Aku memandangi pantulan wajahku. Mata sembap dengan pandangan yang kuyu. Aku lupa sudah berapa lama menangis hingga sampai tertidur. Mas Ardi pergi begitu saja. Padahal pertengkaran tadi belum usai menjawab pertanyaanku. Kecurigaan dan firasatku tak mungkin bisa dipungkiri. Perubahan sikap dan gaya hidupnya beberapa akhir ini berubah.
Ia modis serta ponselnya lebih privasi. Biasanya tanpa kode sandi rahasia. Kini sering semringah. Saat panggilan masuk maka ia akan mengendap-endap menjauh. Bukan hanya padaku ia mulai abai, tetapi kepada anakku yang masih balita. Tiada waktu lagi untuknya bermain atau bercanda dengan Kayla.
Aku yang sudah tak tahan, mencoba menanyakan hal itu. Namun, justru amukan dan tuduhan yang aku terima. Katanya aku cemburuan, curigaan padanya yang tak berbuat apa-apa. Sebuah tamparan pun kuterima. Merahnya pipi ini menjadi bagian pelengkap jatuhnya air mata.
Sakitnya hati ini, dugaanku mungkin ia mulai berselingkuh. Padahal aku telah banyak berkorban demi dirinya. Memilih ia sebagai pendamping hidup. Meski ditentang oleh orang tuaku.
Kami yang keluarga berada, terpandang akhirnya mengangkat derajatnya. Ia pun bergelimang harta. Bukan hanya padanya aku mengulurkan saldo rekening. Rumah masa kecilnya di desa sudah kusulap menjadi rumah bertingkat. Biaya kuliah adik-adiknya aku tanggung. Sampai mereka menjadi sarjana. Belum lagi modal usahanya yang besar untuk mencoba terjun ke bisnis properti.
Harta kami yang banyak tak habis, nyatanya membutakan matanya. Bukannya berterima kasih justru memperlakukanku seperti ini. Tak dapat kubayangkan jika kedua orang tuaku tahu. Mereka pastinya sangat murka. Bisa saja kesepakatan yang pernah mereka tawarkan kepadaku berlaku kembali.
Bunyi notifikasi ponselku berbunyi membuyarkan lamunan. Aku menoleh benda pipih berlogo apel sumbing di atas kasur. Bibirku melengkungkan senyum berharap itu dari Mas Ardi. Suami yang telah mendampingiku selama lima tahun, lelaki yang sangat kucintai. Aku menggilainya, mencintainya dengan tulus, kini pun masih meski disakiti. Hati ini terluka, raga ini tersiksa. Tidak terima jika ada yang lain di hatinya. Bergegas aku menyambar ponsel dengan antusias sambil menelungkup.
[Aku menalakmu, mulai detik ini kita bukan suami istri lagi. Surat-surat akan diurus oleh pengacaraku.] Begitu pesan tertulis.
Mataku kembali menghangat. Membuat pandanganku berkabut menatap layar ponsel yang kembali menggelap. Tubuhku terguncang-guncang membuat ranjang ikut bergoyang. Padahal tadinya aku berharap permintaan maaf pada pesan yang masuk.
Aku segera meneleponnya. Panggilan masuk, cuma tak diangkat. Aku mengulang kembali. Nada tunggu setelah itu tidak aktif. Aku mendudukkan diri serta mengelap cairan dari hidung yang sudah penuh dengan lengan baju.
 [Pulanglah, Mas. Kita bicarakan baik-baik, ingat anak kita, Kayla, ia membutuhkanmu] ketikku. Berharap ia membaca chat masuk melalui Whatsapp. Centang satu. Mataku masih menatap layar hanphone berharap menjadi centang dua biru.