Mohon tunggu...
Medwin Wisnu Prabowo
Medwin Wisnu Prabowo Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis Dewasa

An Adult Clinical Psychologist | Works at RS Hermina Galaxy Bekasi | INFJ-A | Lifetime learner | Newbie writer who want to share knowledge and information about psychology just for you. Hopefully it useful and make a good impact. Contact me via email: medwin.prabowo@gmail.com. Have a great day, everyone! GBU ;))

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Pentingnya Resiliensi (Ketahanan Mental) di Masa Pandemi Sekarang Ini

19 Juli 2021   17:27 Diperbarui: 25 Juli 2021   18:13 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kesepian dan stres di masa pandemi. (sumber: FREEPIK via kompas.com)

Seperti kita ketahui, pandemi Covid-19 telah menjadi wabah yang menyebar ke seluruh dunia sejak akhir tahun 2019 yang lalu, tak terkecuali di Indonesia. 

Dalam menghadapinya, pemerintah sudah menggunakan banyak cara agar masyarakat terhindar dari penyakit yang mematikan ini. 

Gitiyarko (2020) menjelaskan bahwa beberapa upaya dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut di antaranya adanya pengawasan ketat di jalur masuk ke Indonesia dari luar negeri pada awal kemunculan virus corona, pembentukan tim Satgas Penanggulangan Covid-19, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), adanya larangan mudik lebaran di tahun 2020, membuat dan memberlakukan aturan tentang tatanan hidup new normal, dan mengusahakan pertumbuhan ekonomi agar dapat tetap stabil di angka 5,3 persen. 

Selain itu, kebijakan pemerintah yang terbaru yaitu adanya PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Darurat karena meledaknya kasus positif dan kasus meninggal dunia akibat masyarakat yang tetap nekat melakukan mudik lebaran di tahun 2021.

Data yang didapat dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2021) menyebutkan bahwa hingga tanggal 10 Juli 2021, kasus positif covid di Indonesia yaitu sejumlah 2.491.006 orang. 

Jumlah kasus yang sembuh yaitu 2.052.109 orang. Sementara jumlah kasus yang meninggal dunia yaitu sebanyak 65.457 orang. Ini tentunya bukan jumlah yang sedikit, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sekarang yang berkisar 250 juta jiwa. 

Terlebih lagi, berdasarkan data dari DetikHealth (2021), per tanggal 9 Juli 2021 Indonesia menempati peringkat pertama dunia untuk kasus baru, kasus sembuh, dan juga kasus meninggal dunia. Ini tentunya merupakan suatu hal yang sangat menyedihkan bagi kita semua.

Di luar dari data tersebut, kita tahu bahwa adanya covid-19 ini memberi efek pada semua aspek kehidupan kita sebagai manusia. Mulai dari aspek pekerjaan dan sekolah, kehidupan sehari-hari, relasi dengan orang lain yang terbatas, hingga berefek pada aspek emosi, motivasi, hingga adanya masalah psikologis yang banyak bermunculan. 

Selain itu, adanya resiko kematian yang tinggi juga menimbulkan rasa takut bagi kita untuk tertular penyakit covid-19 ini. Belum lagi jika ada anggota keluarga, sahabat, teman, atau kenalan yang meninggal dunia membuat munculnya rasa berkabung (griefing) akibat ditinggalkan oleh mereka. 

Semua hal ini tentunya memunculkan beban psikologis yang tidak ringan untuk kita pikul, pada diri kita masing-masing, tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, ras, hingga kewarganegaraan sekalipun.

Beban psikologis ini tentunya perlu kita hadapi dengan cara yang tepat, agar kita bisa melalui semua masalah yang muncul akibat adanya covid-19 ini dengan lebih baik lagi. 

Dalam ilmu psikologi, saat manusia dihadapkan pada suatu stressor/masalah, maka manusia akan melakukan coping strategy. Coping strategy ini bertujuan bukan hanya untuk menghilangkan stressor/masalah yang sedang dihadapinya, namun juga menghilangkan emosi dan perasaan negatif akibat adanya stressor/masalah tersebut. Coping strategy yang efektif dan menghasilkan dampak fungsional yang positif adalah coping strategy yang perlu dilakukan. 

Dalam coping strategy ini, terletak salah satu aspek psikologis yang dimiliki oleh manusia, dimana satu individu dengan individu yang lain memiliki level yang berbeda-beda, yang akan sangat berpengaruh terhadap pemikiran dan perilaku yang adaptif dari adanya situasi yang penuh stressor/masalah tersebut, yaitu resiliensi (ketahanan mental).

Resiliensi menurut Connor & Davidson (2003) adalah kemampuan individu dalam menangani stres atau tekanan, serta dalam mengatasi kecemasan dan depresi. 

Sementara itu, definisi yang dikemukakan oleh VandenBos (2015) di APA Dictionary of Psychology (dalam Wulan, 2020), resiliensi adalah sebuah proses dari hasil adaptasi dengan pengalaman hidup yang sulit atau menantang, terutama melalui mental, emosional, dan perilaku yang fleksibel, baik penyesuaian yang berupa eksternal dan internal. 

Jika dibuat kesimpulan, maka resiliensi adalah kemampuan seseorang dalam beradaptasi dengan dirinya sendiri dan dengan dunia luar, yang berupa pemikiran, emosional, dan perilaku yang fleksibel, dalam rangka menangani stressor atau kondisi yang tidak menyenangkan, serta mengatasi kecemasan dan depresi.

Saat adanya pandemi covid-19 ini, sangat jelas bahwa kita perlu untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang semuanya serba berbeda dengan dahulu saat belum ada pandemi. 

Jika kita dahulu bekerja di kantor, maka saat pandemi ini diharuskan untuk bekerja di rumah agar tidak tertular dari teman sekantor. Jika kita saat dahulu tidak perlu membatasi diri saat berinteraksi dengan orang lain, maka setelah adanya pandemi covid ini kita diharuskan untuk menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain. Selain itu pula, saat dahulu kita pergi keluar rumah tidak perlu memakai dan membawa barang-barang khusus, sedangkan saat sekarang jika berada di luar rumah kita harus memakai masker dan membawa hand sanitizer. 

Jika melihat lebih berat lagi stressor/masalahnya, maka saat dahulu sebelum pandemi semua orang yang kita sayangi masih hidup, sedangkan setelah pandemi ini ada teman, tetangga, saudara, atau bahkan anggota keluarga inti yang sudah meninggal dunia. 

Kondisi yang serba berbeda dan tidak menyenangkan inilah yang membuat kita perlu memiliki resiliensi yang tinggi agar bisa menyesuaikan diri dan dapat melalui kondisi ini dengan lebih baik.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa setiap orang memiliki tingkat resiliensi yang berbeda-beda. Hal ini berarti tiap orang memiliki kemampuan adaptif terhadap kondisi yang tidak menyenangkan yang berbeda-beda. Singkat kata, ada individu yang lebih adaptif, dan ada pula yang tidak lebih adaptif. 

Jika kita ingin lebih adaptif dalam menghadapi kondisi yang tidak mengenakkan, atau arti kata lain yaitu ingin memiliki resiliensi yang lebih tinggi, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Connor & Davidson (2003) mengemukakan ada lima aspek yang perlu diperhatikan dalam terbentuknya resiliensi pada individu, yaitu personal competence, trust in one's instincts, positive acceptance of change and secure relationships, control and factor, dan spiritual influences. 

Berikut penjelasan singkat kelima aspek tersebut, sekaligus cara yang bisa kita lakukan agar memiliki kemampuan yang baik dalam tiap aspek, di masa pandemi sekarang ini:

  • Personal competence, high standard and tenacity.

Aspek ini berhubungan dengan kompetensi personal individu dimana individu merasa sebagai orang yang mampu untuk mencapai tujuan walaupun dalam situasi yang sulit. 

Ketika mengalami masa pandemi covid sekarang ini, kita cenderung merasa ragu dan cemas untuk bisa melalui sehari-hari dengan baik. 

Perasaan ragu dan cemas itu tidak lain disebabkan banyaknya efek negatif dari pandemi covid ini, yaitu semakin tingginya kasus positif dan kasus meninggal dunia, menurunnya penghasilan keluarga setiap bulan, meningkatnya konflik di lingkungan keluarga, perbedaan cara hidup hampir di segala hal, dan lain sebagainya. 

Oleh karena itu, agar kita bisa melalui pandemi dengan baik maka dibutuhkan adanya keuletan dan keyakinan akan terpenuhinya semua kebutuhan tanpa adanya perasaan menyerah dan putus asa. 

Bahkan bukan hanya itu saja, kita juga perlu untuk tetap memiliki standar yang tinggi terkait aktivitas yang kita kerjakan, jika kita ingin bisa melalui masa pandemi ini dengan hasil positif yang optimal.

  • Trust in one's instincts, tolerance of negative affect, strengthening effect of stress.

Aspek ini berhubungan dengan ketenangan dalam bertindak. Individu yang tenang cenderung berhati-hati dalam mengambil sikap atas masalah yang dihadapi. Individu juga mampu melakukan coping terhadap stres dengan cepat serta tetap fokus pada tujuan walaupun sedang mengalami tekanan atau masalah. 

Oleh karena itu, kita harus tenang dan hati-hati dalam bertindak di masa pandemi sekarang ini. Perhatikan efek buruk dari setiap aktivitas yang akan kita lakukan. 

Jangan lakukan aktivitas tersebut jika ada peluang meningkatkan risiko penularan virus corona kepada diri kita. 

Gunakan insting kita dan carilah solusi terbaik dari masalah yang muncul. Jangan memiliki perasaan cemas yang berlebih, dan berusahalah menjadi individu yang selalu positive thinking. 

  • Positive acceptance of change and secure relationships.

Aspek ini berhubungan dengan kemampuan menerima perubahan dengan positif dan tetap mampu untuk memiliki relasi yang baik dengan orang lain. 

Jika kita ingin dapat melalui masa pandemi ini dengan baik, maka kita harus berusaha untuk patuh pada protokol kesehatan dan menjalani kehidupan new normal sehari-hari dengan penuh tanggung jawab. 

Lakukan protokol kesehatan dan pola kehidupan new normal dengan semaksimal mungkin, tanpa protes dan mengeluh, serta sadari bahwa kebijakan itu dibuat demi kebaikan diri kita sendiri agar terhindar dari penularan virus corona. 

Selain itu, walaupun kita harus menjaga jarak dan sebaiknya di rumah saja (kecuali ada hal yang sangat penting yang harus dilakukan), namun kita tetap bisa terhubung dengan keluarga, kerabat, sahabat, dan teman-teman, melalui media online. 

Tetap jagalah hubungan relasi yang baik via aplikasi chat, meeting room, atau media sosial dengan bertegur sapa, menanyakan kabar, bertanya tentang kesehatan mereka, saling bercerita hal yang ingin diceritakan, tawarkan bantuan jika mereka sedang membutuhkan, hingga sampaikan empati jika mereka sedang dalam kondisi yang sulit atau bahkan sedang berkabung.

  • Control and factor.

Aspek ini berhubungan dengan kemampuan untuk mengontrol diri dan mencapai tujuan. Agar bisa melalui masa pandemi ini dengan baik, maka kita perlu untuk mengontrol diri untuk tidak melakukan aktivitas yang meningkatkan risiko penularan covid pada diri kita. 

Kontrol pula pemikiran yang kita miliki agar tidak selalu berpikir yang negatif (negative thinking). Selain itu, lakukanlah hal yang membuat kita mencapai tujuan yaitu melewati masa pandemi ini dengan baik. 

Beberapa aktifitas yang bisa dilakukan adalah beribadah, berdoa, berolahraga di dalam rumah, bermeditasi/yoga, berjemur selama 15 menit di pagi hari, istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi, makan buah-buahan dan minum susu secara teratur, membuat diri selalu bahagia, dan selalu patuhi protokol kesehatan secara ketat.

  • Spiritual influences.

Aspek ini berhubungan dengan kemampuan untuk selalu berjuang karena adanya keyakinan kepada Tuhan. Saat masa pandemi sekarang ini, kita perlu meyakini bahwa semua yang terjadi merupakan takdir yang diciptakan oleh Tuhan. 

Jika kita yakin sepenuhnya kepada Tuhan, maka kita akan melalui masa pandemi ini dengan perasaan yang positif dan dilalui dengan tetap berjuang karena Tuhan selalu bersama dengan kita.

Dengan selalu beribadah, berdoa, selalu bersyukur dan menyerahkan segalanya yang akan terjadi kepada Tuhan, maka kita akan yakin bahwa ada kekuatan di luar kuasa manusia yang mengatur segalanya, dan sepenuhnya merupakan kehendak Tuhan yang tidak bisa kita hindari. 

Dengan tingginya spiritualitas kita, maka apapun stressor/masalah yang sedang dihadapi, akan dijalankan dengan penuh ikhlas dan penuh rasa syukur.

***

Kelima aspek tersebut adalah aspek-aspek yang perlu untuk dikembangkan dan dilakukan dengan lebih maksimal, agar semakin terbentuknya resiliensi yang lebih baik. 

Jika kelima aspek tersebut sudah dilakukan dengan lebih maksimal, maka tingkat resiliensi akan semakin meningkat, sehingga kita menjadi lebih bisa adaptif dan fleksibel dalam menghadapi kondisi pandemi sekarang ini.

Daftar Referensi

Anwar, F. (2021). DetikHealth: RI Peringkat Pertama Sementara Kasus Covid-19 Baru, Sembuh, dan Meninggal. Diakses dari health.detik.com

Connor, K.M. & Davidson, J.R.T. (2003). Development of a New Resilience Scale: The Connor - Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Article in Depression and Anxiety. Vol 18, 76-82. DOI: 10.1002/da.10113

Gitiyarko, V. (2020). Upaya dan Kebijakan Pemerintah Indonesia Menangani Pandemi Covid-19. Diakses dari kompaspedia.kompas.id

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2021). Data Statistik Jumlah Penderita dan Kasus yang Meninggal Akibat Covid-19 per tanggal 10 Juli 2021. Diakses dari kemkes.go.id

Wulan, A.P.J. (2020). Mengenal Resiliensi dalam Ilmu Psikologi. Jakarta: Fakultas Humaniora Program Studi Psikologi Universitas Bina Nusantara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun