Mohon tunggu...
Medy Budun
Medy Budun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Alumni Magister Administrasi Bisnis, Universitas Lambung Mangkurat

Penulis bebas. Putra asli Dayak Paser Tiong Talin. Aktif dalam forum diskusi terkait dengan komunitas Dayak dalam konteks seni budaya, hak masyarakat adat dan kearifan lokal.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Godaan Harga Lahan Properti Mahal Sekitar IKN Baru

23 Juni 2021   21:15 Diperbarui: 21 Juli 2021   06:49 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebutuhan properti terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk yang terus bertambah. Namun bukan hanya itu, pesatnya pembangunan dan pertumbuhan industri pada suatu kawasan juga mempengaruhi pada meningkatnya kebutuhan tersebut sehingga yang akan terjadi adalah semakin mahalnya harga properti. Hal ini terjadi karena faktor supply and demand yang tidak seimbang. Disaat kebutuhan properti meningkat akan tetapi ketersediaan lahan semakin terbatas dari waktu ke waktu.

Kota kosmopolitan sangat identik dengan tingginya nilai properti untuk keperluan hunian keluarga, perkantoran, ritel dan perdagangan. Bahkan permintaan lahan diluar pusat perkotaan pun sangat bernilai ekonomis sebagai lahan industri dan manufaktur. Itulah sebabnya investasi di sektor properti sangat menjanjikan karena merupakan bisnis yang tidak ada matinya, pasti untung bahkan bisa berlipat kali ganda jauh melebihi investasi emas, saham dan deposito. Maka dari itu tidak heran jika para spekulan tanah sangat berani bermain di sektor ini tanpa terkecuali, lokasi IKN baru di negeri Regatn Tatau tidak luput jadi incarannya.

Mari kita perhatikan harga lahan properti pada beberapa kota kosmopolitan yang pernah penulis kunjungi, harganya gila!. Kota Osaka, Jepang, harga tanah 11 juta yen per m2 atau setara dengan 1,4 miliar rupiah per m2. 

Kota Singapura, harga tanah paling rendah 100 juta per m2 dan itupun lokasinya berada diluar pusat kota. Kota Santiago, Chile, harga rata-rata tanah dikisaran US$ 2.300 per m2 atau setara dengan 34 juta rupiah per m2. Dan yang nanti mungkin mirip-mirip dengan IKN baru adalah Kota Putrajaya, Malaysia, harga sebuah hunian sederhana saja paling murah 1 miliar per unit nya sedangkan di Kuala Lumpur harga tanah dikisaran 70 juta per m2. Sementara di Jakarta, harga tanah dikisaran 38 juta per m2. 

Bayangkan, di lokasi calon IKN baru ada yang menjual 1 miliar per hektar (bukan per m2), harga yang dianggap sudah sangat tinggi bagi masyarakat awam, namun bagi spekulan yang mengerti prospek kedepan harga tersebut bukan menjadi hal yang berarti, mereka pasti sudah mempelajari segala aspek sebelum memutuskan untuk membeli.

Shinsaibashi Shopping Arcade, Osaka, Jepang (Dokpri)
Shinsaibashi Shopping Arcade, Osaka, Jepang (Dokpri)

Pada suatu kesempatan di awal 2020, penulis bertandang ke tempat Bpk. Suwis dan Bpk. Guil, keluarga di Kelurahan Sepan, Penajam Paser Utara juga termasuk bertemu Bpk. Yosi Samban selaku Kepala Adat setempat, mengaku sering didatangi para spekulan untuk menanyakan tanah yang akan dijual. Namun sebagai Kepala Adat beliau mengaku bertekat mempertahankan tanah warisan leluhur warganya agar tidak dijual begitu saja walaupun harga yang ditawarkan sangat menggiurkan menjadi naik 2 hingga 10 kali lipat dari harga biasanya. 

Alasan penolakan cukup logis. “Saatnya nanti IKN baru sudah jadi maka kita sendiri pun tidak akan mampu untuk membeli kembali tanah tersebut karena harganya akan terus naik dari waktu ke waktu”, kata beliau. 

Mendengar hal tersebut, penulis sebagai pribumi asli IKN merasa cukup lega karena apa yang selama ini dikuatirkan sepertinya itu tidak akan terjadi atau setidaknya masyarakat tidak terburu-buru untuk menjual tanah mereka dan mengerti bahwa lahan properti adalah asset yang sangat berharga dan bernilai ekonomis kedepan jika dikelola dengan baik. Kalau bukan kita, mungkin oleh anak dan cucu kita.

Penulis sangat mengerti pola pikir lama bagaimana lugu saking baiknya orang tua dulu, dengan gampangnya memberi sebagian tanahnya secara cuma-cuma kepada orang yang baru dikenal, datang dengan senyum yang menawan, minta jadi anak angkat dan sebagainya. Itupun tanpa ukuran-ukuran, tinggal ambil batu atau kayu, lempar sekuatnya, sampai disitulah luas tanah yang diberi. Ada juga kalimat satire yang sering penulis dengar, “pendatang jual pentol untuk beli tanah, pribumi jual tanah untuk beli pentol”. 

Makna positifnya, agar komunitas bisa belajar dari para perantau tentang semangat juang dan etos kerja. Tidak malu buka usaha apa saja, karena biaya hidup kita tidak ditanggung oleh negara. Hanya saja, membandingkan pentol dengan tanah itu tentu sangat tidak seimbang, tapi maksudnya agar komunitas segera merubah mindset, jaman sudah berubah, bahkan kita tidak lagi berada di Era Millennium, tapi sudah masuk di Era Generasi Z dimana sebagian kita baru memulai Era Revolusi Industri Keempat (Era Industry 4.0) dibagian lain sudah beralih ke Era Revolusi Industri Kelima (Era Society 5.0). 

Dunia bergerak cepat, bayangkan 10 tahun lalu untuk pengambilan foto udara harus menyewa helikopter dan kameramen dengan peralatannya yang besar namun sekarang fungsi itu sudah digantikan oleh sebuah flying drone camera dengan harga yang terjangkau dan biaya operasional yang sangat jauh lebih ekonomis. Nganggurlah sang pilot, helikopter, kameramen dan peralatannya segera jadi barang antik. Itulah revolusi industri.

Kembali ke substansi soal tanah, penulis teringat kata-kata James Brooke yang bergelar Raja Putih saat diberi kekuasaan oleh Raja Brunei untuk menguasai Serawak (1841-1863). Brooke berpesan kepada Orang Dayak saat itu, Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik. Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemahlembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah dimana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.

Kalimat profetik itu mengerikan sekali tapi sudah banyak terbukti, ada banyak yang suka cita tanahnya masuk lokasi perusahaan tambang atau lahan perusahaan perkebunan, dapat ganti rugi lahan lalu bekerja diperusahaan tersebut sebagai karyawan non skill. Sangat ironis, nilai ganti rugi yang tidak seberapa hanya habis untuk benda-benda konsumtif, uang habis lalu tinggal terima nasib jadi kuli ditanah sendiri.

Sebelum semuanya terlambat, penulis mengajak untuk berlajar dari orang Bali dan orang Temasek (Singapura) bagaimana mengelola lahan kosong menjadi sebuah investasi yang tidak ada putus-putusnya. Bagaimana caranya, maka, jadilah investor dengan memanfaatkan tanahmu. Bukan dengan menjualnya!.

Pasti timbul pertanyaan, kok bisa disebut investor? Saya kan tidak punya uang yang banyak?

Sadarilah bahwa tanah itu adalah modal utama, nilai tanah sebaiknya mengacu kepada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berlaku berdasarkan keputusan Bupati, Gubernur atau Mentri tergantung diwilayah mana lokasi tanah tersebut. 

NJOP adalah taksiran harga untuk tanah dan bangunan dimana perhitungannya berdasarkan luas, zona rumah serta bangunannya. Atas dasar inilah nilai investasi yang dapat disertakan dalam kepemilikan saham kepada para pengembang atau pengelola. Tapi dengan syarat utama, lengkapi legalitas kepemilikan tanah dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh pihak BPN.

Setiap investor luar masuk hampir dapat dipastikan semua perlu real property berupa lahan yasan yang meliputi bangunan hunian, kantor, pabrik dan sebagainya untuk mendukung bisnis berjalan dengan baik. Investasi terbesar salah satunya adalah tanah. Nah disinilah giliran kita yang bisa berperan untuk menjadi mitra bisnis nya. Ada tiga bentuk kemitraan yaitu (1) Sistem disewakan (rental), (2) Sistem kerjasama dan bagi hasil (joint venture), (3) Sistem murni bagi hasil (fee). 

Semua memiliki resiko dengan imbalan cuan yang berbeda-beda tergantung pilihan masing-masing. Mau pilih resiko rendah ambil sistem rental hanya saja nilai cuan nya sedikit tapi konstan tidak tergantung untung ruginya pengembang atau pengelola. Mau resiko sedang ambil sistem fee dengan nilai cuan sudah barang tentu akan fluktuatif sesuai dengan naik turunnya produktifitas perusahaan. 

Jika berani ambil resiko besar maka pakai sistem joint venture dimana ada penyertaan modal dalam bentuk saham yang dapat diambil dari nilai tanah berdasarkan NJOP dan pengelolaan perusahaan dijalankan secara bersama-sama sesuai porsi yang disepakati. Kerjasama jenis yang terakhir ini biasanya tanah akan menjadi asset perusahaan yang juga dimiliki bersama. Nah menarik bukan!. Hanya bermodal tanah kosongpun kita bisa memiliki passive income bahkan memiliki sebuah perusahaan melalui metode kemitraan.

Ayo, masih tergoda untuk jual tanah sekarang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun