Aku mengeliat, meluruskan tubuh dan tangan. Lama-lama duduk membuat otot berasa tegang.  Sembari melirik jam bulat di dinding yang telah menunjukkan pukul 23.30. Pantas saja menguap dan mata  mengantuk. Setelah beberapa jam menyiapkan segala perlengkapan untuk pembelajaran besok.
 Aku bangkit dari kursi menuju ranjang. Berbaring menatap langit-langit kamar dengan lampu 30 watt mengantung di sana.  Besok akan masuk ke materi  pembelajaran baru. Setelah kemarin ada tugas rumah yang mungkin telah diselesaikan oleh siswa-siswi kelas empat.  Ingat PR, pikiranku menjadi teringat pada Ryan. Apakah ia akan mengerjakannya, timbul tanya di hati ini. Dahulu saja dia bilang lupa mengerjakan.
Ryan adalah murid baru, pindahan dari kota lain. Ketika hari pertama masuk diantar oleh nenek, ibu--dari pihak ayahnya. Selama seminggu berlangsung di kelas  ia tampak tidak bersemangat dan murung. Mungkin masih terpengaruh adaptasi atau ada masalah keluarga yang ia hadapi, dengar selayang kabar orang tuanya sedang berebut hak asuh.  Oleh karena itu, aku akan berencana melakukan pendekatan yang lebih intens.
Bagaimanapun nasibnya tak jauh berbeda denganku. Ingatanku melayang ke masa lalu. Bedanya guruku saat itu tidak mau tahu akan masalah yang menimpa muridnya dan itu menurutku salah. Aku tak ingin seperti itu.
"Semalam yang bantu kerjakan PR siapa?" tanya Bu Ita dengan sorot tajam menatapku.
Aku menunduk.
"Fika?" Kembali Bu Ita menyebut namaku.
Aku tak menjawab, justru mengangkat kepala, menggigit bibir. Sejurus kemudian menoleh ke kiri dan kanan bahkan sesekali menoleh ke belakang seperti linglung. Saat itu yang kuingat lekat di benak  adalah pertengkaran hebat antara bapak dan ibu. Bagaimana  aku bisa minta tolong untuk dibantu mengerjakan tugas sekolah. Berangkatnya aku sekolah saja sebagai pelarian dengan perasaan kalut dan menghindari dari suara teriakan, makian maupun benda-benda yang dihempaskan oleh mereka. Ternyata di sekolah pun aku bernasib sial, tugas tak selesai, dan dilanjutkan dengan hukuman berdiri di depan kelas hingga pelajaran usai.
Perutku meronta minta di isi. Bibirku mencebik seiring mata yang menghangat lalu tetes demi tetes air mata keluar menghalangi pandangan. Saat itu tekanan batin begitu berat mebghimpitku yang baru berusia sepuluh tahun. Sampai akhirnya aku pingsan di depan kelas.
Tidak ada penyelesaian, hidupku terus berlanjut ikut dengan nenek yang sudah renta. Hanya dua tahun. Ketika akan memasuki Sekolah Menengah Pertama hidupku kembali terluntang lantung, berpindah rumah dari rumah satu lagi. Paman, bibi, sepupu bapak atau ibu. Sementara orang tuaku sudah sibuk dengan keluarga baru mereka masing-masing. Hidup di antara mereka memang sering tak dianggap.
Aku berjuang keras dan bercampur dengan rasa tahu diri tak lupa bertahan akhirnya mampu dijalani. Sampai menjadi guru honorer saat ini.