Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Pegangan

23 April 2023   07:39 Diperbarui: 23 April 2023   07:48 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: Koleksi Desain Megawati Sorek

Aku berlari tunggang langgang tidak mempedulikan kedua kaki yang sakit terpijak bebatuan kecil. Tenaga yang terkuras karena berlari membuatku terengah-engah. Pemandangan temaram dari cahaya langit senja membuatku bingung memilih arah, tak mengenali daerah ini karena tadi mengambil jalur asal saja. Aku menoleh ke belakang berharap orang-orang yang mengejar tak terlihat. Syukurlah! Ketiga orang itu sepertinya kehilangan jejak. Aku harus terus berjalan karena khawatir akan ditemukan oleh para centeng Juragan Tarno. Aku kabur  karena jatuh tempo utang yang tak sanggup untuk dilunasi.

Aku memperlambat gerakan kaki serta menarik napas dalam-dalam, memperhatikan sekeliling dan menyadari  terlihat rerumputan liar dan tumbuhan perdu. Tidak ada permukiman. Apakah aku tersesat? Hatiku mulai diliputi gelisah dan keresahan seiring langit yang makin menuju gelap. Dari kejauhan aku menangkap cahaya redup dari sebuah gubuk kayu yang terlihat samar. Aku pikir, bisakah menumpang pada rumah itu. Aku melangkah mantap menuju rumah tersebut. Semakin dekat terpampang nyata sebuah rumah terkesan tradisional. Aku menapaki undakan  tiga tangga serta mengetuk pintu dengan keras.  

      

"Permisi, apakah saya boleh bertamu?" teriakku. Berharap orang di dalam mendengar ketukan.

Tak lama kemudian pintu berderit. Dari balik pintu seorang nenek bertubuh bungkuk memandangiku  dari ujung kepala hingga kaki.

"Saya tersesat, karena sudah malam bolehkah menumpang sebentar?" Aku mencoba menyapa seramah mungkin. Kedua tangan aku satukan dan kepala  ditundukkan dengan memohon. Perempuan renta itu menyeringai sebentar, lalu membuka pintu dengan lebar. Serta tangannya mempersilakan aku masuk. Aku tersenyum tipis serta langsung duduk pada sebuah kursi rotan. Hanya ada dua kursi dibatasi oleh meja petak di antaranya. Di meja terdapat sebuah cangkir berisi kopi dan lampu minyak kecil. Cahaya inilah yang kulihat tadi dari jendela yang sengaja tak ditutup.

Nenek tersebut berlalu melewatiku menuju ke belakang. Kedua mataku memindai sekeliling. Rumah ini tidak memiliki banyak perabotan. Hanya sebuah lemari satu pintu terletak di sudut ruangan. Tidak  berlansung lama, nenek itu datang dengan membawa segelas air putih di tangannya. Ia meletakkan minuman di atas meja. Ia memperagakan tangan seperti menenggak minuman. Barulah aku menyadari bahwa beliau rupanya tidak bisa berbicara. Aku menganguk dan meminum air sampai habis. Aku tak mempedulikan rasanya yang sedikit aneh karena haus.

Seketika aku terkesiap ketika pergelangan tangan kanan diraih sang nenek. Ia menyematkan sebuah cincin spiral berwarna hitam pada jari manisku. Wajahnya berseri ketika mengetahui ukuran cincin itu begitu pas di jemariku. Belum sempat aku bereaksi mengajukan pertanyaan. Ia menarikku menuju ruangan tertutup bertirai lusuh. Di kamar tersebut terlihat seorang laki-laki tua yang terbaring lemah. Kondisinya terlihat begitu menyedihkan. Siapa pun yang melihat aku jamin akan merasa iba. Tubuh tua itu hanya tulang berbungkus kulit. Pipinya menonjol karena sangat tirus. Mata terbeliak dengan suara erangan halus. Terlihat jelas dadanya turun naik  dengan lambat. Dapat aku simpulkan mungkin lelaki itu adalah suami sang nenek yang sedang sakit.

"Du-duk si-ni, Nak," terbata si kakek berucap.

Kami melangkah mendekati dan aku duduk di sisinya. Nenek pun keluar dari ruangan meninggalkan kami berdua.

"To-long ...." Lelaki itu berhenti berbicara. Napasnya tersengal. Dahinya mengeryit seperti menahan sakit. Sesekali tubuhnya seperti bergetar dengan mata memelotot.

Aku hanya diam terpaku sejurus kemudian tercium aroma pandan.

"Sam-but."

"Maksudnya, Kek?"tanyaku tak mengerti.

"Mau?" Kali ini seperti sekuat tenaga lelaki tua itu mengintimidasiku.

Aku yang bingung dan tak paham apa yang dibicarakan akhirnya menjawab.

"I-ya, Kek!"

Sontak aku terkejut mendapati seketika mulutnya menganga. Perlahan terlihat asap hitam keluar dari mulut si kakek. Matanya berubah berwarna merah. Tubuh tak berdaya itu terentak-entak.  Anehnya tanpa komando dari otak ke saraf motorikku. Mulutku pun ikut terbuka dan menerima asap itu memasuki raga hingga aliran panas terasa menjalari setiap urat pada tubuh. Mataku terbelalak merasakan asap hitam tadi sudah berubah menjadi benda licin. Ular hitam melewati tengorokanku. Sampai ujung ekornya. Aku tumbang, tergolek merasa ngeri dan jijik. Sengatan-sengatan dalam perut membuat tubuhku berguncang hebat. Setelah itu pandangan menjadi gelap dan  aku tak tahu lagi apa yang terjadi.

*** 

"Mas, bangun. Udah siang." Aku mengerutkan kening. Suara lembut istriku terdengar berbisik. Hal pertama yang aku lihat saat membuka mata adalah langit-langit kamar. Aku langsung duduk membuat perempuan di depanku terkejut.

"Loh, kok aku di rumah?" tanyaku.

Kepalaku berdenyut sakit, sesak memenuhi rongga dada. Wanita pendamping hidupku itu mengernyitkan kening. Memandang heran ke arahku.

"Mas, aneh. Malam tadi pulang tanpa bersuara dan langsung tidur," terang istriku sembari berlalu ke luar kamar. Mungkin dia akan menyiapkan sarapan.

Aku kembali mengingat kejadian semalam. Apakah aku bermimpi? Tidak! Aku ingat bagaimana kocar-kacir dan tersesat. Rumah tua, empunya, dan cincin? Aku memeriksa jemari dan ada cincin tersemat. Artinya, peristiwa semalam benar-benar aku alami. Bagaimana nasib mereka? Benakku masih dipenuhi tanda tanya.

Malam berikutnya aku mengalami mimpi didatangi hewan ular hitam besar bermata merah. Ia memerintahkan agar aku melakukan ritual. Setiap purnama pertama awal tahun Hijriah mencuci cincin pemberian itu dengan darah kucing hitam, air perasan jeruk nipis, dan irisan daun pandan. Pada awalnya aku ragu, lalu aku menceritakan pengalaman aneh dan mimpi itu  pada istriku. Ia mendesak aku mencobanya. Akhirnya, seiring hal itu perubahan terjadi dalam hidupku. Tiba-tiba banyak orang yang sungkan dan hormat. Setiap perkataanku seakan titah raja yang harus dilaksanakan.  Bahkan Juragan Tarno dengan antusias bersedia menjadikanku relasi bisnisnya dengan memberikan modal dan mengangap utangku lunas.  Kini, aku bukan lagi seorang yang miskin. Usahaku mulai menapaki kesuksesan. Selalu lancar serta meraih keuntungan yang besar. Hal ini tentunya berkah dari 'pegangan' yang kuperoleh tanpa sengaja.

Sampai kejadian tragis itu terjadi. Saat perjalanan bisnis ke luar kota. Entah mugkin terlalu sibuk, sehingga aku lalai melakukan kewajiban. Malam itu hampir menuju subuh. Tubuhku melayang memasuki alam dimensi yang gelap. Seekor ular hitam besar  bermata merah mengamuk mengigit seluruh tubuhku dengan ganas. Baju yang kukenakan sudah tak berbentuk. Aku merasakan perih yang tak terperi dan makin lemas tak berdaya. Luka kecil-kecil bekas  gigitan mengeluarkan darah yang terus merembes. Seiring dari dalam perut terasa bergejolak seakan-akan mendesak keluar. Banyak cacing dan anak ular bergerak-gerak keluar dari muntahan. Aku terpejam seolah-olah merasakan nyawa terlepas dari badan hingga tersentak.

***

Mataku mengerjap beberapa kali memindai di mana keberadaanku. Kamar dengan suhu dingin. Istriku berada di samping brankar. Wajah sembap itu tersenyum bahagia.

"Mas, sudah sadar. Mas pingsan mengalami kurang darah parah, beberapa kantong darah sudah ditransfusi tadi," jelas istriku.

Aku masih merasakan lemah tak berdaya. Seharusnya hanya bisa bersyukur masih hidup. Atas akibat tidak melakukan ritual rutin. Aku pun teringat bagaimana nasib masa tuaku nanti, jika tiada yang menyambut 'pendampingku' ini. Bisa dipastikan aku akan mengalami penderitaan seperti kakek waktu itu yang begitu tersiksa dan sulit menghadapi sakaratul maut. Ditambah lagi aku pun hingga saat ini tak memiliki ahli waris.  

~

Bionarasi

Megawati lahir  pada tahun 1985 di Tembilahan-Inhil. Kini berdomisili di Desa Angkasa Bandar Petalangan, Pelalawan, Riau.

Jejaknya bisa dilacak di akun Instagramnya yaitu #bundaaliqha. Kicauan serta statusnya terselip di akun Facebook dengan nama Ayue Mega Bunda Aliqha.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun