoritas pajak sering menjalankan tugasnya hanya berdasarkan kekuasaan eksekutif menciptakan kebutuhan mutlak untuk upaya penyelesaian sengketa tertentu yang dapat diandalkan oleh wajib pajak. Tanpa upaya hukum tersebut, pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak tidak akan dapat berjalan secara optimal, karena belum adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan perpajakan.

 

Referensi:

Peraturan Direktur Jenderal Pajak - PER-01/PJ/2017

https://pajak.go.id/id/penyelesaian-sengketa-pajak.

https://media.neliti.com/media/publications/35233-ID-pengaturan-penyelesaian-sengketa-pajak-di-tinjau-dari-aspek-keadilan.pdf.

https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Yuridis/article/view/163.

https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Yuridis/article/view/163.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun