Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Kisah Ramadannya Si Anak Broken Home

15 April 2023   07:22 Diperbarui: 15 April 2023   07:33 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri: Koleksi Foto Megawati Sorek Si Anak Broken Home

Tubuhku digoyang-goyang, terasa tangan kasar mengelus pipi.

"Bangun, ayuk, sahur." Suara serak nenek membangunkanku.

Mataku masih berat dan lengket. Aku hanya bergumam pelan dan merekatkan pelukan ke bantal guling.

"Puasa ndak? Buruan bangun. Nanti nenek tinggal, yo,"ucap nenek pelan masih mengelus pipiku.

Aku pun membuka kelopak mata serta mengucek dengan telunjuk dan jempol tangan.

"Iya, Nek," Mataku sudah jelas melihat nenek yang duduk di sisi ranjang. Wanita sepuh itu mengenakan mukena mungkin baru selesai salat tahajud.

"Ayok," Ia berdiri dan keluar menuju pintu kamar yang diikuti oleh pandanganku yang melihat punggungnya yang sudah bungkuk. Aku masih rebahan, termenung. Aku menganti posisi yang tadinya berguling telentang menjadi tengkurap. Aku menyangga dagu dengan tumpukkan punggung tangan. Kasihan nenek di usianya yang seharusnya berisitirahat dan menikmati hari tua. Masih harus merawatku dan berjualan sayur ke pasar pagi setiap hari.

Ah, aku jadi rindu mak dan bapak. Kebersamaan dengan mereka setahun yang lalu kini hanya tinggal kenangan. Usiaku saat itu yang baru menginjak sebelas tahun memang lagi susahnya untuk dibangunkan sahur. Mak dan bapak sampai mengelitikiku. Hingga membuatku menyerah dan mereka berdua terkekeh melihat ulahku yang sewot setelah itu. Saat menjelang berbuka maka bapak akan mengajakku untuk ngabuburit sedangkan mak sesekali saja ikut, karena sibuk mempersiapkan pembukaan puasa.

Aku rindu suasana rumah yang dulu, canda dan kebersamaan tempatku mengadu dan bermanja. Saling bercerita di saat makan, pergi jalan-jalan di saat libur sekolah. Sampai akhirnya perdebatan sering kudengar. Lalu, semakin hari perdebatan itu mulai memanas. Hingga sering kali berlanjut di meja makan.

Kadang tidak sempat lagi bagiku untuk memberi tahu tugas sekolah yang diberikan guru. Karena, jika salah satu dari mereka mulai bicara, pasti akan berdebat dan raut wajah kedua orang tuaku penuh kemarahan.

Aku pikir akan membaik, nyatanya kedua orang tuaku sibuk mengurus sesuatu. Ibu sering menangis sendiri di kamar, tidak begitu perhatian lagi dan banyak diam. Jika aku bertanya tentang bapak yang tidak pulang berhari-hari ia hanya bungkam.

Sekian minggu berlalu, aku di antar ke rumah tua milik nenek--ibunya mak. Kini kami hidup bertiga di rumah ini, nenek dan adik mak ditambah denganku.

Sedangkan bapak kudengar telah menikah lagi. Mak hanya sesekali datang menjenguk. Katanya kerja di rumah majikan di kota yang hanya dikasih libur terbatas.

"Nang, buruan!" Seru Nenek dari arah dapur membuyarkan lamunanku.

Aku bangkit dan berjalan gontai menuju dapur. Kami sahur hanya berdua karena pamanku sahurnya di masjid.

Selesai sahur kami mengaji dan salat subuh. Bersiap menuju pasar untuk mempersiapkan jualan dengan cepat. Walaupun bulan puasa biasanya pasar mulai ramai agak di siang hari. Pengambilan sayur dari juragan meski tetap di awal hari jika tidak bisa saja kehabisan stok.

Suasana pasar selalu ramai apalagi banyak pembeli yang mempersiapkan menghadapi lebaran. Aku membantu nenek, jika sudah selesai akan mendorong  angkong sebagai jasa angkut antar. Untungnya bulan puasa sekolah diliburkan. Aku bisa fokus menolong nenek dan mencari uang. Aku terpaku melihat beberapa anak yang memilih-milih baju lebaran di temani oleh kedua orang tuanya. Aku juga ingin kembali seperti itu, seperti dulu sebelum Bapak dan Mak berpisah.

Takbir berkumandang saat lebaran nanti. Apa aku bisa mengecap kejadian setahun yang lalu. Mengenakan baju seragaman keluarga. Kami ke masjid salat Id, bersalam-salam saling berkunjung. Makanan yang banyak, canda riang, senyum semringah, uang baru nominal kecil yang dibagi-bagikan. Aku dengan senang hati pergi bersama teman-teman membeli mainan dari THR dari Bapak dan Mak. Tanpa sadar air mata mulai mengenang. Cepat aku berlalu dari situ. Rasa iri dengan melihat keluarga yang bahagia memang selalu hadir di hati ini. Bagaimana pun sayatan luka ini seakan tak mau sembuh. Aku sendirian menangungnya. Aku yang terabaikan, aku suka rumah lama, walau nenek baik dan rumah kecilnya memadai tetapi tarkadang masih asing bagiku. Aku ingin mengadu akan kejadian sedih yang kualami. Tentang ejekan teman sekolah, tentang apa pun yang kurasakan pada Bapak dan Mak layaknya seperti dulu.

Adakah anak yang mau berstatus broken home? Tentu tidak ada. Rumah yang nyaman bersama keluarga itu tidak lagi dirasakan. Belaian kasih sudah pun menghilang. Apalagi jika kami dianggap beban. Saudara kerabat dari pihak mak atau bapak keberatan mengurus, dan neneklah yang bersedia. Bahkan kadang keluarga besar bisanya memaki dan meluapkan padaku.

"Dasar bapaknya kawin aja kerjaannya, tak bertanggung jawab."

"Si Dyah juga anak nggak diurus, masak mak yang sudah tua yang menjadi repot."

Kekesalan mereka itu mungkin hanya mereka anggap sepintas lalu. Ucapan yang menguap begitu saja. Tidak bagiku, aku punya hati. Sakit tak terperi bagai tertancap duri. Sesak nyeri di dada berdenyut pedih mereka bukannya melindungi justru membuatku seakan tak berharga diri.

Perceraian dan perpisahan mengapa kalian lakukan? Rasanya ingin aku berteriak meluapkan rasa kecewa. Haruskah kami berdamai dengan takdir. Merasakan sakit sebagai anak yang terlupakan. Keegoisankah ini namanya? Entahlah! Aku yang rapuh akankah mampu menjalani kehidupan, ah, mungkin ini suatu langkah jalan agar kelak dewasa aku akan bertahan dan mengharamkan perceraian! Aku tak kan rela anakku kelak merasakan apa yang kualami. Luka abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun