Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah Inspiratif: Terkadang Kado yang Diberi Tuhan Tidak Selalu Terbungkus Indah

6 Maret 2023   18:17 Diperbarui: 6 Maret 2023   18:27 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah ini adalah perjalanan yang aku lalui dan  semoga saja memberi pembelajaran dan hikmah untuk orang lain. Baiklah, cerita bermula  pada saat aku masih gadis. Sebut saja namaku Mawar, lulusan sarjana ekonomi dan berhasil kerja sebagai teller di sebuah bank swasta. Aku anak bungsu, dari tiga bersaudara. Kedua abangku sudah berkeluarga. Di rumah tinggal aku dan ibuku. Aku kuliah dibiayai oleh abangku, tetapi setelah bekerja maka diri ini dan ibu telah bisa mandiri memenuhi kebutuhan hidup.

Aku yang memiliki tubuh yang proporsional dan didukung wajah yang cantik begitu kata orang-orang. Maka tidak sulit bagiku memiliki kekasih. Pria baik dan karismatik itu bernama Sandi ia  seorang karyawan di sebuah showroom  mobil. Walaupun hanya seorang karyawan biasa, ia sangat pekerja keras dan mandiri. Selain itu yang kusukai darinya adalah mengayomi dan penuh kasih sayang.  Aku yang sedari kecil haus kasih sayang seorang ayah sangat mencintai Sandi. Kami berpacaran hampir tiga tahun, Sandi sedang menabung dan mempersiapkan  akan melamarku.

Angan kami pupus ketika ibuku menyatakan bahwa tidak merestui. Alasannya klasik, seharusnya aku bisa bahagia dengan mencari jodoh yang mapan, begitu kata ibu, kedua abangku pun mendukungnya. Maka aku dijodohkan dengan anak sahabat ibu. Katanya  aku akan dijamin bahagia menikah dengan anak tunggal dan calon pewaris  orang kaya.

Nama pria itu  Arya.  Kesan yang aku rasakan saat bertemu sosk Arya  adalah orangnya terlihat santai dan tidak begitu ambil pusing. Ia menatapku dari atas sampai ujung kaki dan mengganguk-angguk, entah apa yang sedang ia pikirakan. Ia pun menyatakan setuju jika perjodohan dilanjutkan.

Sekeras apapun aku menolak untuk dijodohkan akhirnya luluh dengan ancaman ibu. Beliau mengatakan kesehatannya semakin menurun dan akan semakin sakit jika tidak memenuhi keinginannya. Lagi-lagi alasan lainnya pun dikemukakan yakni  demi kebahagianku, begitu katanya.

Sandi yang mengetahui hal itu, mundur teratur. Pada malam purnama  dan langit bertabur bintang gemintang yang indah. Namun, tak seindah hubungan kasih kami. Di sebuah taman ia menyatakan putus dan melepaskanku. Aku mendesaknya untuk tetap berjuang bersama demi mendapat restu. Ia tetap pada keputusannya. Kami putus, bagaimana hancurnya hatiku saat itu. Kesedihan mengelayuti hati. Cinta tak mungkin bersatu. Bisakah aku hidup serumah dengan orang yang tak kucintai.  Setelah itu Sandi menghilang, dari salah satu rekan kerjanya dapat kuketahui bahwa ia pindah ke luar kota. Aku pun kehilangan kontak dengannya.

Pernikahan dilaksanakan di hotel berbalut dengan kemewahan. Banyak para pejabat dan koneksi dari mertuaku yang datang. Semua orang iri melihatku wanita cantik yang bersanding dengan orang kaya.  Di pelaminan aku harus tersenyum manis, berpura-pura bahagia dan senang.  Padahal sebaliknya,  tiada yang tahu aku begitu  patah hati dan terpaksa.

Aku disuruh berhenti bekerja. Aku menjalani sebagai pengantin baru seperti layaknya pengantin baru lainnya. Kami dibelikan tiket untuk berbulan madu. Aku pun berusaha ikhlas dan menata hati. Menerima Arya sebagai suami dan bersiap diri untuk menjadi istri yang baik. Bagaimana pun mungkin ini sudah takdir dari Tuhan dengan demikian hati yang menerima maka aku akan bebas dari rasa yang menyiksa.

Perekonomian rumah tangga kami dimulai dengan bantuan modal dari orang tua Arya. Kami membuka usaha caf untuk tempat tongkrongan anak muda. View yang bernuansa alam dan luas menjadi andalan sebagai penarik pelanggan. Pada awalnya sangat meraup keuntungan, tetapi lama-kelamaan mengalami kebangkrutan dan tak berjalan mulus. Manajemen yang asal dan Arya terlalu mempercayakan pada bawahan caf itu pun ditinggalkan pelanggan.

Arya ternyata tidak serius berwiraswasta. Ia lebih suka berfoya-foya  dan tak begitu peduli dengan pekerjaan. Tanggung jawabnya juga kurang. Sering jika ada masalah keuangan dan butuh uang ia selalu meminta kepada orang tua.  Sikap manjanya itulah yang membuat ia terlena dan sesuka hati. Orang tuanya juga selalu memfasilitasi dan tidak memberi efek jera atau pembelajaran bagi anaknya.

Sebagai istrinya aku hanya  dijatah untuk pengeluaran rumah tangga dengan nominal yang pas-pasan. Ia pun melarang ibuku untuk tinggal bersama kami.  Jika masih ada ibu di rumah dia bilang rumah tangga kami akan dicampuri dan  tidak mandiri. 

Tanpa sadar secara finansial dialah yang tidak juga mandiri. Arya juga berlaku kasar baik pada ucapan maupun berbuatan. Wataknya semaunya saja. Sering ia memaki atau menghina kami yang dikatakannya sebagai benalu pada keluarga mereka.  Belum lagi tingkah pongah dan egoisnya dalam mengambil keputusan. Lelaki yang sangat memperhatikan penampilan itu juga pandai bermanipulasi. Jika di depan orang ia berlaku manis, tetapi di belakang ternyata suka mengintimidasi.

Tiga tahun pernikahan berjalan dengan datar. Aku belum juga menunjukkan tanda kehamilan. Pihak keluarga sudah mendesak dan bertanya-tanya. Aku juga sudah memeriksakan diri dan berobat sana-sini, Cuma Arya tidak begitu antusias dan merasa dirinya sehat, dan menuduhku yang memiliki masalah kesuburan. Pertanyaan dan komentar sering dilayangkan orang lain, "udah isi?", "berobat kemana saja?", "kapan hamilnya?" "Udah berapa lama menikah?" "itu, jangan-jangan nggak subur, kan duit banyak berobat aja ke luar negeri."

"Eh, kan kalian duluan menikah disbanding si itu, kok belum hamil juga," "Pacaran terus nih!".  Hati wanita mana yang tidak sedih jika rezeki garis dua itu belum diperoleh. Usaha dan daya upaya telah aku lakukan. Hati ini menjerit, hati selalu nelangsa, apa lagi mendengar teman sudah  hamil dan memiliki momongan. Aku tahu mungkin Tuhan memiliki rencana lain dalam hidupku. Aku berusaha sabar dan berdoa, ya, memang belum terjawab dan semoga saja Tuhan memberi lebih dari apa yang kuminta.

 Sebagai penghibur hati aku menghabiskan waktu pergi ke panti asuhan. Yayasan panti "Kasih sayang" namanya. Pemiliknya adalah sahabatku sewaktu masih berseragam abu-abu. Kami memanggilnya bunda Tiara.Ia memilih sendiri dan takut untuk menikah karena korban dari keluarga yang broken home. Ah, setiap orang memang memiliki masalah, begitu juga dirinya. Ia membangun benteng kuat menutup diri serta lebih memilih  bersamanya  anak-anak malang. 

Aku pun mengikuti  jejaknya  berbagi perhatian dan kasih sayang. Aku mengusir sepi dan menjadi candu bermain bersama anak-anak tersebut  seakan mampu mengalihkan duniaku. Selain itu kegiatan  aksi sosial dan amal juga selalu kuikuti.  Aku merasa bisa memberi manfaat pada orang lain dan itulah bahagia sebenarnya.

Arya tidak begitu suka dengan aktivitas yang aku lakukan. Ia yang memang jarang di rumah semakin menjadi-jadi. Bahkan beberapa malam tidak pulang. Percikan pertengakaran selama ini pun berkembang menyala. Sampai akhirnya kecurigaan itu datang. 

Selain sifatnya yang memang kasar sekarang dia terang-terangan menelepon mesra kepada seorang wanita. Ia tidak peduli jika mataku mendelik dan menatap curiga. Sampai akhirnya pertengkaran besar terjadi , emosiku meledak, dia bukannya minta maaf,  tetapi  marah besar dan berusaha untuk melakukan KDRT. Di matanya akulah yang selalu salah, ia tak pernah intropeksi diri apalagi memngucapkan kata maaf.  Untung saja aku melarikan diri ke rumah ibuku.

Ibuku yang mengetahui jalan cerita rumah tanggaku. Ia terlihat menyesal dan merutuki diri. Selama ini aku selalu memendam rasa sedih dan luka sendiri, akhirnya ketahuan olehnya. Kesehatan ibu semakin menurun. Ia berkata dan membebaskan diriku untuk bersikap. Jika ingin bercerai dan itu membuatmu bahagia, maka lakukanlah, Nak, ujarnya. Tak lupa kata maaf terlontar dari bibir keringnya. Sebuah pengakuan yang selama ini ditutupinya adalah perihal paksaannya terhadap Sandi untuk meninggalkanku saat itu.

Sebenarnya aku tidak menyalahkannya. Aku justru ingin memberikan kebahagiaan untuk Ibu.  Secara gengsi dan harta telah ia dapatkan. Namun, kenyataannya kini menghempaskan. Aku juga merasa bersalah belum bisa menjadi anak yang baik dan membahagiakannya di hari tuanya.

 Aku berada ditengah kegalauan. Bukti perselingkuhan Arya sudah kudapatkan, perlakuannya selama ini tiada mengesankan. Rumah tangga yang kami bangun tanpa cinta, tak berujung bahagia. Apalagi anak tiada, maka ikatan itu begitu mudah rasanya untuk kandas. Pihak mertuaku pun tak begitu keberatan jika kami berpisah, mereka tetap pada vonis akulah menantu yang tak bisa memberi keturunan.

Maka dengan tekad dan hati yang kuat aku mengajukan gugatan cerai. Beberapa kali sidang akhirnya keputusan diketuk. Aku resmi menjadi janda kembang. Saat ini aku fokus untuk mencari kerja melanjutkan hidup, menjadi sumber penghasilan untuk ibuku yang sakit-sakitan. Saudaraku yang lain juga hidup memprihatinkan, jadi aku dan ibu tidak bisa bergantung dengan mereka. Sebelum mendapat pekerjaan maka aku memilih bekerja di panti asuhan Tiara.

Kami sangat sibuk menyiapkan acara sambutan pada donatur yang datang dari luar kota.  Anak-anak akan menampilkan berbagai pertunjukan, sebelumnya beberapa minggu,  kami telah berlatih dengan keras.

Saat acara itu tiba, tiada disangka salah satu donatur yang datang itu adalah Sandi, ia merupakan tangan kanan sang bos. Kami saling bersitatap dengan lama. Takdir mempertemukan kami. Kami kembali mengobrol dan kuketahui  ia masih sendiri.

 Ia belum bisa move on  dan fokus bekerja dengan keras sehingga sekarang telah sukses. Ia menyatakan ingin menyatukan cinta dan melamarku. Aku terkejut, aku sadar siapa diriku. Meski aku masih merasakan getaran cinta yang dulu.  Aku pikir apa aku pantas dan layakkah bersanding dengannya. Ada sesuatu yang telah hilang dariku, sementara dari dirinya masih utuh.  Bisa saja sebenarnya dia  memilih banyak gadis yang masih asli.

Rasa rendah diri membuatku ragu. Sempat memberi waktu untuk berpikir ulang. Sandi tetap kuat ingin mempersuntingku. Dukungan dari ibu, keluarga serta Tiara juga mengalir. Kata mereka aku berhak untuk bahagia. Maka raihlah jika itu mengikuti isi hatimu, begitu kata mereka.

Kebahagiaan dan senyum yang tulus menghiasi hari pernikahan dua insan yang sempat terpisah. Sampai sekarang kami telah dikarunia sepasang buah hati, satu putra sudah masuk TK dan yang putri berambut ikal seperti bapaknya  lagi baru belajar berjalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun