Mohon tunggu...
Mega Pradewi
Mega Pradewi Mohon Tunggu... Lainnya - Mimosa asperata

Sedang mengabadikan memori lewat menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Jarak Bukan Lagi Halangan untuk Berbagi Kebahagiaan

22 Desember 2020   22:18 Diperbarui: 22 Desember 2020   22:23 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pak yo kita pulang, dah mau maghrib", ajak seorang wanita paruh baya kepada suaminya.

Sementara bapak tua itu tampak memandangi lapangan yang banyak sisi-nya terbengkalai, lapangan basket dengan tanahnya yang amblas miring. Di sisi utara, daratan ditumbuhi belukar dan timbul genangan air seperti rawa, seakan alam perlahan mengambil alih fungsi awal lapangan itu yang adalah rawa - rawa. Ingatan bapak itu menerawang masa - masa emas bagian dari kompleks perumahan yang ditinggali bersama keluarga kecilnya. Tempat itu dimana gadis kecil dan 2 anak laki-laki nya sering menghabiskan waktu bermain. Kenangan dimana ia pernah mengamati anak bungsu laki - laki nya, Akbar menanti giliran bermain gameboth di tukang gameboth keliling yang mangkal di lapangan. Kinanti anak tengah perempuan yang berlarian disana. Dan Dodik si sulung yang matanya pernah bengkak berhari - hari akibat benturan dengan tiang gawang saat bermain sepak bola.

Kenangan itu semua seperti diputar kembali berulang -- ulang setiap kali ia berada di lapangan itu. Walau menua Pak Yadi menolak lupa akan kenangan keluarganya. Hampir setiap hari kegiatan pensiunan perusahaan itu adalah mengelilingi setiap sisi kompleks perumahan perusahaan ini. Satu -- satunya kegiatan yang membuat energinya terus terisi walau fisik yang sudah dimakan usia tidak bisa dihindari. Sementara berjarak 1.200 km, Kinanti yang sedang berusaha meraih gelar strata-nya di sebuah Kota di Jawa Tengah dan Akbar yang sudah memiliki keluarga kecil di kota yang sama.

"Ya, bu, mari pulang" ujar Pak Yadi lirih.

Sesampainya memarkirkan kendaraan, tampak Mas Anto kurir JNE mengepak beberapa kardus kerupuk tenggiri produk rumahan Dodik.

"Assalamualaikum, ada Mas Anto." Sapa Pak Yadi.

"Waalaikumussalam. Iya, pak, rutinitas tiap minggu ya pak, Alhamdulillah."

"Biasanya seminggu 3 kali ya mas, lagi pandemi permintaan menurun, tapi Dodik ya masih istiqomah produksinya, biar sedikit. Sebagian keuntungannya juga bisa untuk menyantuni yang membutuhkan"

"Tidakpapa, pak. Mas Dodik setia kirim pakai JNE saya sudah senang, setiap pengguna jasa JNE punya kontribusi pak untuk memajukan JNE."

"Alhamdulillah, Mas, silahkan dilanjut. Jangan lupa sholat, sudah mau maghrib, mari."

"Mari, pak."

Bu Ira yang sedari tadi di belakang Bapak bergegas mengambil 1 kresek berisi mangga.

"Ini, mas, buat anak -- anak, panen mangga, semoga suka."

"Wah terima kasih Bu, anak -- anak paling suka mangga, ngomong -- ngomong ibu sudah sebulan ini tidak dapat paket ibu."

"O iya, mas, biasanya anak saya yang di Semarang kirim koyo kaki beli onlen, tapi sekarang di apotek sini sudah jual."

Setelah percakapan singkat itu, Mas Anto melanjutkan pekerjaannya dan pergi meninggalkan rumah Keluarga Bapak Yadi. Mas Anto yang dari Jawa merasa dekat dengan keluarga Pak Yadi selain karena berasal dari pulau yang sama juga karena kebaikan mereka, bahkan acap kali Mas Anto memilih pengantaran paket atau pick up barang ke rumah Pak Yadi adalah yang terakhir agar bisa menerima ajakan mengobrol dan berbagi pengalaman hidup dengan Pak Yadi.

****

Pancaran wajah Kinanti tampak kosong menerawang, alunan melodi di kafe itu tak mampu menembus gendang telinganya, seakan organ itu enggan menangkap suara apapun. Tepukan pundak dari Akbar membuyarkan lamunannya. Hidangan sudah tersaji di depannya, katsu yang tersaji dengan saus hitam dan segelas lemon tea tak mampu menggugah seleranya. Alih -- alih saus hitam itu mengingatkan pada suramnya masa depannya, serba gelap, tak ada petunjuk akan langkah yang harus ditempuh.

"Sebetulnya mbak ini mau apa berlama -- lama disini kalau sudah tidak sanggup? Ingat bapak sama ibu, mintalah restu bapak, cium tangannya mbak akan lihat betapa umur bapak sudah tua. Aku juga sudah rindu ibu."

Bagi Akbar, Kinanti seperti burung dalam sangkar, terbelenggu oleh ambisinya sendiri, ego yang mengurungnya di kota ini. Ratusan untaian kata Akbar pelan -- pelan membanjiri nurani Kinanti. Meja di depannya basah, bukan air hujan, mana mungkin atap kafe yang kokoh ini ditembus hujan.

****

Hujan siang itu, sayup -- sayup terdengar dari dalam rumah, dengan tergopoh -- gopoh Bu Ira yang sedang di dapur masuk ke kamar menerima panggilan dari anak kesayangannya. Suara di seberang sana selalu membuat Bu Ira tersenyum antara candaan anak kesayangannya Akbar atau suara mungil cucu yang belum pernah ia gendong. Beberapa menit berlalu dengan senyum yang selalu merekah dari mulut Bu Ira.

"Bu, mau dikirimi apa buat ibu sama bapak? Yang tidak ada di Bontang nanti Akbar kirim pakai JNE."

"Alhamdulillah le, semua sudah ada, paling celana spot bapak le yang sudah banyak robek, kadang ibu kalau jahit gemetar tangannya."

"Ya, bu, Akbar kirimkan celana sport yang banyak, biar bapak semangat olahraganya bu."

Tak berselang lama panggilan yang selalu ia rindukan itu berakhir. Hujan sudah reda. Bu Ira mengambil 1 buah pisang, menuju ke halaman, dikaitkannya pisang itu dan dikerek di tiang bendera. Memberi makan burung adalah kebiasaan yang sejak kecil selalu ia lakukan bersama anak -- anaknya, mengingatkan burung yang pernah menjadi peliharaan bebas keluarga Pak Yadi. Tak pernah keluarga mereka ingin mengekang burung di sangkarnya, toh jika burung itu jinak akan selalu tau dimana rumahnya.

****

3 Hari berselang

"Assalamualaikum, Pak ada paket." Seru mas Anto.

"Waalaikumussalam, Mas Anto lagi, Alhamdulillah."

"Ini paket khusus untuk Bapak Yadi. Mohon diterima."

"Dari siapa ini, oo Akbar."

Dodik menghampiri mereka di depan, seraya mengajak Mas Anto untuk ngopi sebentar.

"Pas sekali tidakpapa mas, kebetulan paket tinggal 2 saja untuk dikirim di blok sebelah. Sebagai kurir harus amanah saya mas, kalau hari ini kirim harus kirim walau hujan." Ujar Mas Anto menggebu

"Semangat sekali mas Anto ini." Decak kagum Dodik untuk profesi Mas Anto.

"Laiya karena tugas kurir itu mengantar kebahagiaan, berbagi kebahagiaan, seperti mengantar paket untuk Bapak ini mas. Kadang kita diapresiasi oleh customer. Dikasih kopi gini sangat humanis mas."

Sementara Pak Yadi membuka paket dan menemukan beberapa celana yang kemarin dijanjikan Akbar kepada ibunya, dan jajanan marning, kesukaan bapak. Air mata lelaki tua itu tak dapat terbendung, kerinduan kepada kedua anaknya terlalu membuncah untuk dapat ditahan bahkan oleh seorang lelaki. Sambil mengusap kedua matanya, Pak Yadi menuangkan keluh kesah kepada Dodik dan Mas Anto.

Tiga pasang kaki dan satu pasang kaki mungil tampak turun dari mobil SUV yang disewa mereka. Menapaki jalanan beton yang basah menuju rumah yang di depannya ada 2 pohon mangga dan 1 tiang bendera yang menyisakan sebagian pisang yang sudah lembek. Tiga lelaki di depan itu menoleh menatap kedatangan 3 orang yang tidak asing, tapi waktu memang tak pernah gagal mengubah umur wajah seseorang. Tak hanya paket yang datang tapi sang pengirimnya turut menyertai kebahagiaan yang ia kirim. Segera peluk, cium dan haru mewarnai pertemuan pertama mereka setelah sekian tahun terpisah oleh jarak. Raisa, istri Akbar dan anaknya hanya tersenyum mengamati berkumpulnya keluarga mereka. Bu Ira yang sedari tadi di belakang lari tegopoh - gopoh bergabung dengan harunya keluarga mereka.

Untaian kata maaf terucap dari mulut Kinanti, segala pengakuan dan cita -- cita yang belum bisa diraihnya. Kedua orangtuanya nyatanya tak pernah memaksa Kinanti untuk terbang setinggi itu jika Kinanti belum mampu, orangtua hanyalah penyemangat dan penyelamat ketika tidak ada satu pun yang mau menerima kekurangan diri anaknya.

****

Sore itu lapangan tidak becek lagi, karena matahari tampaknya sangat bersemangat beberapa hari ini. Begitu pula Kinanti, setelah mencurahkan segala isi hatinya dan meminta restu apapun yang terjadi untuk masa depannya. Seminggu kemudian muncul pemberitahuan adanya kesempatan terakhir untuk menyelesaikan gelar strata nya, memang restu orangtua selalu menjadi keridhoan Allah, sehingga hal -- hal yang tidak mungkin serasa hanya membalik telapak tangan.

Peluh di kening Kinanti semakin membuatnya segar. Ia tampak ingin berlari lagi, kalau bisa terbang mungkin ia akan mengambil ancang -- ancang lompat dari tribun paling atas ini. Burung pipit tampak hinggap di kanan -- kirinya. Bapak datang membawa air dan tak lama mereka larut dalam obrolan tentang kelucuan masa kecil anak - anak di sudut -- sudut lapangan ini.

Dengan langkah gontai Raisa mengawasi anak laki-lakinya berlarian, berkenalan dengan anak baru. Ia juga teringat 5 tahun lalu bermain tanaman pletikan dengan suaminya di dekat saluran air di bawah tribun kecil ini sebelum kembali ke Semarang. Tanaman itu masih ada, bunganya yang berwarna ungu tampak mekar indah walau terabaikan, ia segera mencari dan menemukan beberapa biji. Anak lelaki nya yang belum pernah melihat tanaman itu, segera menemukan kesenangan barunya, berburu pletikan dan dibawa ke air. Raisa menatap ke langit. Apakah lirik lagu "memandang langit yang sama" berlaku baginya? Langit ini pastinya bukan langit yang sama yang ditatap kedua orangtuanya karena jarak mereka berjarak ribuan kilometer. Suaminya memanggilnya dari bawah pohon, yang disana juga ada ibu mertuanya yang sedang duduk. Hal itu membuat ia teringat bahwa dunia memang hanya seperti kita berteduh di bawah pohon hanya sekejap saja.

Waktu memang hanya seperti sekejapan saat kita mereka ulang memori di hidup ini. Walau jarak kini bergantian memisahkan Raisa dengan kedua orangtuanya. Tapi di era sekarang ini semakin menyempit jarak hanya sebatas diri dan layar hp. Jika hati selalu ingat berdoa untuk orang yang kita cinta, maka jarak adalah suatu keniscayaan.

****

"Permisi kiriman paket", seru kurir JNE di rumah ibunda Raisa.

"Walah -- walah ini paket dari Bontang ya, Alhamdulillah, sepertinya ini kerupuk tenggiri. Wah mase ini kayaknya sering di daerah sini ya, sering ibu lihat."

"Iya bu, salah satu tugas saya area sini."

"Namanya siapa mas?"

"Anto"

****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun