Aku mengacak rambut dan mengusap wajah berulang kali. Seakan oksigen sulit tuk kuhirup, menyesak, ada yang sakit di dada. Tak disangka dalam kehidupanku akan menerima kenyataan yang begitu menyakitkan.
Wanita berbaju agak terbuka itu---istriku, di seberang sana, keluar dari mobil dengan semringah serta berpamitan dengan memberikan tempelan bibir pada pipi kiri kanan pria si pengantarnya. Lalu mereka saling melambaikan tangan.
Entah siapa pria itu, aku pun tak tahu. Beberapa minggu yang lalu bukan berperawakan gendut seperti tadi. Ia selalu bergonta-ganti pria yang mengantarnya pulang setiap fajar akan menyingsing.
Aku menghela napas berat. Menutup kembali gorden yang kusibak karena langkahnya telah hampir sampai ke pintu.
Andai kecelakaan itu tak pernah terjadi. Saat sepeda motor kami dihantam mobil truk yang supirnya mengantuk. Mengakibatkan putra kami yang berusia tiga tahun tewas di tempat. Serasa seluruh raga dan jiwa ini ikut terkubur di liang lahat belahan jiwaku itu. Mengapa tak nyawaku saja direnggut langsung saat itu. Bukna hidup seperti ini,seperti mayat hidup. Kedua kaki diamputasi. Kursi roda setia menemani sepanjang hayat. Aku merasa tiada tujuan hidup. Hati selalu menjerit berkata 'sungguh tak berguna'.
Ketika knop pintu berbunyi dan terbuka.
"Kenapa menungguku pulang?" tanyanya dengan wajah dingin.
"Aku harap, kau mengubah cara mengais rezeki dek, bukan seperti ini. Abang tak rela mesti begini?"Â
"Abang kira gampang mencari duit, hah! Kalau kerja halal, bisa-bisa kita tak makan bang, belum lagi untuk biaya abang terapi setiap bulannya bang, sudah syukur abang tak kucampakkan!" Suaranya bermain di nada-nada tinggi. Menampilkan wajah bengis.
Mulutku terkunci, tak tahu lagi kata-kata yang akan kuucapkan membalas perkataannya. Kalimat itu begitu menyakitkan. Aku bagai seonggok sampah. Entah bagaimana lagi, rasanya menghadapi kelamnya jalan hidup. Ketidak berdayaan ini entah sampai kapan. Putus asa merajai hati. Hiasan lorong sendu mewarnai hari-hari. Tubuhku bergetar, keringat dingin membasahi punggung. Menelan saliva yang serasa pahit. Tertekan dan depresi berat seakan memang telah bertahta di diri ini.
"Maafkan abang, mungkin menjadi bebanmu dek. Abang rasanya tak kuat menanggung ini. Se-la mat- ting-gal."Â
Mengambil pisau dapur yang kuselipkan disamping bokong. Tanganku bergerak cepat menusukkan berulang kali ke perutku.
Aku yang bersimbah darah hanya bisa melihatmu sekilas terkejut. Lalu, berteriak histeris menghampiri, setelah itu gelap. Detik-detik ajal datang menyakitkan, perih. Membawa hati yang juga mati.
~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H