Mohon tunggu...
Mega Pradewi
Mega Pradewi Mohon Tunggu... Lainnya - Mimosa asperata

Sedang mengabadikan memori lewat menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Jarak Bukan Lagi Halangan untuk Berbagi Kebahagiaan

22 Desember 2020   22:18 Diperbarui: 22 Desember 2020   22:23 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bu Ira yang sedari tadi di belakang Bapak bergegas mengambil 1 kresek berisi mangga.

"Ini, mas, buat anak -- anak, panen mangga, semoga suka."

"Wah terima kasih Bu, anak -- anak paling suka mangga, ngomong -- ngomong ibu sudah sebulan ini tidak dapat paket ibu."

"O iya, mas, biasanya anak saya yang di Semarang kirim koyo kaki beli onlen, tapi sekarang di apotek sini sudah jual."

Setelah percakapan singkat itu, Mas Anto melanjutkan pekerjaannya dan pergi meninggalkan rumah Keluarga Bapak Yadi. Mas Anto yang dari Jawa merasa dekat dengan keluarga Pak Yadi selain karena berasal dari pulau yang sama juga karena kebaikan mereka, bahkan acap kali Mas Anto memilih pengantaran paket atau pick up barang ke rumah Pak Yadi adalah yang terakhir agar bisa menerima ajakan mengobrol dan berbagi pengalaman hidup dengan Pak Yadi.

****

Pancaran wajah Kinanti tampak kosong menerawang, alunan melodi di kafe itu tak mampu menembus gendang telinganya, seakan organ itu enggan menangkap suara apapun. Tepukan pundak dari Akbar membuyarkan lamunannya. Hidangan sudah tersaji di depannya, katsu yang tersaji dengan saus hitam dan segelas lemon tea tak mampu menggugah seleranya. Alih -- alih saus hitam itu mengingatkan pada suramnya masa depannya, serba gelap, tak ada petunjuk akan langkah yang harus ditempuh.

"Sebetulnya mbak ini mau apa berlama -- lama disini kalau sudah tidak sanggup? Ingat bapak sama ibu, mintalah restu bapak, cium tangannya mbak akan lihat betapa umur bapak sudah tua. Aku juga sudah rindu ibu."

Bagi Akbar, Kinanti seperti burung dalam sangkar, terbelenggu oleh ambisinya sendiri, ego yang mengurungnya di kota ini. Ratusan untaian kata Akbar pelan -- pelan membanjiri nurani Kinanti. Meja di depannya basah, bukan air hujan, mana mungkin atap kafe yang kokoh ini ditembus hujan.

****

Hujan siang itu, sayup -- sayup terdengar dari dalam rumah, dengan tergopoh -- gopoh Bu Ira yang sedang di dapur masuk ke kamar menerima panggilan dari anak kesayangannya. Suara di seberang sana selalu membuat Bu Ira tersenyum antara candaan anak kesayangannya Akbar atau suara mungil cucu yang belum pernah ia gendong. Beberapa menit berlalu dengan senyum yang selalu merekah dari mulut Bu Ira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun