Aku pikir akan membaik, nyatanya kedua orang tuaku sibuk mengurus sesuatu. Ibu sering menangis sendiri di kamar, tidak begitu perhatian lagi dan banyak diam. Jika aku bertanya tentang bapak yang tidak pulang berhari-hari ia hanya bungkam.
Sekian minggu berlalu, aku di antar ke rumah tua milik nenek--ibunya mak. Kini kami hidup bertiga di rumah ini, nenek dan adik mak ditambah denganku.
Sedangkan bapak kudengar telah menikah lagi. Mak hanya sesekali datang menjenguk. Katanya kerja di rumah majikan di kota yang hanya dikasih libur terbatas.
"Nang, buruan!" Seru Nenek dari arah dapur membuyarkan lamunanku.
Aku bangkit dan berjalan gontai menuju dapur. Kami sahur hanya berdua karena pamanku sahurnya di masjid.
Selesai sahur kami mengaji dan salat subuh. Bersiap menuju pasar untuk mempersiapkan jualan dengan cepat. Walaupun bulan puasa biasanya pasar mulai ramai agak di siang hari. Pengambilan sayur dari juragan meski tetap di awal hari jika tidak bisa saja kehabisan stok.
Suasana pasar selalu ramai apalagi banyak pembeli yang mempersiapkan menghadapi lebaran. Aku membantu nenek, jika sudah selesai akan mendorong  angkong sebagai jasa angkut antar. Untungnya bulan puasa sekolah diliburkan. Aku bisa fokus menolong nenek dan mencari uang. Aku terpaku melihat beberapa anak yang memilih-milih baju lebaran di temani oleh kedua orang tuanya. Aku juga ingin kembali seperti itu, seperti dulu sebelum Bapak dan Mak berpisah.
Takbir berkumandang saat lebaran nanti. Apa aku bisa mengecap kejadian setahun yang lalu. Mengenakan baju seragaman keluarga. Kami ke masjid salat Id, bersalam-salam saling berkunjung. Makanan yang banyak, canda riang, senyum semringah, uang baru nominal kecil yang dibagi-bagikan. Aku dengan senang hati pergi bersama teman-teman membeli mainan dari THR dari Bapak dan Mak. Tanpa sadar air mata mulai mengenang. Cepat aku berlalu dari situ. Rasa iri dengan melihat keluarga yang bahagia memang selalu hadir di hati ini. Bagaimana pun sayatan luka ini seakan tak mau sembuh. Aku sendirian menangungnya. Aku yang terabaikan, aku suka rumah lama, walau nenek baik dan rumah kecilnya memadai tetapi tarkadang masih asing bagiku. Aku ingin mengadu akan kejadian sedih yang kualami. Tentang ejekan teman sekolah, tentang apa pun yang kurasakan pada Bapak dan Mak layaknya seperti dulu.
Adakah anak yang mau berstatus broken home? Tentu tidak ada. Rumah yang nyaman bersama keluarga itu tidak lagi dirasakan. Belaian kasih sudah pun menghilang. Apalagi jika kami dianggap beban. Saudara kerabat dari pihak mak atau bapak keberatan mengurus, dan neneklah yang bersedia. Bahkan kadang keluarga besar bisanya memaki dan meluapkan padaku.
"Dasar bapaknya kawin aja kerjaannya, tak bertanggung jawab."
"Si Dyah juga anak nggak diurus, masak mak yang sudah tua yang menjadi repot."