Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Restui Aku, Bu

23 Juni 2023   18:09 Diperbarui: 23 Juni 2023   18:10 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa lelah  menerpaku karena seharian ini melakukan perjalanan. Tidak membuat mata ini cepat mengantuk untuk terlelap. Aku membolak-balikkan badan. Tiba-tiba pikiran melayang.  Aku masih mengenang suasana kampung yang tenang serta pondok pesantren si Sodiq yang kukunjungi tadi.  Siang tadi aku iseng ikut Pak Tio-- supirku mengantar ponakannya kembali ke pondok setelah satu minggu liburan ke kotaku. Selama itu kami menjadi dekat dan aku banyak belajar dari Sodiq. Banyak ilmu serta hal baru yang aku dapat dari Sodiq. Aku menjadi tertarik tentang pelajaran agama yang selama ini anggapanku hanya angin lalu.

Sebetulnya aku belum puas jika hanya satu minggu saja kebersamaan dengan Sodiq. Rasanya aku ingin mengikuti jejaknya. Bagaimana ia begitu merdu melantunkan ayat suci yang dihafalnya dengan sistem cicil dan setor. Sodiq juga menjelaskan bahwasanya bukan hanya ketenangan tapi banyak hal baik lainnya yang mengikuti jika kita menjadi tahfiz Al-Quran.

Aku berniat esok hari akan meminta izin kepada mama. Meski sedikit ragu. Mama adalah sosok wanita karier dan pekerja keras. Semenjak Papa tiada, perusahaan diambil alih oleh Mama. Mama secara cerdas menjalankan bisnis hingga berkembang pesat. Usaha propertinya bahkan telah membuka cabang di beberapa wilayah tersebar di pulau Sumatera ini. Hal itu membuat Mama terlalu sibuk dan jarang berkomunikasi denganku. Aku remaja yang labil sekolah uring-uringan. Untung saja tidak terpengaruh hal negatif pergaulan. Beberapa waktu lagi kami akan ujian akhir. Momennya akan pas tamat sekolah menengah aku ingin jadi santri saja.

***

Pagi yang cerah, ketika kudapati Bi Sum telah selesai menyiapkan sarapan untuk kami. Aku menuju meja makan sembari menunggu Mama turun. Tak lama kemudian terlihat mama menuruni anak tangga lengkap dengan busana kantoran. Mama dengan gaya trendi berupa celana skinny pants dipadukan dengan baju body fit. Mama begitu anggun dengan sepatu tinggi dan rambut sebahu digerai yang ujungnya berwarna pirang. Mama seperti lebih muda dibanding usia sebenarnya. Tas selempang berwarna coklat susu berada sisi kirinya.

"Hai, handsome. Morning my son." Mama tersenyum memegang puncak kepalaku. Setelah itu bibirnya yang berpoles warna pink mengkilap itu mencium keningku dengan cepat.

"Morning, breakfast?" seruku balas menyapa penuh semangat dengan senyum secerah mentari.

"Oh, sorry. Mama buru-buru. Telat ke kantor. Sarapan sendiri ya. Nanti langsung sekolah diantar  Pak Tio. Ok, Honey. Bye!" Mama mengecup keningku sekali lagi lalu berlalu dengan tergesa-gesa.

Aku menghela napas. Selalu begitu, sulit bagi kami menyatukan waktu untuk bercengkrama. Malam ketika aku sudah terbuai dalam mimpi barulah Mama pulang ke rumah. Bagaimana aku akan mengutarakan keinginanku? Ah, aku kesepian. Andai ada Sodiq aku bisa bercerita dan mengikutinya bangun subuh dan salat berjamaah dengannya menuju masjid terdekat.  Hal ini justru membuat tekadku bulat. Memilih rela terikat aturan pondok pesantren. Pola kehidupan teratur dan menenangkan daripada kesepian tanpa arah seperti ini.

***

"What are you say?" Mama terkejut dengan mata terbelalak.

Aku menyela waktu kesibukannya  pagi ini. Aku tak ingin menunda lagi mengungkapkan keinginanku.

"Bagaimana masa depanmu, Mama sanggup nyekolahin kamu ke tempat sekolah bergengsi dan go Internasional! Mama nggak setuju!"

"Ma ...."

"Sejak bergaul sama si udik Sodiq itu, kamu jadi berubah."

"Ma. Please ... dengarin penjelasan Vano dulu, Ma." Aku memohon dengan wajah memelas.

"Oke, berikan alasanmu." Nada suara Mama sudah mulai melunak.

Aku sedikit lega dan menjelaskan ke Mama alasan serta keinginan hijrah ke arah yang lebih baik. Agama adalah sebagai penuntun kehidupan di dunia hingga akhirat. Tentu saja aku mengutip penjelasan Sodiq kemarin ketika aku bertanya hal yang sama padanya.

"Vano, butuh restu Mama, Ma. Vano ingin menjadi anak yang berbakti serta berguna. Di pondok nanti Vano akan menjadi tahfiz yang kelak akan memakaikan mahkota di kepala Mama di surga. Beri Vano izin, Ma. Karena rido Mama merupakan rido Allah," terangku dengan mata berkaca-kaca.

Aku  bersimpuh meraih tangan Mama. Menciumi dan menempelkan pada pipiku.

"Masya Allah, Nyonya seharusnya bersyukur Nyah." Bi Sumi mendekati kami dengan pandangan mata sayu dan terharu.

"Baiklah, anakku. Jika itu maumu. Mama merestui dan mohon doa untuk kita agar lebih baik. Mama menjadi sadar, memang kita terlalu mengejar dunia, hingga lupa akan alam setelah kematian." Mama meraih pundakku serta menarik diriku pada pelukannya. Alhamdulillah.  Aku akan selalu mendoakan Mama agar mendapat petunjuk dan hidayah, Ma. Aku membatin dalam hati. Agar kita semua bisa berada di jalan yang di Ridhoi-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun