Gemerlapan lampu kuning khas kafe - kafe masa kini memanjakan penglihatanku. Alunan lagu jazz campursari menambah betah pengunjung kafe ini. Interior yang 90% kayu sangat pas dengan menu - menu yang ditawarkan. Aku yang dipaksa suamiku untuk memilih makanan, menjatuhkan pilihan pada bebek goreng sambel matah. Sudah kubilang aku ingin diet kembali ke tubuh bujangku. Tapi nampaknya itu kemustahilan. Lagipula hatiku gampang goyah hanya dengan melihat pilihan menu dan harganya yang murah. Si kecilku memilih berlarian, atau mengamati semut rangrang remaja yang kebingungan mencari kelompoknya, karena kami lupa membawakannya mainan.
"Aku pingin loh aslinya buka les gratis lagi buat anak tetangga di Ungaran. Tapi kok sebentar lagi kemungkinan pulkam ke Bontang ya. Tapi aku juga ndak enak sama tetangga kalau kurang berkenan ditawarin yang gratis - gratis." Curhatku memulai pembicaraan dengan suami.
"Ya gapapa, beramal ilmu itu bagus, nanti kubuatkan MMT pasang depan rumah." Ujarnya mendukungku.
"Tapi jangan lah, ndak enak aku soalnya di blok sebelah juga ada yang nerima les berbayar, aku ndak mau juga nanti malah ada persaingan" ujarku
"Bun bun kamu ini apa menunggu digunjingin dulu baru termotivasi?" kata suamiku yang heran dengan sifatku.
      Jika ditelaah kata - kata suamiku bahwa memang aku lebih termotivasi karena pengalaman dari kalimat negatif. Kalimat negatif memang seringnya lebih membekas dalam memori. Seperti kutipan artikel di kompas.com, penelitian Lavie dari University College London bahwa sebenarnya nilai-nilai emosional terekam dengan kuat dalam 'perekam' alam bawah sadar. Dan nilai emosional yang paling mudah dipanggil ulang adalah pesan-pesan negatif.
      Piring di meja kami sudah kosong tak bersisa. Suamiku mengepak barang bawaannya, ketika keluarga kecil datang beserta anak laki - laki berumur sekitar 2 tahun yang menggemaskan. Anak laki - laki itu membawa mainan kecil truk kontainer. Mainan yang menarik bagi balita. Anak kami menghampiri meja mereka untuk sekedar melihat - lihat dan memegang mainan anak itu. Tapi karena anak umur 2 tahun memang belum mengenal konsep berbagi, wajar jika mereka masih dalam tahap kepemilikan, bagaimana mempertahankan kepemilikan mereka. Hal itu membuat anak kami sedih sampai terisak. Berbagai macam bujuk rayu kami lakukan saat berjalan ke parkiran.
      Sesampainya di motor, isaknya tak kunjung mereda, melirik martabak manis bawaanku, aku langsung berinisiatif menawarkan apakah ia mau memberikan 1 buah martabak mini manis ini. Ia tampak setuju, dan aku mengantarnya. Walau ia agak malu, kami mendatangi meja keluarga tadi. Mereka kebingungan dengan tawaran kami. Aku menjelaskan secara singkat perihal mainan tadi, mereka segera ingin meminjamkan truk itu, namun anak laki - lakinya berteriak tidak mengijinkan. Setelah ibu muda itu mengambil 1 buah martabak. Anak kami tampak stabil dan perjalanan berlanjut baik - baik saja.
      Memoriku terputar lagi pada kenangan selama 1,5 tahun sebelum pandemi, bisa berbagi ilmu dan memberi kebahagiaan pada anak-anak di kampung rumah orangtuaku. Tidak kusangka juga anak umur 3 tahun bisa merasakan indahnya berbagi. Sepanjang jalan pulang ke ungaran seharusnya dingin karena kanan dan kiri banyak pepohonan dan kebun bergantian dengan pemukiman. Tapi aku merasa hangat, karena aku mengagumi hati yang diciptakan oleh Allah, organ yang perasa. Mudah terpengaruh hal negatif tapi Allah juga memberikan obat penawarnya, yaitu berbagi.
Special Thanks to: JNE & Kompasiana, yang membuatku berani menulis kembali :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H