Sering, sebelum tidur aku  menutup wajah dengan bantal , memegang dada untuk merasakan debar jika baru saja bertemu dengannya siang tadi. Ingatan terus memutar memori kebersamaan dengannya. Senyum terus merekah tanpa bisa ditahan. Rasanya, cinta memang sudah menguasai, apa aku seperti orang gila? Mungkin saja, iya. Bang Bian bagai candu untukku.
***
"Kak, lho, kok Bang Bian, nggak ikut ngumpul?" tanyaku pada kak Riska yang melaluiku ketika aku telah menunggu di teras rumah.
Perempuan berambut pendek itu tersenyum penuh arti, kali ini ia mengenakan baju kemeja dipadu celana jeans dan sepatu kets.
"Ia, lagi sibuk ngebantuin, ikut persiapan pameran lukis yang akan pamannya ikuti," jawab Kak Riska diikuti anggukan dari  teman-temannya.
Aku lemas, kecewa tidak bisa bertemu dengannya hari ini, padahal semalam begitu menyiksa membendung rindu.
"Cie, ada yang rindu nih," ucap kak Riska membuatku terkesiap. Mungkin pipiku memerah saat ini.
"Apaain, sih, Kakak, ni," elakku sembari meninggalkan mereka yang mulai sibuk bersenandung, karena salah satu dari mereka mulai memetik gitar.
Setelah mendekati  senja, langit mulai diwarnai semburat jingga.  Terdengar deru sepeda motor yang semakin menjauh, Kak Riska dan teman-temannya bubar.  Akunya uring-uringan dan malas-malasan rebahan di kamar.
"Hei, lagi ngapain?" Tiba-tiba kepala Kak Riska menyembul di balik pintu.
"Nggak ada, cuma main ponsel, ada apa, kak?" Keningku berkerut dan mengambil posisi duduk bersila.