Aku berlari tunggang langgang tidak mempedulikan kedua kaki yang sakit terpijak bebatuan kecil. Tenaga yang terkuras karena berlari membuatku terengah-engah. Pemandangan temaram dari cahaya langit senja membuatku bingung memilih arah, tak mengenali daerah ini karena tadi mengambil jalur asal saja. Aku menoleh ke belakang berharap orang-orang yang mengejar tak terlihat. Syukurlah! Ketiga orang itu sepertinya kehilangan jejak. Aku harus terus berjalan karena khawatir akan ditemukan oleh para centeng Juragan Tarno. Aku kabur  karena jatuh tempo utang yang tak sanggup untuk dilunasi.
Aku memperlambat gerakan kaki serta menarik napas dalam-dalam, memperhatikan sekeliling dan menyadari  terlihat rerumputan liar dan tumbuhan perdu. Tidak ada permukiman. Apakah aku tersesat? Hatiku mulai diliputi gelisah dan keresahan seiring langit yang makin menuju gelap. Dari kejauhan aku menangkap cahaya redup dari sebuah gubuk kayu yang terlihat samar. Aku pikir, bisakah menumpang pada rumah itu. Aku melangkah mantap menuju rumah tersebut. Semakin dekat terpampang nyata sebuah rumah terkesan tradisional. Aku menapaki undakan  tiga tangga serta mengetuk pintu dengan keras. Â
   Â
"Permisi, apakah saya boleh bertamu?" teriakku. Berharap orang di dalam mendengar ketukan.
Tak lama kemudian pintu berderit. Dari balik pintu seorang nenek bertubuh bungkuk memandangiku  dari ujung kepala hingga kaki.
"Saya tersesat, karena sudah malam bolehkah menumpang sebentar?" Aku mencoba menyapa seramah mungkin. Kedua tangan aku satukan dan kepala  ditundukkan dengan memohon. Perempuan renta itu menyeringai sebentar, lalu membuka pintu dengan lebar. Serta tangannya mempersilakan aku masuk. Aku tersenyum tipis serta langsung duduk pada sebuah kursi rotan. Hanya ada dua kursi dibatasi oleh meja petak di antaranya. Di meja terdapat sebuah cangkir berisi kopi dan lampu minyak kecil. Cahaya inilah yang kulihat tadi dari jendela yang sengaja tak ditutup.
Nenek tersebut berlalu melewatiku menuju ke belakang. Kedua mataku memindai sekeliling. Rumah ini tidak memiliki banyak perabotan. Hanya sebuah lemari satu pintu terletak di sudut ruangan. Tidak  berlansung lama, nenek itu datang dengan membawa segelas air putih di tangannya. Ia meletakkan minuman di atas meja. Ia memperagakan tangan seperti menenggak minuman. Barulah aku menyadari bahwa beliau rupanya tidak bisa berbicara. Aku menganguk dan meminum air sampai habis. Aku tak mempedulikan rasanya yang sedikit aneh karena haus.
Seketika aku terkesiap ketika pergelangan tangan kanan diraih sang nenek. Ia menyematkan sebuah cincin spiral berwarna hitam pada jari manisku. Wajahnya berseri ketika mengetahui ukuran cincin itu begitu pas di jemariku. Belum sempat aku bereaksi mengajukan pertanyaan. Ia menarikku menuju ruangan tertutup bertirai lusuh. Di kamar tersebut terlihat seorang laki-laki tua yang terbaring lemah. Kondisinya terlihat begitu menyedihkan. Siapa pun yang melihat aku jamin akan merasa iba. Tubuh tua itu hanya tulang berbungkus kulit. Pipinya menonjol karena sangat tirus. Mata terbeliak dengan suara erangan halus. Terlihat jelas dadanya turun naik  dengan lambat. Dapat aku simpulkan mungkin lelaki itu adalah suami sang nenek yang sedang sakit.
"Du-duk si-ni, Nak," terbata si kakek berucap.
Kami melangkah mendekati dan aku duduk di sisinya. Nenek pun keluar dari ruangan meninggalkan kami berdua.