Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji dan Dendam

15 Maret 2023   17:19 Diperbarui: 15 Maret 2023   17:24 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri : Koleksi Megawati Sorek 2019

Tubuh  Nenek yang hanya tulang berbungkus kulit itu terbaring lemah. Kening wanita renta yang memang sudah banyak berkerut itu terlihat lebih banyak karena mulutnya tak berhenti meringis. Para tim medis sibuk memeriksa keadaannya. Seorang perawat terlihat sedikit kesulitan mencari urat untuk menyuntikkan jarum sebagai media menyalurkan infus. Dokter pun turun tangan, mengarahkan ke bagian lain, karena beberapa kali suntikkan menimbulkan bengkak membiru. Setelah berhasil, infus itu digantungkan ke tiangnya, dokter menyuruhku nanti ke ruangannya menghadap, setelah hasil pemeriksaan bagian organ dalam Nenek selesai.

Aku yang cemas, berdiri di sampingnya. Melihat dengan sedikit mengigit ujung jempolku. Mataku sudah berembun, takut membayangkan hal yang tak diinginkan terjadi. Faktor usia menjadi hal utama sehingga kesehatan Nenek terus menurun. Hari ini dengan gegas harus dilarikan ke rumah sakit.

Berlahan langkahku mendekati, mengengamnya. Tanganku yang satu lagi membelai rambut yang telah memutih itu dengan lembut. Nenek---Ibu dari ibuku inilah yang merawat dan  membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Semenjak ibu berada di rumah sakit jiwa, aku lebih memilih ikut tinggal bersama Nenek dari pada  hidup bersama Papa yang telah menikahi selingkuhannya. Selain ketakutan karena pernah mendengar cerita tentang ibu tiri yang kejam. Aku yang saat itu baru berusia lima tahun juga sudah bisa menilai dan begitu benci kepada wanita yang selalu mengelayut manja di lengan bapakku itu. 

Aku mengerti kehadirannyalah yang telah membuat ibuku sering histeris dan menangis setiap malam. Bahkan melampiaskan amarahnya dengan memukuli tubuhku hingga memar. Terkadang terpikir olehku kenapa Ibu begitu membenciku. Kemana cinta kasihnya dan kelembutan seorang ibu yang dulu tercurah padaku. Setelah dewasa barulah aku mengerti atas pola tingkah lakunya  ketika itu. Puncaknya pada saat malam itu, Ibu mengamuk dengan membawa pisau dapur setelah bertengkar hebat dengan bapakku. 

Aku berpeluh dan gemetaran karena takut, hanya mengintip dari balik pintu kamarku. Tak kusangka malam itu adalah malam terakhir kebersamaan yang kami lalui hidup bersama. Beberapa lelaki dewasa dengan pakaian putih melarikan Ibu dengan mobil ambulans yang meraung-raung. Aku yang bocah hanya mendengar kata orang sekeliling yang mengatakan Ibu mengalami depresi. Tenyata gangguan mental yang dialami Ibu itulah menghantarkannya hingga akhir hayatnya.

"Kemari cung," Nenek berucap lirih. Mata yang berselaput karena sudah mengalami katarak itu menatapku lekat. Tangannya terangkat berlahan mengarah ke telinganya. Aku mendekatkan wajahku dengannya.

"Jangan lupa janjimu, Cung." Bergetar bibir yang tak lagi dihiasi gigi yang lengkap itu berucap.

"I-iya, Nek. Terpenting Nenek sehat terlebih dulu, ya." Aku berusaha menguatkannya memberi semangat dengan mengalihkan pembicaraan lain. Sebisa mungkin agar Nenek tidak membahas janji yang harus kujalankan, aku asal mengiakan saja kemarin. Mengelak terjadinya perdebatan.

"Nenek rasa, udah di ambang mendekati maut. Nenek minta jangan lupa janjimu, Cung," ulangnya lagi. Bibir kering itu mengembang sedikit. Tatapan matanya yang teduh yang selalu membuatku selalu ingin bermanja dengannya.

Aku terdiam, aku hanyut bermain dengan pikiranku. Bagaimana bisa aku memenuhi janji yang begitu sulit untuk aku penuhi. Langkahku sudah separuh jalan, tak mungkin kuhentikan. Sia-sia perjuanganku untuk menghancurkan kehidupan bahagia Bapak dengan keluarga barunya itu. Nenek memintaku untuk tidak membalas dendam kepada menantunya itu. Bapak yang tak pantas disebut orang tua menurutku. Ia yang tega mencampakkanku dan mengakibatkan kematian Ibu yang tragis. 

Tak pernah sekalipun Bapak memperhatikan kehidupan kami. Aku bahkan dianggapnya telah mati seperti Ibu. Aku tinggal dengan Nenek dengan kehidupan materi seadanya. Nenek yang hanya menjadi pembantu, membuatku tumbuh juga dengan keras. Kemiskinan membuatku pribadi yang berjuang mencari receh dengan bergelut kerasnya kehidupan. Rasanya pantas jika aku sakit hati dan akan menghancurkan kehidupan Bapak yang menikmati hasil jerih kerja keras Mamakku ketika menjadi TKW.

"Dendam, akan membuatmu terkurung dengan kebencian, itu juga akan menghancurkan diri sendiri, Cung. Hilangkanlah rasa itu, ingat Allah." Nenek kembali memohon. Dengan susah payah ia mengeluarkan suara dengan diakhiri  menghirup napas dalam.

"Penuhilah, permintaan Nenek!" serunya berusaha menegaskan maksudnya. Karena melihatku yang menatapnya nanar tanpa menyahut perkataannya tadi. Aku masih membisu.

"Satriadi Adiguna!" Nenek memanggil lengkap namaku. Acapkali yang Beliau lakukan jika sedang marah padaku.

Tak ada bantahan yang dapat kuucapkan. Anggukan berlahan menjadi responku yang kutampilkan. Secarik senyum tipis menghiasi wajah pucat Nenek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun