Suami dan istri itu seumpama tubuh dan bayangannya. Dalam agama Islam laki-laki sebagai imam yang menuntun sang istri untuk menjadi lebih baik lagi. Bersama-sama mengarungi rumah tangga saling melengkapi dan mengisi. Tahu akan tanggung jawab masing-masing, terciptanya komunikasi yang baik, tidak saling egois dan menjaga perasaan masing-masing pasangan. Suami yang sholeh itu mempunyai keimanan yang kuat. Memiliki pegangan yang kuat akan ajaran yang menuntun hidup ke syurga dan diridhoi oleh Allah SWT. Akhlak yang luhur serta bekal ilmu agama yang memadai merupakan modal yang sangat penting. Karena hakikatnya seorang istri itu akan mengikuti dan menyesuaikan diri dengan suaminya.
Suami adalah cerminan bagi istrinya. Suami seharusnya adalah teladan bagi istrinya.Sebagai pemimpin dan pengayom bagi istrinya. Suami membantu mengurus rumah dan anak-anak.
Jika lebih dalam lagi kita pahami maka suami adalah jembatan emas bagi istrinya menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Sholehahnya seorang istri bisa terwujud dengan kesalehan seorang suami. Cinta Seorang istri bisa tumbuh subur karena kehangatan tutur kata bicara seorang suami. Kebahagiaan seorang istri bisa muncul karena kasih sayang seorang suami.
Istri adalah ladang amal bagi seorang suami. Sebagai wanita makhluk yang lebih mengandalkan perasaan dan rapuh. Maka air matanya akan mudah jatuh. Suami seharusnya lebih peka dengan keletihan fisik maupun hati sang istrinya. Jika seorang suami menanam kurma maka akan merasakan manisnya kurma.Pun seorang suami menanam rumput maka akan tampak kehamparan hijau yang menyejukkan jiwa. Begitupun sebaliknya apabila seorang suami menjadikan ladang tersebut sebagai pembuangan sampah dan kotoran maka seluruh keluarga ikut menuai aroma busuk. Pun seorang suami kesukaan dan kegemarannya berbuat kebusukan maka segalanya ikut busuk dalam lingkungan keluarganya.
Maka hendaknya setiap pasangan bekerja sama untuk saling asuh asih dan mengasah sehingga terciptanya keluarga yang sakinah mawadah dan rahma. Bahtera rumah tangga yang harmonis memang tak lepas dari masalah dan ujian. Kerja sama tim dan menjalankan perannya masing-masing, intinya semoga rumah kita terlihat pancaran cahaya Illahi di dalam rumah tangga kita semua. Ibadah terlama dan besar pahalanya adalah sebuah pernikahan.
Berikut sebuah cerita, yang mungkin dialami oleh siapapun, entahlah. Berjudul "Tanda Tanganku"
Tanda Tanganku
Aku memandangi dengan lekat, goresan pena yang baru saja dibubuhkan pada kertas selembar dalam map merah.
Ah, hanya coretan yang tak beraturan. Namun, begitu besar artinya. Mewakili identitas diri dan tanda kesepakatan persetujuan atas sesuatu.
Gara-gara tanda tangan bisa mengundang kebahagiaan maupun kesengsaraan. Dunia pun bahkan bisa jungkir balik serta mengubah tatanan wajah bumi.
Beberapa hari merenungi untuk mengambil keputusan yang begitu berat dan akhirnya pagi ini tekadku bulat, tanda tangan kutorehkan pada surat gugatan cerai ini. Meski aku tahu ini tindakan yang sangat dibenci oleh Tuhanku.
Kembali rasa penyesalan itu hadir menyesakkan dada. Andai waktu bisa berputar kembali, mungkin saat ini tak perlu menyalahkan diri sendiri atas keputusan yang kupilih di beberapa persimpangan di masa muda lalu. Nasi telah menjadi bubur, tak bisa mencari dimana terletak salah. Terkadang kembali, tersadar memang mungkin sudah garis tangan jodoh juga oleh sang kuasa.
Cinta telah membutakan hati dan akal. Logika tak lagi bisa menerima jutaan alasan penolakan keluarga atas dirimu. Saat itu hanya bahagia ingin diraih bersamamu, satu-satunya yang bertahta dihati. Nasihat serta arahan orang terdekat diabaikan. Memilih mengikuti kata hati. Bersamamu pergi menjauh dari penghalang cinta kita.
Manisnya pernikahan hanya kureguh diawal saja, setelah buah hati kita lahir. Sifat aslimu keluar dengan berbagai tindak tanduk menyakitkan.
Peran suami tak kau lakoni dengan baik. Hatiku hancur dengan menahan hati. Tak bisa mengadu pada siapapun. Harus menerima resiko atas pilihan sendiri.
Hati ini, sudah saatnya egois, aku ingin lepas dan bahagia. Anak-anak kita sudah besar, semoga saja bisa memaklumi dan menerima keadaan. Alasan selama ini bertahan, demi anak-anak sudah tak bisa kuberlakukan lagi.
Mati rasa tidak pernah terjadi secara tiba-tiba. Proses panjang menggerogoti perkawinan, bukankah sudah kuberusaha dengan hiasan kesabaran telah kuperankan.
Suami merasa semua berjalan normal, namun tiada angin tiada hujan tiba-tiba, mungkin akan kaget setengah mati menerima surat pisah ini.Â
Jangan selalu menyalahkan pihak ketiga tapi lebih ke hati ini yang telah lelah dan mati menimbulkan hambarnya rasa.
Pengorbanan kuselama ini, tak dihargai. Seakan tiada berarti, sering keputusan tanpa melibatkanku, tanpa pertimbangan diskusi komunikasi sering kau ambil sendiri.
Mengenai keuanganmu tak pernah jujur padaku, bahkan untuk biaya hidup rumah tangga kuharus pontang panting menjadi tulang punggung.
Belum lagi, kau tak mau tahu urusan mengurus rumah tangga. Tak ada niatan tanganmu mengerahkan tenaga membantuku mengurus anak dan rumah.
Keluh kesahku tak pernah kau gubris sementara kau menuntutku menjadi istri yang sempurna.
Kasih sayang perhatian tak pernah tercurah darimu untukku dan anak-anakmu. Kau terlalu sibuk dengan duniamu. Sehingga terkadang kita seperti orang asing yang seatap.Â
Maaf, untuk hatiku yang tak mampu lagi bertahan, dan membersamai nahkoda pernikahan yang terlihat hanya indah di luar saja. Di dalamnya begitu tumpah ruah rasa kesakitan ini.
Hidup cuma sekali, lantas untuk apa membersamai orang yang tidak bisa memberikan kebahagiaan?
Pernikahan akan bertahan, selama kedua belah pihak masih sama-sama menginginkan kebersamaan dan jalinan rasa yang saling, bukan hanya sebelah pihak. Luka ini telah menjadi ceruk yang dalam, dan kutak mau mati dengan hati yang juga mati.
Aku meletakkan kertas tersebut diatas nakas dengan hati-hati di samping tempat tidur. Aku pun menuju kamar mandi Bersiap akan berangkat ke pengadilan agama.
Ketika aku keluar kamar mandi, keterkejutan menerpa. Kulihat dirimu berdiri disamping ranjang. Tatapan tajam menghunusku, wajah yang dingin, dengan rahang mengeras. serta sobekan kertas kecil-kecil diantara kaki.
Rasa kebencian seakan menguap, keberanian yang telah kubangun pun sirna. Ternyata aku begitu lemah untuk melangkah, aku sendirian. Tanpa suaramu tercelos dari bibirmu, ku sudah kalah telak. Terdiam, tak bisa lama membalas tatapanmu. Ada kilatan kebencian pada mata itu. Mengigit bibir bawah menuju lemari memilih baju daster yang nyaman. Berlalu menuju dapur bertempur dengan bumbu untuk menu makan siang nanti.
Setidaknya kau tau aku pernah membubuhkan tanda tanganku yang tak sampai ke alamat tujuan. Harusnya menjadikan bahan pemikiranmu. Bahwasanya kutak bahagia selama ini. Mengakhiri ini hanya impian yang berlalu begitu saja. Kembali bertahan pada sumber kesalahan atas diri sendiri. Biarlah dunia tahunya kubahagian dengan pilihan hati.
~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H