Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apa Gara-gara Hape?

1 Juni 2023   12:11 Diperbarui: 1 Juni 2023   13:20 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: Koleksi Desain Megawati Sorek 

 

 "Kenapa, Nek?Sakit?"tanya Neng Alya ketika ia melewatiku yang sedang mengurut betis karena pegal.

     "Tidak ada, Cung, biasa sudah sepuh. Kamu sudah makan? Itu makanan di tudung sudah siap!" jawabku sambil menunjuk ke meja makan.

     "Iya, Nek. Mama mana, Nek?!" seru Neng Alya sambil menyendok nasi ke piring.

     "Loh, tadi Ibu di kamar. Sepertinya dandan mau siap-siap pergi, atau sudah pergi, ya? Nggak ada pamit," ujarku sambil menatap Neng Alya yang mengunyah seraya menganggukkan kepala.

     Bu Desma---mamanya Neng Alya adalah wanita yang hampir berusia menuju kepala empat, tetapi beberapa tahun terakhir ini kelakuannya seperti remaja putri yang sedang puber. Kerjanya tiada lain asyik dengan ponselnya, yang kusebut dengan benda pipih, karena bentuknya tipis. Waktunya banyak dihabiskan dengan benda tersebut dan bepergian ke luar bersama teman-temannya.

     Pernah kupergoki Bu Desma lama di depan cermin, kukira menghitung kerutan di wajahnya, serta merenung untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ternyata pemikiranku salah. Ia berdandan dengan lama lalu meletakkan benda pipih tersebut di depan wajahnya. Ia pun tersenyum, lalu memajukan bibirnya dengan melakukan banyak gaya  pokoknya.

Cekrek

Cekrek

Cekrek

Begitulah bunyinya. Gaya berpakaiannya pun modis dan wow. Ya, tidak apa juga, sih, namanya wong sugih, ya, 'kan?

     Dulu Bu Desma adalah seorang ibu serta istri yang rajin mengurus rumah tangga, serta penuh kasih perhatian pada keluarga. Kini semua kerja rumah akulah yang mengerjakannya. Dia tiada waktu lagi menolong seperti dulu. Aku hanya terdiam, bengong  memandangi mereka. Aku hanya wanita tua yang dipanggil 'Nenek' oleh mereka, berpuluh tahun mengabdi di rumah ini. Namun, rumah ini tiada seindah dulu, kehangatan, canda tawa, kebersamaan silam telah sirna. Seperti dirampas oleh benda pipih tersebut. Raga mereka bersama. Namun, tidak dengan jiwanya, seperti dunia lain. Ya, mana kumengerti dengan kehebatan benda pipih tersebut, karena mana ada dimasa mudaku dulu.

     Ponsel hanya kecil merek Noki* yang hanya bisa menelepon serta menerima panggilan jika anak serta cucu dikampung menelepon. Neng Alya menyebutnya Hp senter.

     Pernah Neng Alya meminjamkan benda pipih tersebut, dan hebat, sungguh hebat. Aku takjub bisa berbicara tatap muka langsung dengan anak serta cucu-cucuku dikampung. Kutanyakan pada Neng Alya, " Kok, bisa, Cung?

     "Bisalah, Nek, ini namanya  video call. Nek, nanti kalau  Mang Asep mau lihat Nenek langsung bilang, biar Alya video call 'kan lagi, ya, Nek," jelasnya padaku.

     Neng Alya merupakan anak tunggal Pak Surya dan Bu Desma, ia sudah kuanggap seperti cucuku. Sejak ia bayi hingga Ia remaja seperti ini tak lepas dari bantuanku, kurawat dan mengikuti tumbuh kembangnya dengan kasih sayang. Dulu ia sangat dimanja dengan cinta kasih dari kedua orang tuanya. Namun, kini kedua orang tuanya terlalu sibuk. Pak Arya mengurus bisnisnya yang berkembang pesat, sedangkan Bu Desma dengan dunia sosialitanya. Padahal menurutku Neng Alya labil  dan rentan saat ini, dan sangat butuh perhatian orang tuanya, bukan hanya benda pipih itu terus yang menemani dan dimainkannya.

     Aku yang kepikiran, karena khawatir dengan pergaulan Neng Alya. Sering memberinya nasihat serta wejangan semampuku berdasarkan pengalaman hidup yang tentunya sudah jauh  berbeda dengan saat ini, yang kadang tak digubris serta ditanggapi dengan dengusan kesal. Ketahuilah, Cung, inginkan yang terbaik untukmu, Cung.

     Mentari cerah. Namun, tidak di rumah ini, di balik dinding yang menyekat ruang tamu dan ruang TV kuberdiri, mengintip. Suara barang yang terhempas serta keramik hiasan rumah yang pecah berserakan.

     "Siapa yang melakukannya! Jawab!" teriak Pak Arya sambil menunjuk-nunjuk  Neng Alya yang menangis, di pelukan Bu Desma yang juga mengucurkan air mata.

     Tiada jawaban, hening.

     Pak Arya menarik napas dalam, sambil mengurut dadanya. Menahan emosinya yang akan meledak, lalu terduduk bersimpuh.

     "Siapa, Nak? Jawablah, Nak," lirihnya.

     Neng Alya dengan bibir bergetar, dan wajah penuh ketakutan. Memandangi Pak Arya dengan pandangan berkabut karena menangis.

     "Valdo, Pa, pacar Alya," gumamnya dengan suara lemah.

     "Dia, harus bertanggung jawab!  Atau---"

     Entah apa yang diucapkan Pak Arya dan yang terjadi selanjutnya. Aku yang terkejut, kaki tuaku ini  lemas, pingsan. Bolehkah aku menyalahkan benda pipih itu?

~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun