"Sahabat kamu mana?" tanya Kak Reza begitu telah menjejeriku.
Aku tetap tersenyum, walau rasanya kaku. "Oh, Fara, Kak? Dia katanya lagi nggak pengin bareng aku."
"Sans aja, Nanda. Aku tau kok kalian lagi bermasalah. Soalnya aku sering liat kamu sendirian. Ceritain aja semua. Insyaallah aku bisa dipercaya."
Seluruh ujung jari tanganku melemas, menggenggam erat pagar rooftop sekolah yang sedang kujajahi di waktu istirahat pertama ini. Otakku berpikir keras, bagaimana bisa aku memberi kepercayaan dengan mudah kepada orang baru ini, sementara selama ini aku hanya percaya kepada Fara. Aku menimang sebentar. Dan ternyata aku tidak bisa membohongi hati kecilku yang mengatakan, kalau Kak Reza benar-benar orang yang baik dan bisa dipercaya.
Sepuluh menit berlalu, pintu rooftop tiba-tiba terdorong keras dan memunculkan Fara yang menatapku nyalang dengan mulutnya yang terkekeh.
"Padahal niat aku ke sini mau ajak perdamaian, Nan. Aku mau ceritain alasan sebenarnya aku marah sama kamu. Tapi mustahil! Kamu malah jelek-jelekin aku di depan Kak Reza. Emang munafik!"
Begitu Fara pergi dengan membanting keras pintu rooftop tadi, hatiku rasanya langsung menciut.
Tahukah kamu arti munafik?
Sungguh, Fara telah salah paham. Aku memang tadi memutuskan untuk menceritakan semua tentang Fara kepada Kak Reza. Tapi bukan berarti aku sedang menjelek-jelekkannya. Sekarang baru aku menunduk menyesal. Perasaanku bercampur aduk antara kesal, lelah dan sakit. Baru kali ini hidupku terasa sangat rumit Ya Tuhan....
Kak Reza menepuk pelan bahuku, membuatku mendongak secara perlahan. Ia menyembulkan senyum. "Nanda, kamu pasti bisa selesain masalah ini dengan bijaksana. Semangat."
"Aku cuma takut waktu yang---nggak memungkinkan, Kak," getirku menjawab.