Dari kejauhan terdengar derap hentakan kaki kuda yang ramai. Semua penduduk desa terlihat tegang, memandang ke arah asal suara. Aku pun begitu. Tak lama sosok pria di atas kuda hitam terlihat, hanya sendiri. Semakin mendekati jalan desa, tepatnya pasar ini. Ia mengibaskan bendera dan setelah dekat meniup benda lancip dari tangannya yang berada ditangannya yang satu lagi. Oh, itu bertanda para pembesar kerajaan akan melintasi kampung ini. Semua bersiap berbaris dan meninggalkan aktivitas jual beli. Mereka berjejer membentuk jalur lewat dan menundukkan kepala. Aku menyelip di samping Pak Tua penjual pisang. Hentakan langkah kuda yang seperti berdesakan semakin dekat. Kami tak tahu rupa mereka seperti apa, setelah itu kuda yang ditengah terhenti diikuti kuda yang di belakangnya.
 "Pengawal!" suara bariton pria terdengar khas berwibawa. "Bawa dia kemari!" Itu kalimat perintah, aku tak tahu siapa yang dimaksud. Kami semua masih tertunduk dalam sekapan kegugupan yang menggunung. Balutan ketakutan masih erat mengukung. Dua tangan kekar, tiba-tiba mencengkram kedua lenganku, serta menyeret mengikuti langkah mereka. Kakiku begitu berat, diikuti napas yang sesak. Apa yang akan mereka lakukan? Aku dan mungkin yang lainnya makin menunduk lebih dalam. Dari ujung mata dapat kupastikan aku dipaksa bersimpuh tepat di depan rombongan.Â
"Kisanak, saya tahu seorang wanita, apakah Nyimas seorang mata-mata?" Aku menggeleng cepat, dengan menghentakkan kedua tangan dari pengawal. Aku melakukan hormat, mati aku penyamaran akan terbuka. Belum sempat aku berkata-kata. Lelaki tua penjual pisang di sampingku tadi, telah pun bersimpuh tepat merapat didekatku.
 "Ampun, baginda paduka beribu-ribu ampun, Nyimas ini adalah anak gadis hamba. Sengaja berpakaian seperti lelaki agar tidak diganggu oleh orang jahat." Suaranya bergetar menandakan gugup. Sementara ujung kakinya mencolek ujung kakiku.
 "Angkat wajah kalian berdua!" Paduka raja mungkin ingin melihat wajah kami dengan jelas. Kami melakukan hal yang ia pinta. Capingku masih menutupi mata, hanya memperlihatkan bagian hidung dan bibir.Â
"Caping, buka!" pengawal yang tadi menyeretku yang berada di samping kiri kanan kami dengan cepat menarik paksa capingku. Mataku bersitatap dengan sang penguasa. Sorot tajam itu memandangi dengan penuh amarah.Â
"Adinda! Pulang, keluyuran rupanya selama Kanda berburu!" hardik baginda dengan kesal. Ia telah hafal kebiasaanku yang hobinya blusukan dengan menyamar. Tunggu, apa maksud pedagang pisang itu membuat cerita seakan ingin melindungiku tadi.
 "Tangkap, lelaki tua ini!" Telunjukku mengarah ke sasaran. Gantian, kali ini aku yang memberi intruksi kepada para pengawal.Â
Why?
 ~
Oke, silakan pembaca mengakhiri cerita di atas bagaimana maunya. Padahal sebenarnya diriku tadi bukan hanya blusukan nggak tentu arah melihat para rakyat. Ada tugas khusus lagi yaitu aku pergi ke padepokan secara diam-diam.
Aku merasa wanita yang sangat lemah. Sebagai seorang ratu aku harus bisa ilmu kanuragan.
Pengalaman bertarung melawan pengawal wanita disaat sesi latihan kemarin, membuatku menyadari satu hal. Ilmuku ternyata masih dangkal.Â
Aku telah membulatkan tekad untuk menimba ilmu kanuragan di padepokan Nyai Caping. Seorang pendekar wanita yang mumpuni di dunia persilatan. Sosok hebat yang terkenal dengan julukan 'Pendekar Caping Maut'. Bayangkan, hanya dengan melemparkan capingnya saja, lawannya tiba-tiba jatuh lunglai tak berdaya.Â
Aku harus menjadikan Nyai Caping guruku.Â
Dengan langkah yakin dan tekad, akhirnya aku tiba di gerbang padepokan yang kutuju.Â
Tampak beberapa orang muridnya tengah berlatih ilmu kanuragan di halaman padepokan. Semuanya wanita. Kudengar, Nyai Caping hanya menerima murid perempuan. Bisa dimaklumi sih, akan lebih leluasa tentunya interaksi yang dilakukan.Â
"Permisi," sapaku ramah pada salah satu dari mereka, Ia mengenakan caping lebar dan yang tampak nganggur sebab tak turut serta berlatih, "Nyai Caping ada? Saya ingin bertemu dengan beliau."Â
"Ada perlu apa Nyisanak ingin bertemu dengan Nyai?" sahutnya balik bertanya kepadaku. Matanya tampak menatapku curiga dan tajam.Â
"Saya ingin berguru dengan beliau," jawabku jujur. Wanita itu tampak berpikir sejenak. Lalu tersenyum sekilas.Â
"Akulah Nyai Caping. Baiklah, kamu diterima menjadi muridku, tapi dengan satu syarat," jawabnya mantap. Ah, ternyata dia adalah Nyai Caping, masih muda, bertolak belakang dengan yang kubayangkan selama ini. "Apa kesaktian capingku ini!"
Cuma itu? Mudah sekali.Â
"Membunuh tanpa menyentuh!" jawabku yakin.Â
Nyai Caping tersenyum puas.
"Benar!"
"Lihat ini!" serunya. Ia membuka caping saktinya dan meletakkan pada anak ayam yang kebetulan lewat. Aku memerhatikan dengan antusias. Seperkian detik ia buka caping tersebut. Anak ayam menggelepar tampak di depanku. Hampir semaput mencium aroma busuk dari caping tersebut. Waduh, selama itu dipakai tak pernah dicucikah? Aku membatin dalam hati.
~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H