Kekesalan mereka itu mungkin hanya mereka anggap sepintas lalu. Ucapan yang menguap begitu saja. Tidak bagiku, aku punya hati. Sakit tak terperi bagai tertancap duri. Sesak nyeri di dada berdenyut pedih mereka bukannya melindungi justru membuatku seakan tak berharga diri.
Perceraian dan perpisahan mengapa kalian lakukan? Rasanya ingin aku berteriak meluapkan rasa kecewa. Haruskah kami berdamai dengan takdir. Merasakan sakit sebagai anak yang terlupakan. Keegoisankah ini namanya? Entahlah! Aku yang rapuh akankah mampu menjalani kehidupan, ah, mungkin ini suatu langkah jalan agar kelak dewasa aku akan bertahan dan mengharamkan perceraian! Aku tak kan rela anakku kelak merasakan apa yang kualami. Luka abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H