Belum lagi, kau tak mau tahu urusan mengurus rumah tangga. Tak ada niatan tanganmu mengerahkan tenaga membantuku mengurus anak dan rumah.
Keluh kesahku tak pernah kau gubris sementara kau menuntutku menjadi istri yang sempurna.
Kasih sayang perhatian tak pernah tercurah darimu untukku dan anak-anakmu. Kau terlalu sibuk dengan duniamu. Sehingga terkadang kita seperti orang asing yang seatap.Â
Maaf, untuk hatiku yang tak mampu lagi bertahan, dan membersamai nahkoda pernikahan yang terlihat hanya indah di luar saja. Di dalamnya begitu tumpah ruah rasa kesakitan ini.
Hidup cuma sekali, lantas untuk apa membersamai orang yang tidak bisa memberikan kebahagiaan?
Pernikahan akan bertahan, selama kedua belah pihak masih sama-sama menginginkan kebersamaan dan jalinan rasa yang saling, bukan hanya sebelah pihak. Luka ini telah menjadi ceruk yang dalam, dan kutak mau mati dengan hati yang juga mati.
Aku meletakkan kertas tersebut diatas nakas dengan hati-hati di samping tempat tidur. Aku pun menuju kamar mandi Bersiap akan berangkat ke pengadilan agama.
Ketika aku keluar kamar mandi, keterkejutan menerpa. Kulihat dirimu berdiri disamping ranjang. Tatapan tajam menghunusku, wajah yang dingin, dengan rahang mengeras. serta sobekan kertas kecil-kecil diantara kaki.
Rasa kebencian seakan menguap, keberanian yang telah kubangun pun sirna. Ternyata aku begitu lemah untuk melangkah, aku sendirian. Tanpa suaramu tercelos dari bibirmu, ku sudah kalah telak. Terdiam, tak bisa lama membalas tatapanmu. Ada kilatan kebencian pada mata itu. Mengigit bibir bawah menuju lemari memilih baju daster yang nyaman. Berlalu menuju dapur bertempur dengan bumbu untuk menu makan siang nanti.
Setidaknya kau tau aku pernah membubuhkan tanda tanganku yang tak sampai ke alamat tujuan. Harusnya menjadikan bahan pemikiranmu. Bahwasanya kutak bahagia selama ini. Mengakhiri ini hanya impian yang berlalu begitu saja. Kembali bertahan pada sumber kesalahan atas diri sendiri. Biarlah dunia tahunya kubahagian dengan pilihan hati.
~