Mohon tunggu...
Mega Sri Rahayu
Mega Sri Rahayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - 203516516028 - Ilmu Komunikasi Universitas Nasional

Everything will come at the perfect moment

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menggugat Presiden Soeharto Melalui Petisi 50

6 Juni 2022   19:04 Diperbarui: 6 Juni 2022   19:33 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber diambil dari Channel Youtube : S.Ginting Official 

Narasumber : Pengamat komunikasi,politik, dan militer dari Universitas Nasional, Jakarta.

Sekitar 42 Tahun yang lalu sebuah peristiwa bersejarah lahir di Indonesia, Pengamat komunikasi politik dan militer dari Unas Selamat Ginting menyebutkan, Petisi 50 yaitu kumpulan dari kelompok masyarakat yang kritis pada masa orde baru saat masih dipimpin oleh Jenderal purnawirawan Soeharto yang merupakan oposisi yang sangat berpengaruh pada era itu. itu dalam suasana otoritarianisme di bawah kepemimpinan Jenderal purnawirawan Soeharto.

Penanda tanganan petisi 50 bermula dari kritik beberapa purnawirawan perwira  Angkatan Darat awalnya, tentang krisis kepemimpinan Orde Baru,hal ini terkait dengan hasil pemilu 1977. Dua tahun sebelum Petisi 50 itu, sebuah kelompok purnawirawan yang disebut sebagai Brasildi yaitu kependekan dari Brawijaya, Siliwangi dan Diponegoro dalam grup diskusi mengadakan pertemuan yang intensif untuk membahas suasana politik yang dianggap panas pada pemilu 1977. Ujar Selamat Ginting dalam channel youtube S.Ginting Official.

Selamat Ginting menyebutkan “Adapun perwakilan dari Brawijaya yang diketahui yaitu Letnan Jenderal Purnawirawan G.P.H. Djatikusumo, Letnan Jenderal purnawirawan Sudirman, dan Letnan Jenderal purnawirawan M.Yasin. Dan dari Siliwangi terdapat Letnan Jenderal Purnawirawan Kemal Idris, Letjen Purnawirawan Mokoginta, Mayjen Purnawirawan Ahmad Sukendro dan Kolonel A.E Kawilarang sebagai perwakilan. Dan di Kodam Diponegoro juga terdapat Mayjen Purnawirawan Munadi, Mayjen Purnawirawan Brotosewoyo, dan Mayor Jenderal Purnawirawan Iskandar Ranuwihardjo sebagai perwakilannya “

“Mereka Begitu bersemangat mengkritik Presiden Soeharto. Kalau seperti sekarang kira-kira kami yang dipimpin oleh Jenderal Gatot nurmantyo jadi melakukan kritik masukan kepada Presiden Kalau kami kepada Presiden Jokowi ya dulu ini kepada Presiden Soeharto”. ujar Selamat Ginting, dosen FISIP Unas di Jakarta, baru-baru ini.

Selamat Ginting mengatakan bahwa ada indikasi kecurangan yang dilakukan oleh partai Golkar saat itu, tepatnya pada Pemilu tahun 1977. Serta menanyakan Arah kebijakan dari ABRI yang dinilai tidak jelas, dan saat itu kemenangan dari partai Golkar dicurigai oleh para senior TNI, yang menjadikan hal tersebut sebagai perusak demokrasi yang sedang dibangun. Hal ini membuat Kasad Jenderal Widodo menjadi gerah atas kritikan dari jenderal purnawirawan Ini yang membuatnya ditegur oleh Presiden Soeharto.

Akhirnya pada Mei 1979  Jendral Widodo membubarkan fosko dan membiarkan para pensiunan tentara ini membentuk wadah baru yang bernama forum komunikasi dan studi Purna Yudha disingkat FKSD. Jadi, di sini lah kira-kira Posisi Widodo terjepit dikedua sisi, Di satu sisi harus loyal pada presiden di sisi yang lain juga ini para purnawirawan yang juga seniornya Angkatan 45 semua.

Dalam Forum tersebut juga tetap mengkritisi, bahkan berencana ingin menjumpai Presiden Soeharto untuk berdialog. Namun Presiden Soeharto justru menanggapi bahwa apa yang mereka lakukan dituding ingin menggulingkan kekuasaan oleh para purnawirawan itu. “Mana Mungkin dia melakukan makar karena mereka nggak punya peralatan dan pasukan segala” ujar Ujar Selamat Ginting dalam channel youtube S.Ginting Official.

================== LITERASI AWAL MASALAH========================

Disinilah kemudian lahir Petisi 50 yang di digagas oleh mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata jendral purnawirawan Abdul Haris Nasution bersama mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta Mengawali dengan memprakarsai lahirnya Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, coba bayangkan ini dua tokoh senior itu Nasution dan Muhammad Hatta dan mantan Wakil Presiden membentuk Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, ini menjadi rentetan dari itu tadi dari fosko yang kemudian menjadi Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi.

Kemudian para pensiunan militer dan Muhammad Hatta ini mengajak beberapa perwira militer lainnya di luar Angkatan Darat dan di situ ada mantan Kapolri Jenderal purnawirawan Hugeng Imam Santoso kemudian mantan Gubernur DKI yang baru saja selesai menjadi Gubernur yaitu Jenderal Marinir Ali Sadikin serta Mokoginta dan Yasin yang masih bergabung dan para orang-orang yang dulu bergabung di fosko.

Seminggu sebelum yayasan ini lahir Nasution dan para tokoh-tokoh disini langsung melakukan kritik keras kepada Orde Baru dengan mengatakan bahwa Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 itu telah diselewengkan sehingga bisa ditebak jadi arah Yayasan lembaga lembaga kesadaran berkonstitusi ini tidak jauh dari gerakan yang dibangun oleh fosko yang dibangun tahun 1978 itu yang belakang kemudian dibubarkan.

Presiden Soeharto menanggapi kritik dari para seniornya ini diucapkan pada 27 Maret 1980.” itu sama seperti kemarin baru saja Maret kemarin dilangsungkan rapat pimpinan TNI Polri di Mabes TNI misalnya kalau sekarang Presiden Jokowi mengeriting ada grup WA dari ke TNI Polri yang mengkritik soal IKN ibukota negara baru.” ungkap Selamat Ginting dalam channel youtube S.Ginting Official.

Dalam video yang diunggah oleh akun youtube bernama S.Ginting Official, mengatakan Presiden Soeharto mengatakan dalam Rapat Pimpinan AKABRI pada 27 Maret 1980 silam di Pekanbaru berpidato mengingatkan ABRI akan adanya kelompok-kelompok yang ingin mengganti Pancasila .kalau sekarang yang mirip-mirip juga ada yang ingin coba mengganti ideologi Pancasila.

Sebulan kemudian tepatnya pada 16 April 1980 di Markas Kopassus Presiden Soeharto kembali mengulang ucapan yang sama seperti di rapim ABRI di Pekanbaru dalam pidatonya itu Soeharto mengatakan kalau terpaksa lebih baik menculik seseorang dari dua pertiga anggota MPR yang hendak mengubah undang-undang Dasar 45 dan Pancasila agar tidak memenuhi forum kira-kira gitu.

“Jadi Dia mengancam akan menculik anggota MPR memang berencana mengubah Pancasila dan undang-undang Dasar 1945 tujuannya baik itu”, Lanjutnya. Tapi  kalimat-kalimat itu menjadi menggemparkan karena menakut-nakuti sekaligus mengancam anggota MPR untuk sidang berikutnya pada Pemilu 2 tahunnya. Pada kesempatan itu juga Pak Harto menolak isu negatif pada dirinya dan mengatakan yang mengkritik saya itu berarti juga mengkritik Pancasila. Ini juga yang kemudian digarisbawahi oleh para politikus itu bawa Soeharto sudah mempersonifikasikan dirinya dengan Pancasila karena mengeritik suatu dianggap mengkritik Pancasila.

Saat itu pernyataan dari Presiden Soeharto membuat gundah sejumlah Jenderal purnawirawan yang memutuskan Nasution dalam pidatonya menentang rezim Soeharto yang keras seperti ini dan  cenderung anti-demokrasi kemudian dan menggandeng jenderal-jenderal dan lain-lain dari Yayasan lembaga kesadaran berkonstitusi itu dan mengajak tokoh-tokoh  lainnya baik sipil maupun militer untuk merancang  suart keprihatinan yang menjadi cikal bakal Petisi 50.

Pada 5 Mei 1980 di Balai Kota Jakarta berlangsung sebuah pertemuan, pertemuan itu dihadiri oleh anak buahnya Ali Sadikin yang memang menjadi aktivis Islam pertemuan tersebut menyimpulkan bahwa pidato Presiden Soeharto di Pekanbaru maupun di markas Kopassus Cijantung itu perlu dipertanyakan namanya membuat pernyataan keprihatinan yang disusun oleh mantan menteri pertambangan di kabinet orde baru yang pertama .di situ A.M Fatwa berhasil mengumpulkan 50 penandatangan, ada dari kalangan angkatan darat, laut, udara, maupun polisi anggota parlemen dan juga dosen birokrat.

Tidak hanya dari kalangan Militer dan juga Kepolisian, tapi juga dari pengusaha, wartawan bekas pejabat pun juga bergabung dalam penandatanganan surat keprihatinan tersebut. Tokoh-tokoh legendaris seperti Tokoh dari PNI Sofyan dan Marsekal Soekarno dan orang-orang dari PMI juga turut hadir dan surat pernyataan keprihatinan yang ditandatangani 50 orang itu kemudian didisampaikan kepada parlemen, penandatangan itu sekitar 30 orang dari 50 orang itu datang ke DPR pada pertengahan 1980 silam dan Muhammad Natsir politikus senior dari Masyumi didaulat menjadi juru bicara ini bertemu dengan Ketua DPR.

inti dari surat keprihatinan yaitu “sebagaimana saya Kemukakan di awal adalah kekecewaan para tokoh nasional terhadap presiden Soeharto yang menganggap dirinya personifikasi dari Pancasila hingga setiap kritik yang dialamatkan pada dirinya dianggap kritik terhadap ideologi Pancasila jadi Pancasila adalah saya(Presiden Soeharto). kira-kira gitu ya ini yang kebablasan menurut para tokoh nasional itu Penandatangan ini “ungkap Selamat Ginting dalam channel youtube S.Ginting Official.

Ada beberapa pidato yang menurut Muhammad Nasir harus di Jelaskan dengan gamblang oleh Presiden Soeharto supaya tidak menimbulkan multitafsir. Kemudian hal tersebut ditanggapi oleh ketua DPR ,yang menyampaikan surat keprihatinan tersebut ke istana yang diterima oleh Menteri Sekretaris Negara Letnan Jenderal Sudharmono.Pak Harto langsung menjawab bahwa sesungguhnya mereka tahu apa yang dimaksud dengan pidato-pidato  saya katanya.Beliau yakin DPR juga paham bahwa  pidato itu harusnya bisa dipahami untuk menjaga Pancasila dan undang-undang Dasar 45 bukan atau jangan gitu maknai secara negative.Menurut pengamat komunikasi politik dan militer dari Unas Selamat Ginting, “Hal tersebut membuat pak Soeharto tidak menyukai petisi 50, karena mereka menyebut dirinya patriot.Beliau menganggap mereka seolah-olah merasa paling benar sendiri mereka merasa paling ngerti tentang Pancasila saya(Soeharto) salah.”

Akhirnya hali ini membuat Presiden Soeharto pada awal Juni kemudian Presiden Soeharto menjawab kembali menjawab surat Keprihatinan itu melalui pernyataan Panglima komando pemulihan keamanan dan ketertiban Laksamana sudomo. Pernyataan petisi 50 itu menyinggung pemerintah karena menyiratkan ada usul Pergantian pemimpin nasional Padahal sama sekali dan keprihatinan itu tidak menyinggung tentang pergantian kepemimpinan nasional sesungguhnya. kemudian istilah petisi 50 itu lebih populer dibanding kelompok yang membuat surat keprihatinan jadi Petisi 50 pernyataan dari sudomo itu yang kemudian dijadikan sebagai kalimat untuk menyebutkan kelompok ini. Adapun pernyataan dari kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Waktu itu pada keterangan persnya jmengatakan sejak sekarang akan membuntuti secara ketat semua penandatangan petisi 50 .artinya intelejen bergerak untuk memata-matai 50 anggota petisi 50.

“jadi ingat waktu SMA siswa kalau saya ingin tahu apa yang dilakukan petisi 50 saya ke Senayan menemui sekretarisnya waktu itu Christy NR ketemu di Senayan sebuah gedung di sampingnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu sembunyi-sembunyi itu jadi takut juga di intel begitu“.ujar Selamat Ginting, dosen FISIP Unas di Jakarta, baru-baru ini.

Adapun cerita dari cucunya Jenderal AH Nasution Bagaimana Nasution dibuntuti terus-menerus lalu untuk menghadiri pesta pernikahan juga tidak bisa untuk keluar negeri tidak bisa pensiunnya tidak dibayar Ali Sadikin juga sampai perusahaannya bangkrut dan lain-lain. Menurut pengamat komunikasi politik dan militer dari Unas Selamat Ginting,” Orde baru pada tahun 80 itu sangat keras sekali sikapnya terhadap kalangan oposisi bahkan beredar kabar Presiden Soeharto Akan mengirim 70 penandatangan petisi 50 itu ke Pulau Buru Pulau Buru di Maluku ini kan tempat tahanan politik bagi pengikut Partai Komunis Indonesia. namun rencana itu ditolak oleh menteri pertahanan keamanan panglima ABRI Jenderal M. Yusuf ,dia menentang supaya tentara tidak dalam politik praktis ,tetap harus politik negara. Presiden Soeharto juga kecewa terhadap M yusuf yang berani menentang rencana mengirimkan para tokoh ini ke Pulau Buru.”

Akhirnya pada tahun 1990 Soeharto mungkin sudah mulai tua , dan pengintelan terhadap meraka mulai lunak . BJ Habibie kemudian berinisiatif mengundang para penandatangan petisi 50 untuk rekonsiliasi dengan pemerintah dengan mengundang mereka tuh PT PAL Surabaya , dan Habibie melapor kepada Presiden Soeharto bahwa Ini Suasana harus dicairkan Pak Harto juga usia sudah 70-an sebaiknya konflik dengan para tokoh bangsa ini harus diakhiri. Soeharto kemudian menyetujui itu dan mengatakan bahwa Habibie adalah merekaumumnya senior saya dan teman-teman saya sesama angkatan 45 yang berperan mempertahankan kemerdekaan sehingga turut membangun bangsa mengijinkan kira-kira begitu saudara Habibie untuk bertemu mereka.

Lalu akhirnya pada pertengahan tahun 1993 Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh utama dibalik itu ke Istana Negara Nasution juga mendorong pemerintah sebaiknya melakukan proses rekonsiliasi yang bisa menyatukan para tokoh bangsa ini di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto ini jangan jangan berlarut-larut.” Saya ingat waktu itu saya Sebagai wartawan politik juga melihat bahwa headline surat kabar termasuk televisi.Waktu itu sudah ada beberapa televisi swasta nasional juga mengungkap peristiwa ini dan menjadi headline ,karena pertemuan presiden Soeharto dengan para tokoh bangsa penandatangan petisi 50 ini menjadi sebuah titik rekonsiliasi damai untuk menyatukan para tokoh dalam menyelesaikan persoalan bangsa .” ujar Selamat Ginting, dosen FISIP Unas di Jakarta, baru-baru ini.

Menurut pengamat komunikasi politik dan militer dari Unas Selamat Ginting “Ujungnya adalah ketika pada 5 Oktober 1997 Pak Harto menganugrah dan pangkat Jenderal besar terhormat  pada Abdul Haris Nasution .beserta Panglima Besar almarhum Jendral besar Sudirman, serta Pakharrto sendiri menjadi Jenderal bintang 5 .Jenderal besar di Indonesia yang hingga saat ini belum ada lagi jadi kira-kira begitu suara petisi 50 ini hingga kalau sekarang ini.”

Jadi Ini adalah pelajaran dalam komunikasi politik bagi para politisi bahwa jika terjadi salah paham tanpa bertemu maka akan menimbulkan konflik, sehingga pertemuan atau komunikasi yang nyata dapat berubah menjadi kesepakatan nasional yang besar untuk  menyelesaikan masalah negara di masa depan. maka seharusnya,kemampuan menerima kritik ini juga harus dimiliki oleh para pemimpin bangsa. jadi jangan alergi kritik, kelompok oposisi, baik di parlemen, partai politik atau kelompok penekan. Sebagai pemimpin, seorang kepala negara  juga harus terbuka.

“Jangan sampai kita mengulangi ke Presiden Soekarno yang juga tidak bisa menerima kritik ketika menjelang akhir kepemimpinannya juga Pak Harto yang bermusuhan dengan petisi 50 sampai 13 tahun itu sebuah pembelajaran baginya kita semua jadi ke tetap membutuhkan orang-orang kritis terhadap pemerintah misalnya terhadap kebijakan-kebijakan yang yang kontroversial. Jadi jangan di itu sebagai apa namanya lawan politik atau musuh politik tapi justru itu adalah Mitra politik.” ungkap Selamat Ginting dalam channel youtube S.Ginting Official.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun