Mohon tunggu...
Mega Pradewi
Mega Pradewi Mohon Tunggu... Lainnya - Mimosa asperata

Sedang mengabadikan memori lewat menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebuah Tanaman Tomat dan Satu Potong Martabak

26 Desember 2020   13:34 Diperbarui: 30 Desember 2020   20:31 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

             Anak - anak itu tampak serius memegang pulpen dan kertas. Ada yang berkerut dahinya. Ada yang mencuri - curi pandang kertas milik temannya, dari potongan rambutnya yang cepak, kulit sawo matang dan pakaian khas yang selalu dipakainya yaitu kemeja lengan pendek menunjukkan itu Budi. Ia tampak paling pesimis di antara kawan yang lain. Dari cerita yang kudengar dari Andi, memang ibunya suka memarahinya. Ketika nalar terdesak dengan tuntutan ekonomi, saat otak sibuk mencari cara dan kecemasan meliputi hati, ada saja emosi itu menyasar jiwa yang masih suci. Tapi Budi yang paling semangat datang hampir tiap hari termasuk saat weekend untuk bisa diajari. Ah! Andai waktu meregang sedikit untuk aku bisa meladeni semangatnya.

            Di rumah orangtuaku ini, tiap malam senin- jum'at dipenuhi anak tetanggaku. Sejak Tahun 2018 kubuka pintu rumahku secara gratis untuk siapa saja yang ingin belajar. Memiliki gelar sarjana pendidikan matematika kelas berbahasa Inggris dari PTN di Kota Semarang membuatku percaya diri bahwa ilmuku berarti. Awalnya hanya 1 orang yaitu Andi yang juga gemar berkecil hati, entah kenapa anak - anak di lingkungan ini suka berkecil hati, termasuk aku yang dulu. Mengingatkanku akan Mega kecil yang kebingungan dalam belajar karena tak ada tempat bertanya. Aku ingat pertama kali Andi datang ke rumahku dengan kaos yang agak kedodoran, saat itu ia masih kelas 5. Walaupun fisiknya yang tinggi kurus dan usianya harusnya sudah kelas 6, dengan sabar kuajari mapel matematika, perlu waktu agak lama tapi ia sebenarnya mampu.

****

            Tanaman tomat itu tampak daunnya mengering. Padahal ada 4-5 buah tomat menggantung hampir memerah ranum. Sekitar 2 hari lagi bisa dipetik. Batangnya juga terlihat mengeras kecoklatan. Kata adikku sebentar lagi tanaman itu menemui ajalnya. Katanya selalu begitu setelah berbuah. Tanaman dan hewan diciptakan untuk menyokong kehidupan manusia oleh Allah. Begitu Maha Pengasih dan Penyayang nya Allah terhadap manusia. Apakah tomat ini juga setelah mempersembahkan produk terbaiknya akhirnya mati? Memang tomat mudah untuk disemai. Bahkan pernah kulihat tanaman tomat tumbuh bersaing dengan Imperata silindrica alias ilalang. Tampaknya memang tanaman tomat itu seperti mengalirkan gizinya ke 4 buah tomat itu, sehingga daun - daunnya rela mengering. Jika tanaman saja bekerja keras untuk bisa bermanfaat bagi manusia, seharusnya manusa juga bisa bermanfaat untuk manusia lain.

            Aku mengalihkan pandanganku ke jalan samping rumahku. Karena beberapa ibu yang lebih tua dariku tampak berlalu lalang, aku tidak menyia - nyiakan kesempatan ini untuk beribadah yaitu melemparkan senyum dan sapaan. Aku juga sudah ibu - ibu namun kalau level ibu - ibu disamakan dengan level kompasiana, aku masih kategori ibu debutan. Memiliki gelar sarjana pendidikan tapi di rumah saja, sering sekali mendapat pertanyaan loh tidak kerja dan menyayangkan kenapa tidak mencari kerja. Aku memahami bahwa kalimat - kalimat itu sebenarnya untuk menjalin kedekatan saja. Ada juga kabar sampai tentang gunjingan ibu - ibu tentangku. Berbagai omongan negatif itu membuat pertahananku ambrol juga.

            Kesedihanku membuatku berpikir panjang. Tanaman tomat sore tadi yang bisa bermanfaat untuk manusia, diriku pun harus bermanfaat. Berawal dari cerita itulah hingga ku memilih mendedikasikan ilmuku untuk anak - anak di sekitar rumahku yang membutuhkan pengajaran. Bersamaan dengan berbagi, rejeki selalu menghampiri. Rejeki tak pernah gagal menemui tuannya. Kadang rejeki itu juga kupakai menyantuni sepupuku yang sudah yatim.

****

             Hampir setiap hari di rumah ramai kehadiran anak - anak SD, Alhamdulillah ketika ilmu bisa bermanfaat hati pun ikut damai. Ada 15  anak yang sering menghadiri les gratis, dengan jadwal yang bergantian. 15 anak dengan karakter dan kemampuan yang berbeda. Setiap 2 minggu sekali aku mengadakan kelas Bahasa Inggris atau kesenian di hari sabtu. Sebagai penyemangat, setiap kelas berakhir aku akan memberikan quiz materi hari itu, diselingi snack dan susu, dan hadiah utamanya bermacam - macam dari susu 1 liter, kaleng biskuit untuk hari raya, hingga alat tulis. Syukurku tiada henti karena bersamaan dengan berbagi, suamiku yang memiliki usaha jasa pembuatan peta juga ramai, dan suamiku yang selalu mendukung sebagai sponsor utama untuk menyenangkan anak - anak.

            Selain membahagiakan anak - anak ternyata orangtua mereka juga lebih menghargaiku. Tidak ada lagi pertanyaan - pertanyaan profesi. Bahkan ada yang menganggapku guru, meskipun aku merasa belum pantas menyandang guru, lebih tepatnya karena belum mempunyai murid dan pengalaman terjun lama di suatu sekolah. Aku menghargai keputusan suami yang menempatkan posisiku menjadi ibu, mungkin ia ingin memberikan masa kecil emas kepada buah hati kami. Bagiku wanita bekerja atau wanita di rumah memiliki tantangan masing - masing, tidak perlu dibanding - bandingkan. Malah semakin baik jika sesama wanita menjadi support system, alih - alih membicarakan kelemahan wanita lain. Kita bisa berbagi cara memasak yang enak dengan memberikan sampel makanan kreasi kita, bisa saling berbagi informasi kompetisi foto, menggambar untuk anak, kompetisi menulis ataupun tips menang giveaway. Sesuatu yang membuat semangat menggebu untuk bisa level-up diri dan memberdayakan diri.

****

"Permisi, ada paket." Seru kurir JNE

"Oh iya, pak. Paket untuk siapa ya?" tanyaku.

"Mega Pradewi. Ini silahkan ditanda-tangani." Ucapnya sembari menyodorkan kertas pengiriman.

"Terimakasih, Pak."

Aku segera membuka paket yang berisi alat tulis. Ibuku heran dengan pesananku, biasanya pesananku antara popok atau kebutuhan rumah. Sifat irit ala ibu - ibu memang tak bisa ditolak. Aku memang gemar berbelanja online untuk kebutuhan bulanan jika diskonnya lumayan besar. Aku selalu memakai jasa pengiriman JNE di pilihan ekspedisi, begitu juga suami dalam pengiriman peta menggunakan pilihan REG dan YES dalam mendukung profesionalitas usahanya, karena track record yang tak pernah mengecewakan.

"Buat siapa alat tulis nya ndug?"

"Buat hadiah anak - anak bu." Ujarku sembari mengecek kelengkapan barang yang kupesan.

"Ndak dibayar, malah keluar uang terus." Ujar ibuku agak protes.

"Ndakpapa, orderan peta CV suami lumayan, aku jadi kebagian buat yang mudah - mudah bu. Lo, lupa to bu kalau setiap kita berbuat kebaikan seperti berbagi seperti ini dibalas 10 kali lipat bu, entah dibalas disini dan di akhirat juga bu. Ada di Al Qur'an Surat Al An'am ayat 160. Bisa jadi salah satu rejeki-nya kesehatan untuk ibu bapak juga" Ujarku meyakinkan ibuku.

"Oh iya ya. Jangan lupa Rabu nyoblos pilpres"

****

            Gemerlapan lampu kuning khas kafe - kafe masa kini memanjakan penglihatanku. Alunan lagu jazz campursari menambah betah pengunjung kafe ini. Interior yang 90% kayu sangat pas dengan menu - menu yang ditawarkan. Aku yang dipaksa suamiku untuk memilih makanan, menjatuhkan pilihan pada bebek goreng sambel matah. Sudah kubilang aku ingin diet kembali ke tubuh bujangku. Tapi nampaknya itu kemustahilan. Lagipula hatiku gampang goyah hanya dengan melihat pilihan menu dan harganya yang murah. Si kecilku memilih berlarian, atau mengamati semut rangrang remaja yang kebingungan mencari kelompoknya, karena kami lupa membawakannya mainan.

"Aku pingin loh aslinya buka les gratis lagi buat anak tetangga di Ungaran. Tapi kok sebentar lagi kemungkinan pulkam ke Bontang ya. Tapi aku juga ndak enak sama tetangga kalau kurang berkenan ditawarin yang gratis - gratis." Curhatku memulai pembicaraan dengan suami.

"Ya gapapa, beramal ilmu itu bagus, nanti kubuatkan MMT pasang depan rumah." Ujarnya mendukungku.

"Tapi jangan lah, ndak enak aku soalnya di blok sebelah juga ada yang nerima les berbayar, aku ndak mau juga nanti malah ada persaingan" ujarku

"Bun bun kamu ini apa menunggu digunjingin dulu baru termotivasi?" kata suamiku yang heran dengan sifatku.

            Jika ditelaah kata - kata suamiku bahwa memang aku lebih termotivasi karena pengalaman dari kalimat negatif. Kalimat negatif memang seringnya lebih membekas dalam memori. Seperti kutipan artikel di kompas.com, penelitian Lavie dari University College London bahwa sebenarnya nilai-nilai emosional terekam dengan kuat dalam 'perekam' alam bawah sadar. Dan nilai emosional yang paling mudah dipanggil ulang adalah pesan-pesan negatif.

            Piring di meja kami sudah kosong tak bersisa. Suamiku mengepak barang bawaannya, ketika keluarga kecil datang beserta anak laki - laki berumur sekitar 2 tahun yang menggemaskan. Anak laki - laki itu membawa mainan kecil truk kontainer. Mainan yang menarik bagi balita. Anak kami menghampiri meja mereka untuk sekedar melihat - lihat dan memegang mainan anak itu. Tapi karena anak umur 2 tahun memang belum mengenal konsep berbagi, wajar jika mereka masih dalam tahap kepemilikan, bagaimana mempertahankan kepemilikan mereka. Hal itu membuat anak kami sedih sampai terisak. Berbagai macam bujuk rayu kami lakukan saat berjalan ke parkiran.

            Sesampainya di motor, isaknya tak kunjung mereda, melirik martabak manis bawaanku, aku langsung berinisiatif menawarkan apakah ia mau memberikan 1 buah martabak mini manis ini. Ia tampak setuju, dan aku mengantarnya. Walau ia agak malu, kami mendatangi meja keluarga tadi. Mereka kebingungan dengan tawaran kami. Aku menjelaskan secara singkat perihal mainan tadi, mereka segera ingin meminjamkan truk itu, namun anak laki - lakinya berteriak tidak mengijinkan. Setelah ibu muda itu mengambil 1 buah martabak. Anak kami tampak stabil dan perjalanan berlanjut baik - baik saja.

            Memoriku terputar lagi pada kenangan selama 1,5 tahun sebelum pandemi, bisa berbagi ilmu dan memberi kebahagiaan pada anak-anak di kampung rumah orangtuaku. Tidak kusangka juga anak umur 3 tahun bisa merasakan indahnya berbagi. Sepanjang jalan pulang ke ungaran seharusnya dingin karena kanan dan kiri banyak pepohonan dan kebun bergantian dengan pemukiman. Tapi aku merasa hangat, karena aku mengagumi hati yang diciptakan oleh Allah, organ yang perasa. Mudah terpengaruh hal negatif tapi Allah juga memberikan obat penawarnya, yaitu berbagi.

Special Thanks to: JNE & Kompasiana, yang membuatku berani menulis kembali :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun