Mika berwajah ayu dengan matanya yang sendu. Sebenarnya Ardi sangat senang mendengar berita kepulangan gadis tersebut. Namun, ia sadar diri dan merasa tak pantas. Apalah diri yang tak memiliki kemampuan yang bisa diandalkan.
Â
"Si Ardi nih paling menyedihkan, sudahlah yatim sejak kecil, hidup melarat keknya betah juga ma dia, masih mendingan kita lagi, ya kan, Yok." Samsul berucap dengan menunjuk ke arah Ardi.
Ardi yang selama ini memaklumi sikap Samsul yang hobi ceplas-ceplos. Tidak kali ini, perkataan Samsul tadi sungguh melukai hatinya. Hatinya panas. Wajahnya memerah menahan amarah. Tanpa berkata-kata, Ardi memutuskan pergi begitu saja. Tanpa menghiraukan kedua temannya.
"Eh, Ar! Mau kemana? Ardi, Ardi!" Tiok memandang Samsul dengan kesal.Â
Tiok berusaha mengejar sahabatnya itu. Ardi tetap melangkahkan kaki dengan lebar tanpa menyahut panggilan Tiok. Sedangkan Samsul hanya mendengus kesal dan tidak merasa bersalah. Pikirnya apa yang ia sampaikan adalah fakta yang dialami si Ardi.
Ardi mendorong pelan, pintu rumahnya yang sedikit terbuka. Bunyi berderit terdengar membuat sontak maknya berpaling serta mengulas senyum padanya.
"Assalamualaikum, Mak."
"Wa alaikum salam, makan malam, ditudung ya."Â
Ardi berlalu menuju dapur. Maknya pun melanjutkan melipat kain. Sempat dilihatnya raut wajah sang anak terlihat muram. Karena penasaran ia memutuskan meninggalkan pekerjaan. Beranjak menyusul ke belakang.
"Di, ada apa? Kelihatanya ada yang mengganjal, wajahmu itu," tanya maknya. Air putih segelas ia letakkan di samping kanan Ardi.