Tak pernah sekalipun Bapak memperhatikan kehidupan kami. Aku bahkan dianggapnya telah mati seperti Ibu. Aku tinggal dengan Nenek dengan kehidupan materi seadanya. Nenek yang hanya menjadi pembantu, membuatku tumbuh juga dengan keras. Kemiskinan membuatku pribadi yang berjuang mencari receh dengan bergelut kerasnya kehidupan. Rasanya pantas jika aku sakit hati dan akan menghancurkan kehidupan Bapak yang menikmati hasil jerih kerja keras Mamakku ketika menjadi TKW.
"Dendam, akan membuatmu terkurung dengan kebencian, itu juga akan menghancurkan diri sendiri, Cung. Hilangkanlah rasa itu, ingat Allah." Nenek kembali memohon. Dengan susah payah ia mengeluarkan suara dengan diakhiri  menghirup napas dalam.
"Penuhilah, permintaan Nenek!" serunya berusaha menegaskan maksudnya. Karena melihatku yang menatapnya nanar tanpa menyahut perkataannya tadi. Aku masih membisu.
"Satriadi Adiguna!" Nenek memanggil lengkap namaku. Acapkali yang Beliau lakukan jika sedang marah padaku.
Tak ada bantahan yang dapat kuucapkan. Anggukan berlahan menjadi responku yang kutampilkan. Secarik senyum tipis menghiasi wajah pucat Nenek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H