Aku menuju kantin kampus dengan langkah gontai, lemas tak bersemangat. Lagi-lagi memendam kecewa yang ke sekian kali. Pagi sekali, saat mentari belum terlihat, aku bergegas menuju kampus dan janji temu dengan dosen pembimbing. Tetapi, sama seperti kemarin, gagal.Â
Peristiwa dua hari yang lewat, begini.
"Saya lagi ngajar, Wa saja!" Begitu ucapannya ketika aku menelepon dan mencoba meminta waktunya.
"Asalamualaikum, Pak. Saya Asepto, mahasiswa fakultas Sastra yang bimbingan, Pak, mohon maaf, jika saya datang ke kampus, sekitar bakda Zuhur, dan setelah makan siang, apa bisa saya bimbingan sama Bapak ya? Jika Bapak selesai mengajar." Pesan kukirim.
Centang belum biru, mungkin beliau masih sibuk. Menjelang siang ada jawaban.
"Bisa." Balasnya singkat.
Aku datang, rupanya beliau sudah meluncur ke kampus lain tempatnya dia mengajar juga. Beliau memang sibuk mengisi beberapa kampus diperbantukan karena mata kuliah yang beliau ampu masih minim pengajarnya. Apa ia lupa dengan jawaban yang ia nyatakan bersedia jika aku ingin bertemu.
Ah, menjadi orang yang dibutuhkan memang bisa seenaknya saja. Kita harus menyesuaikan dengan kesibukannya. Apa beliau pikir bolak balik ongkos, waktu dan tenaga ini ke sana ke mari nggak ada modalnya kali ya.
Sikap dosen yang selalu mengelak jika mahasiswa ingin bimbingan seakan tidak mendukung dan tidaklah seorang yang profesional.Â
Saat ia memilih profesi sebagai seorang dosen, seharusnya beliau memahami tanggung jawabnya untuk membimbing dan memberikan arahan kepada mahasiswanya.
Bimbingan dan arahan dari dosen sangat penting bagi kami dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman mereka tentang penelitian maupun mata kuliah yang dipelajari. Kami juga ingin cepat lulus serta diwisuda. Plong rasanya jika selesai tepat waktu, keluarga juga pastinya akan senang.Â
Ok, lah, aku coba menggunakan perspektif berbeda mungkin, ini mungkin saja ya. Mengapa dosen tersebut selalu mengelak bimbingan mahasiswa. Salah satunya adalah dosen yang lalai atau tidaksabaran dosen dalam menjalankan tugasnya sebagai pembimbing. Mungkin dia merasa terbebani oleh jumlah mahasiswa yang ingin mendapatkan bimbingan atau merasa lebih berfokus pada penelitian atau kegiatan lain yang mengurangi waktu yang dia miliki untuk membimbing.Lebih baik mengejar yang pasti menambah penghasilan mereka, bisa jadi. Super sibuk.
Namun, tetap tidak dapat diterima dong jika sikap tersebut terus berlanjut. Dosen harus dapat menyediakan waktu dan ruang untuk membimbing mahasiswanya. Jika dia merasa tidak dapat melakukan itu, seharusnya dia memberi tahu mahasiswanya dengan jujur dan memberikan alternatif lain untuk mendapatkan bimbingan seperti mengarahkan mereka kepada asisten dosen atau menjadwalkan waktu yang disediakan secara khusus untuk bimbingan. Minimal jangan main kucing-kucingan dan mempersulit begini.
Hal ini tentunya membuat semangat dan motivasi ku mengendur, muak dan frustasi. Geram juga ada rasanya ingin memaki atau meninju saja.
Mau kutelpon dengan meminta janji lagi, kampus kedua dosen itu terlalu jauh dan juga pastinya beliau sibuk mengajar lagi. Atau apalah aktivitas padatnya disana. Atau kutelpon saja pihak kampusku atau institusi pendidikan bagian yang berwenang untuk menegur dosen tersebut ya. Aku sampaikan keluhan, agar beliau ditegur atau diperingatkan agar tidak mempersulit saja kerjanya.
Beginilah nasib mahasiswa yang berada di semester akhir. Niat mau cepat selesai terkadang terkendala hal ini. Belum lagi desakan orang tua, berondongan pertanyaan dari rekan lain, kerabat.
"Kapan selesainya, lama kali nyusunnya? Si A udah wisuda lho, malah udah mau kerja."
Rasanya hati ini langsung mencelos jika ada yang berujar demikian.
Nasib menjadi mahasiswa mungkin harus melalui rasa sedih, kecewa, tertekan, frustasi, rendah diri, stres, marah, malu, dan putus asa dulukah?
Aku memangku ransel lusuhku di pangkuan. Kuedarkan pandangan  memperhatikan kondisi kantin yang mulai ramai. Mahasiswa-mahasiswi akan mengisi perut mereka. Ada yang berombongan duduknya, berdua, ada yang sendiri saja sepertiku.Â
Suasana riuh diisi dengan cekikikan mahasiswi, dentang sendok garpu yang saling beradu, blender yang berbunyi saat para pembeli inginkan minuman jus dingin.
Aku tertunduk melihat ransel di pangkuan. Warnanya telah pudar, kantong kecil bagian depan resletingnya sudah tak berfungsi baik, kadang macet. Tas yang setia menemaniku kuliah, kuliah dengan modal seadanya tanpa gaya. Hanya otak yang kupunya, baca buku yang banyak. Belajar dengan sungguh-sungguh. Pikirku lebih baik jadi kutu buku dari pada jadi mati kutu.
Andai suatu saat aku menjadi dosen. Aku berjanji akan mengubah pola ini. Dosen yang selalu mempermudah urusan orang lain. Bukankah dalam agama kita dinyatakan barang siapa mempermudah urusan orang lain maka Tuhan akan memudahkan urusannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H