Mohon tunggu...
Mega Pradewi
Mega Pradewi Mohon Tunggu... Lainnya - Mimosa asperata

Sedang mengabadikan memori lewat menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Jarak Bukan Lagi Halangan untuk Berbagi Kebahagiaan

22 Desember 2020   22:18 Diperbarui: 22 Desember 2020   22:23 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pas sekali tidakpapa mas, kebetulan paket tinggal 2 saja untuk dikirim di blok sebelah. Sebagai kurir harus amanah saya mas, kalau hari ini kirim harus kirim walau hujan." Ujar Mas Anto menggebu

"Semangat sekali mas Anto ini." Decak kagum Dodik untuk profesi Mas Anto.

"Laiya karena tugas kurir itu mengantar kebahagiaan, berbagi kebahagiaan, seperti mengantar paket untuk Bapak ini mas. Kadang kita diapresiasi oleh customer. Dikasih kopi gini sangat humanis mas."

Sementara Pak Yadi membuka paket dan menemukan beberapa celana yang kemarin dijanjikan Akbar kepada ibunya, dan jajanan marning, kesukaan bapak. Air mata lelaki tua itu tak dapat terbendung, kerinduan kepada kedua anaknya terlalu membuncah untuk dapat ditahan bahkan oleh seorang lelaki. Sambil mengusap kedua matanya, Pak Yadi menuangkan keluh kesah kepada Dodik dan Mas Anto.

Tiga pasang kaki dan satu pasang kaki mungil tampak turun dari mobil SUV yang disewa mereka. Menapaki jalanan beton yang basah menuju rumah yang di depannya ada 2 pohon mangga dan 1 tiang bendera yang menyisakan sebagian pisang yang sudah lembek. Tiga lelaki di depan itu menoleh menatap kedatangan 3 orang yang tidak asing, tapi waktu memang tak pernah gagal mengubah umur wajah seseorang. Tak hanya paket yang datang tapi sang pengirimnya turut menyertai kebahagiaan yang ia kirim. Segera peluk, cium dan haru mewarnai pertemuan pertama mereka setelah sekian tahun terpisah oleh jarak. Raisa, istri Akbar dan anaknya hanya tersenyum mengamati berkumpulnya keluarga mereka. Bu Ira yang sedari tadi di belakang lari tegopoh - gopoh bergabung dengan harunya keluarga mereka.

Untaian kata maaf terucap dari mulut Kinanti, segala pengakuan dan cita -- cita yang belum bisa diraihnya. Kedua orangtuanya nyatanya tak pernah memaksa Kinanti untuk terbang setinggi itu jika Kinanti belum mampu, orangtua hanyalah penyemangat dan penyelamat ketika tidak ada satu pun yang mau menerima kekurangan diri anaknya.

****

Sore itu lapangan tidak becek lagi, karena matahari tampaknya sangat bersemangat beberapa hari ini. Begitu pula Kinanti, setelah mencurahkan segala isi hatinya dan meminta restu apapun yang terjadi untuk masa depannya. Seminggu kemudian muncul pemberitahuan adanya kesempatan terakhir untuk menyelesaikan gelar strata nya, memang restu orangtua selalu menjadi keridhoan Allah, sehingga hal -- hal yang tidak mungkin serasa hanya membalik telapak tangan.

Peluh di kening Kinanti semakin membuatnya segar. Ia tampak ingin berlari lagi, kalau bisa terbang mungkin ia akan mengambil ancang -- ancang lompat dari tribun paling atas ini. Burung pipit tampak hinggap di kanan -- kirinya. Bapak datang membawa air dan tak lama mereka larut dalam obrolan tentang kelucuan masa kecil anak - anak di sudut -- sudut lapangan ini.

Dengan langkah gontai Raisa mengawasi anak laki-lakinya berlarian, berkenalan dengan anak baru. Ia juga teringat 5 tahun lalu bermain tanaman pletikan dengan suaminya di dekat saluran air di bawah tribun kecil ini sebelum kembali ke Semarang. Tanaman itu masih ada, bunganya yang berwarna ungu tampak mekar indah walau terabaikan, ia segera mencari dan menemukan beberapa biji. Anak lelaki nya yang belum pernah melihat tanaman itu, segera menemukan kesenangan barunya, berburu pletikan dan dibawa ke air. Raisa menatap ke langit. Apakah lirik lagu "memandang langit yang sama" berlaku baginya? Langit ini pastinya bukan langit yang sama yang ditatap kedua orangtuanya karena jarak mereka berjarak ribuan kilometer. Suaminya memanggilnya dari bawah pohon, yang disana juga ada ibu mertuanya yang sedang duduk. Hal itu membuat ia teringat bahwa dunia memang hanya seperti kita berteduh di bawah pohon hanya sekejap saja.

Waktu memang hanya seperti sekejapan saat kita mereka ulang memori di hidup ini. Walau jarak kini bergantian memisahkan Raisa dengan kedua orangtuanya. Tapi di era sekarang ini semakin menyempit jarak hanya sebatas diri dan layar hp. Jika hati selalu ingat berdoa untuk orang yang kita cinta, maka jarak adalah suatu keniscayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun