Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelakor Itu Calon Tumbal Pesugihan

3 Maret 2023   15:38 Diperbarui: 3 Maret 2023   15:41 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri : Koleksi Megawati Sorek

 "Kita harus mengakhiri ini semua," ucap Mas Bayu menatap lekat padaku.

Aku yang sedang menyesap latte hampir tersedak. Ucapannya mampu membuat embusan angin sapai-sapai tidak lagi terasa menyejukkan bagiku.

 "Tapi, Mas?" jawabku membantahnya, seperti yang sudah-sudah. Hal ini sudah sering kami bahas dan selalu berakhir dengan buntu karena aku selalu berhasil merayunya kembali ke pelukkanku.

 "Aku sudah memutuskan, kita tak bisa begini terus, sampai kapan? Sebelum skandal ini terkuak, lebih baik kita mencari aman." Mas Bayu mendonggakkan kepala dan mengembuskan asap nikotinnya ke udara.

"Aku, mencintaimu, aku nggak mau pisah," lirihku dengan raut wajah sedih.

"Aku tak sanggup, jika hati istri dan anakku terluka atas tindakan kita yang telah jauh salah jalan." Mas Bayu mengenggam tanganku erat dengan tatapan mata sayu memohon.

Mas Bayu adalah atasan tempatku bekerja, semula kami bekerja secara profesional. Entah siapa memulai, keseringan bersama di ruangan dan waktu yang sama membuat kami merasa nyaman dan terbuai, hingga hubungan terlarang itu telah sampir setahun kami jalani tanpa terendus Sinta---istri Mas Bayu.

Sebenarnya perusahaan dan semua harta yang dimiliki oleh Mas Bayu adalah milik Sinta dan keluarganya. Mas Bayu sebagai menantu yang melanjutkan bisnis dengan segala tekanan dari keluarga Sinta.

Kini, enak saja dia, ingin lepas dariku begitu saja. Setelah apa yang telah aku korbankan, dia justru egois ingin menjaga hati istri dan anaknya. Tanpa memikirkan aku yang terluka. Kehormatanku telah kuberikan dengan suka cita dan penuh cinta. Selain itu aku belum puas menikmati dan dimanja dengan hartanya untukku dak keluargaku di kampung. Ia harus menjadi milikku seutuhnya. Aku tak peduli, apapun akan kulakukan. Jika tak lagi dia ingin bersamaku, maka cara halus akan kulakukan.

Pembicaraan seusai bergelut, sore di balkon rumahku tadi berakhir dengan aku mengiakan, seakan mengalah demi kebaikan semua.

Malam ini aku memutuskan akan menjumpai Mbah Karto, orang pintar yang direkomendasikan sahabatku Shelin. Katanya segala pengasihan, pelet maupun santet bisa diajukan pada Mbah Karto tersebut. Sayangnya, Shelin tak bisa menemani, berdasarkan alamat yang diberikannya aku melajukan mobil menuju ke kediaman orang pintar tersebut.

Setelah beberapa puluh menit dan melalui jalan yang lengang, sampailah aku di sebuah rumah kayu tanpa dicat dengan model bangunan tradisional. Rumah dengan halaman yang luas, tetapi hanya dihiasi lampu kecil mengantung di terasnya. Cahaya temaram itu membuat rumah tersebut terkesan suram. Beberapa lumut menempel di dinding dan tumbuhan liar tumbuh di sisi teras, seakan rumah itu tidak diurus dan tidak berpenghuni.

Aku mengetuk perlahan pada pintu yang tertutup. Embusan angin malam, dingin menusuk membuatku merapatkan jaket sembari menunggu respons dari si empunya rumah. "Permisi, Mbah ...." Aku mengulangi mengetuk pintu.

Terdengar pintu berderit seiring muncul kepala yang menyembul memperhatikanku dengan tajam dari atas sampai kaki.

"Masuk!" Lelaki tua dengan rambut sebahu tergerai yang telah seluruhnya memutih itu berbicara singkat. Ia berbalik arah dan aku mengikutinya dengan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan lapang di depanku. Hidungku menghidu aroma yang menyengat.

Pria yang kutaksir berusia tujuh puluhan yang berbadan bungkuk itu duduk di depan sebuah meja panjang dan mempersilakan aku duduk di depannya.

Di atas meja ada dupa yang mengeluarkan asap, mangkok berisi berbagai mahkota bunga yang berwarna-warni.

Aku menyampaikan maksud dan tujuanku padanya. Ia kuminta melenyapkan Sinta dan anaknya dan Mas Bayu menjadi milikku selamanya. Tampak lelaki yang wajahnya banyak memiliki kerutan itu terpejam beberapa saat. Bibir kering dan sedikit tertutup kumis putih itu komat-kamit lalu mengeleng lemah. Matanya terbuka dan sayu melihat ke arahku. Aku yang tak mengerti hanya diam dan mengerutkan dahi.

 "Ini, sulit! Ketahuilah kau dalam bahaya."

"Maksud, Mbah?" Aku memperbaiki posisi dudukku dengan lebih menegakkan badan.

 "Target yang kau tuju, akan menyerangmu. Tepatnya purnama ke depan kau akan dijadikan tumbal untuk pesugihannya. Sebenarnya ia telah tahu dan sengaja membiarkan hubunganmu dengan suaminya," jelas Mbah Karto.

Mataku melebar, keringat dingin terasa mengalir, dadaku berdegup kencang, rasa ketakutan membuat tubuhku gemetar. Aku tak menyangka, aku  yang berniat  melenyapkan mereka justru berbalik menjadi target dan itu tak lama lagi.

"To-long, sa-ya, Mbah, sa-ya ha-rus ba-gai-ma-na ...." Tergagap aku memohon padanya.

 "Kekuatannya ini sangat besar, cara satu-satunya adalah menyembunyikanmu pada dunia lelembut yang tak diketahui oleh jin mereka, ini akan menjadi perang gaib," terang Mbah Karto dengan menghela napas berat, mengambarkan raut wajah memikul beban berat.

Secepatnya ritual untuk menghindarkan aku dari kematian dilakukan. Segala media dan persyaratan aneh telah aku penuhi.

"Dalam perjalanan lorong penghisap, apapun yang terjadi kau tak boleh menoleh ke belakang lagi, camkan hal itu." Mbah Karto memperingatkanku untuk ke sekian kali. Saat ia memandikanku dengan air kembang.

Tubuhku mengejang dan kaku seolah-olah terkena sentrum ribuan volt. Energi tubuhku seperti tersedot ke dalam hisapan yang sangat kuat. Tubuhku menjadi melayang seringan kapas dengan kabut sekeliling.

Samar terdengar teriakan memanggil namaku, itu suara Mas Bayu. Aku mengabaikannya, aku masih ingat pesan Mbah Karto tentunya. Selanjutanya suara lelaki dan perempuan meneriakkan namaku dengan suaranya yang bercampur tanggisan rintihan. Suara bapak dan ibuku yang di kampung, kontan aku menoleh dan ingin melihat wajah orang yang telah membesarkanku itu.

Di saat bersamaan, tubuhku terjatuh terjun bebas ke bawah dan terhempas di permukaan lantai rumah Mbah Karto. Membuat ia kesal dan mengusirku dengan kalimat memperingatkan agar bersiap diri untuk mati.     

***

Aku frustrasi, purnama hanya tinggal hitungan belasan hari lagi. Aku tak mau mati konyol, bagaimanapun caranya aku harus bertindak cepat.

Aku akan berkunjung ke rumah Mas Bayu. Dalam perjalanan sengaja singgah ke apotek untuk membeli dua botol obat tetes mata. Beruntung aku yang hobi membaca buku bergenre thriller. Kandungan zat tetrahydrozoline pada obat tetes mata ini sengaja kupilih dengan dua alasan. Pertama mudah didapat, dan daya bunuhnya memiliki jeda, berbeda dengan sianida  yang langsung membunuh seketika.

Ketika sampai di rumah Mas Bayu, mereka sedang duduk bersantai berdua menikmati sore di tepi kolam renang. Aku yang sudah terbiasa keluar masuk ke rumah bosku itu disambut baik. Sinta tersenyum ramah dan menawarkan minuman dan cemilan. Ah, wanita anggun sahabatku itu, siapa sangka ternyata pengabdi setan.

Mas Bayu bersikap acuh, sepertinya tidak suka akan kedatanganku. Ia begitu mesra pada Sinta, membuat dada ini terasa nyeri. Ia berpamitan, meninggalkanku dengan Sinta yang lanjut mengobrol.

Balita mereka menangis, pengasuh memanggil Sinta sebentar. Ia pamit meninggalkanku, Ini kesempatan, aku menuangkan dua botol tetes mata itu hingga habis pada minuman miliknya. Gelas mug bening berisi minuman pelangsing yang biasa ia seduh itu, aku aduk menyatukan zat tetrahydrozoline-nya. Tanganku terasa dingin dan gemetar, adrenalin terpacu, sungguh ini pengalaman pertama yang mendebarkan.

 Ok, waktu pun sudah semakin temaram, mentari telah pun menuju peraduan, saatnya aku berpamitan, bersamaan dengan datangnya Mas Bayu entah dari mana.

"Mas, jantungku berdebar kencang dan perutku terasa mual, sepertinya aku masuk angin atau asam lambungku kambuh." Sempat aku dengar suara Sinta mengadu pada suaminya. Aku berbalik sebentar melihat wajah pucat perempuan cantik itu dan bajunya yang basah dibanjiri keringat.

Aku melangkah menuju parkir mobil dengan senyum mengembang, tak sabar menunggu kabar besok hari. Aku bernapas lega, tentang purnama dan tumbal kurasa telah berakhir, toh si pelakunya akan mati duluan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun