Perempuan berambut pendek itu tersenyum penuh arti, kali ini ia mengenakan baju kemeja dipadu celana jeans dan sepatu kets.
"Ia, lagi sibuk ngebantuin, ikut persiapan pameran lukis yang akan pamannya ikuti," jawab Kak Riska diikuti anggukan dari  teman-temannya.
Aku lemas, kecewa tidak bisa bertemu dengannya hari ini, padahal semalam begitu menyiksa membendung rindu.
"Cie, ada yang rindu nih," ucap kak Riska membuatku terkesiap. Mungkin pipiku memerah saat ini.
"Apaain, sih, Kakak, ni," elakku sembari meninggalkan mereka yang mulai sibuk bersenandung, karena salah satu dari mereka mulai memetik gitar.
Setelah mendekati  senja, langit mulai diwarnai semburat jingga.  Terdengar deru sepeda motor yang semakin menjauh, Kak Riska dan teman-temannya bubar.  Akunya uring-uringan dan malas-malasan rebahan di kamar.
"Hei, lagi ngapain?" Tiba-tiba kepala Kak Riska menyembul di balik pintu.
"Nggak ada, cuma main ponsel, ada apa, kak?" Keningku berkerut dan mengambil posisi duduk bersila.
Kak Riska mendekat dan duduk memiringkan badannya sedangkan kakinya  menjuntai. Ia melepas ransel yang terlihat berat dari pundaknya dan melemparkan asal di tempat tidurku.
"Kakak tahu, perihal Sania menyukai Bang Bian, tetapi juga ,kakak cuma ngingatin, kamu itu masihan anak SMA, jangan-jangan cuma simpati, kekaguman sesaat, atau namanya cinta monyet lho," jelas Kak Riska. Â Ia menunduk. Aneh, kurasa ia tengah menyembunyikan senyum ganjil di wajahnya, meski kemudian ia melihat ke wajahku kembali, kusadari dia hanya tersenyum sendu.
 "Jika itu tulus dari dalam hatimu, Kakak akan bantu kok, yang penting kamu bahagia," sambungnya lagi. Ia memperbaiki poniku yang berantakan dengan mata yang berbinar.