Mohon tunggu...
Megawati Sorek
Megawati Sorek Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Seorang guru yang ingin menjadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hadirnya Cinta

18 Januari 2023   13:00 Diperbarui: 18 Januari 2023   13:00 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi pribadi foto: Megawati sorek

Suara deru sepeda motor yang ramai terdengar. Aku segera mengintip dengan membuka gorden jendela. Itu pasti Kak Riska dan teman-temannya datang. Kak Riska anak kuliahan yang gaul, ceria dan ramah. Itulah sebabnya ia banyak memiliki teman. Berbanding denganku yang terkesan pendiam dan tak banyak memiliki teman. Mereka sering kumpul dan mengerjakan tugas di gazebo belakang rumah. Suasana gazebo yang dingin karena dikelilingi dengan berbagai tumbuhan rindang. Ditambah dengan sikap papa dan mama yang juga welcome terhadap para anak muda tersebut.

Aku  yang sedang mengganti  baju  seragam putih abu-abu  bergegas menuju jendela. Melihat sekawanan kakakku sedang memarkirkan sepeda motornya.  Dari lantai dua ini aku lebih leluasa memindai mereka. Kali ini dari beberapa temannya yang sudah kukenal ada sosok wajah baru. Tak pernah kulihat sebelumnya. Apakah itu teman baru Kak Riska? Pemuda bertubuh tegap, dengan rambut gondrong sebahu. Rahang wajah tegas, dan yang paling menarik mata tajam dihiasi dengan alis hitam yang tebal. Pria yang menarik perhatianku itu sepertinya membawa sesuatu. Alisku bertaut memperhatikan lebih intens. Sepertinya painting kit, apakah ia seorang pelukis? Aku jadi penasaran, selama ini aku juga seorang penikmat lukisan. Aku suka dengan pemandangan panorama terkesan lembut dan adem.

Kuputuskan akan ikut bergabung pada mereka.  Setelah mematutkan diri di depan cermin, aku poles kembali bibir dengan pelembap agar terlihat segar, makan siang ditunda saja dulu. Aku menuruni anak tangga dengan semangat.

"Kak, ini minuman dinginnya." Aku tersenyum ke arah kak Riska dan teman-temannya. Aku sengaja mengambil alih kerja Mbok Tinah agar dapat mendekati mereka.

"Eh, Sania, makasih ya," ucap Kak Riska meresponku. Aku memperhatikan sosok pria yang belum kukenal itu sedang melihat-lihat taman.  Sepertinya ia mencari sudut pengambilan objek lukis. Wajahku yang penasaran mungkin membuat Kak  Sulis mengerti.

"Itu, Bang Bian namanya, anggota baru kami dia baru bergabung dan minta tolong mencari objek lukisan,"jelasnya padaku sembari menunjuk punggung  Bang Bian.

Tak lama Bang Bian berbalik arah dan menuju ke arah kami. Pandangan kami berserobok, ya tuhan, semakin dari dekat,  pesonanya semakin kuat. Ini cowok kenapa nggak jadi artis aja sih? Pasti banyak yang mengidolakan jika hal itu terjadi.

Kami pun berkenalan, kali ini aku yang biasanya tak pernah bergabung dengan aktivitas kakak , begitu kentara nimbrung  dengan mereka. Bang Bian lucu dan menyenangkan dan begitu serius ketika tangannya memainkan kuas di atas kanvas. Menarik, ah, aku yang biasanya pemalu mengapa sekarang sepertinya menjadi agresif ya?

Dari obrolan siang itu aku menjadi lebih mengenal Bang Bian. Topik pembicaraan kami selalu nyambung, apalagi berkaitan dengan hal perlukisan. Hari berikutnya aku sangat bersemangat jika kakakku pulang dengan membawa teman-temannya.  Alasanya yang aku kemukakan tentunya  perihal ingin belajar melukis. Hati ini berbunga, rindu mulai membelengu,  wajah  Bang Bian terus melekat di pelupuk mataku. Sering, sebelum tidur aku  menutup wajah dengan bantal , memegang dada untuk merasakan debar jika baru saja bertemu dengannya siang tadi. Ingatan terus memutar memori kebersamaan dengannya. Senyum terus merekah tanpa bisa ditahan. Rasanya, cinta memang sudah menguasai, apa aku seperti orang gila? Mungkin saja, iya. Bang Bian bagai candu untukku.

***

"Kak, lho, kok Bang Bian, nggak ikut ngumpul?" tanyaku pada kak Riska yang melaluiku ketika aku telah menunggu di teras rumah.

Perempuan berambut pendek itu tersenyum penuh arti, kali ini ia mengenakan baju kemeja dipadu celana jeans dan sepatu kets.

"Ia, lagi sibuk ngebantuin, ikut persiapan pameran lukis yang akan pamannya ikuti," jawab Kak Riska diikuti anggukan dari  teman-temannya.

Aku lemas, kecewa tidak bisa bertemu dengannya hari ini, padahal semalam begitu menyiksa membendung rindu.

"Cie, ada yang rindu nih," ucap kak Riska membuatku terkesiap. Mungkin pipiku memerah saat ini.

"Apaain, sih, Kakak, ni," elakku sembari meninggalkan mereka yang mulai sibuk bersenandung, karena salah satu dari mereka mulai memetik gitar.

Setelah mendekati  senja, langit mulai diwarnai semburat jingga.  Terdengar deru sepeda motor yang semakin menjauh, Kak Riska dan teman-temannya bubar.  Akunya uring-uringan dan malas-malasan rebahan di kamar.

"Hei, lagi ngapain?" Tiba-tiba kepala Kak Riska menyembul di balik pintu.

"Nggak ada, cuma main ponsel, ada apa, kak?" Keningku berkerut dan mengambil posisi duduk bersila.

Kak Riska mendekat dan duduk memiringkan badannya sedangkan kakinya  menjuntai. Ia melepas ransel yang terlihat berat dari pundaknya dan melemparkan asal di tempat tidurku.

"Kakak tahu, perihal Sania menyukai Bang Bian, tetapi juga ,kakak cuma ngingatin, kamu itu masihan anak SMA, jangan-jangan cuma simpati, kekaguman sesaat, atau namanya cinta monyet lho," jelas Kak Riska.  Ia menunduk. Aneh, kurasa ia tengah menyembunyikan senyum ganjil di wajahnya, meski kemudian ia melihat ke wajahku kembali, kusadari dia hanya tersenyum sendu.

 "Jika itu tulus dari dalam hatimu, Kakak akan bantu kok, yang penting kamu bahagia," sambungnya lagi. Ia memperbaiki poniku yang berantakan dengan mata yang berbinar.

Aku rasa, tanpa memberi penjelasan, Kak Riska sudah mengerti. Aku tersenyum mengembang dan memeluk perempuan manis yang suka bergaya lelaki itu. Ia menepuk pelan punggungku. Setelah mengaku capek dan mau mandi  ia pun pamit ke kamarnya yang di sebelah.

Setelah ia keluar, barulah aku menyadari ranselnya tertinggal dan ketika  ingin mengembalikannya. Sebuah buku kecil  terjatuh dari resleting tas yang ternyata dalam keadaan terbuka sebagian.

Sebuah buku diari  berwarna hitam berukuran kecil, seperti buku memo tepatnya. Aku tak menyangka Kak Riska yang tomboi tenyata mau juga menuliskan keseharian. Jiwa penasaranku meronta, rasanya tiada salahnya aku ingin tahu tentang curahan hatinya.

Aku kembali duduk dan membaca lembar demi lembar untaian kata yang tertulis tegak bersambung tersebut. Alangkah mengejutkan bagiku, ternyata Kak Riska juga mencintai Bian secara diam-diam, dan sudah lama ingin menarik perhatiannya. Pun tertulis bahwa Kak Riska ingin fokus untuk menyelesaikan kuliah serta ambisinya kuliah di luar negeri dan menjadi wanita karir yang sukses. Ia akan mengesampingkan perasaan cinta yang katanya begitu gencar menyerang hatinya. Dilema sedang ia hadapi antara cita-cita atau cinta. Selanjutnya tulisan itu berakhir dengan tentang aku yang harus disatukan olehnya jika ia nanti kuliah di luar negeri.

***

Malam minggu bagiku yang jomlo dan tak suka keluyuran berlalu begitu saja. Acara yang kulakukan adalah menonton TV bersama Papa dan Mama, sebenarnya ini adalah waktu yang bagus untuk kami saling berbagi cerita, setiap hari kami disibukkan dengan urusan masing-masing. Sekitar pukul 21.00 aku memutuskan naik ke kamar ingin rebahan dan berselancar dengan android. Tak lama terdengar suara deru sepeda motor yang kuhafal.

Bergegas, aku berdiri dan menyaksikan Kak Riska turun dari boncengan. Bian menarik tangan Kak Riska yang akan berlalu meninggalkannya. Suara mereka tak terdengar olehku, tetapi sepertinya mereka bertengkar, terlihat wajah Kak Riska berekpresi marah. Sementara tatapan mata Bian begitu penuh cinta dan harap bahkan seperti menghiba. Dalam benakku menebak-nebak.  Apa mereka membicarakanku?

Kak Riska menangis, tubuhnya terlihat limbung. Bian menariknya dan mendekapnya. Meski terasa nyeri di dada, dapat aku pastikan mereka berdua sedang sama-sama terluka. Mungkin karena perasaankukah, timbul rasa bersalah menghampiri.

Sebenarnya aku terluka, tetapi aku sadar dan berusaha untuk tegar. Nyatanya aku masih remaja berumur belasan, kata mereka masih bau kencur juga. Pun bisa memaklumi dan membenarkan ucapan kak Riska, mudahan ini bukan rasa cinta sejati, mudah-mudahan nantinya akan aku temui di saat telah dewasa di bangku kuliah mungkin, tak apa. Aku merasakan bahagia jika Kak Riska bahagia, makna cinta tulus itu bukankah ikhlas melepaskan dan melihat orang yang dicintai itu bahagia.

Besok, masalah perasaan dan mereka akan segera terselesaikan. Janjiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun