Makna positifnya, agar komunitas bisa belajar dari para perantau tentang semangat juang dan etos kerja. Tidak malu buka usaha apa saja, karena biaya hidup kita tidak ditanggung oleh negara. Hanya saja, membandingkan pentol dengan tanah itu tentu sangat tidak seimbang, tapi maksudnya agar komunitas segera merubah mindset, jaman sudah berubah, bahkan kita tidak lagi berada di Era Millennium, tapi sudah masuk di Era Generasi Z dimana sebagian kita baru memulai Era Revolusi Industri Keempat (Era Industry 4.0) dibagian lain sudah beralih ke Era Revolusi Industri Kelima (Era Society 5.0).
Dunia bergerak cepat, bayangkan 10 tahun lalu untuk pengambilan foto udara harus menyewa helikopter dan kameramen dengan peralatannya yang besar namun sekarang fungsi itu sudah digantikan oleh sebuah flying drone camera dengan harga yang terjangkau dan biaya operasional yang sangat jauh lebih ekonomis. Nganggurlah sang pilot, helikopter, kameramen dan peralatannya segera jadi barang antik. Itulah revolusi industri.
Kembali ke substansi soal tanah, penulis teringat kata-kata James Brooke yang bergelar Raja Putih saat diberi kekuasaan oleh Raja Brunei untuk menguasai Serawak (1841-1863). Brooke berpesan kepada Orang Dayak saat itu, “Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik. Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemahlembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah dimana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”
Kalimat profetik itu mengerikan sekali tapi sudah banyak terbukti, ada banyak yang suka cita tanahnya masuk lokasi perusahaan tambang atau lahan perusahaan perkebunan, dapat ganti rugi lahan lalu bekerja diperusahaan tersebut sebagai karyawan non skill. Sangat ironis, nilai ganti rugi yang tidak seberapa hanya habis untuk benda-benda konsumtif, uang habis lalu tinggal terima nasib jadi kuli ditanah sendiri.
Sebelum semuanya terlambat, penulis mengajak untuk berlajar dari orang Bali dan orang Temasek (Singapura) bagaimana mengelola lahan kosong menjadi sebuah investasi yang tidak ada putus-putusnya. Bagaimana caranya, maka, jadilah investor dengan memanfaatkan tanahmu. Bukan dengan menjualnya!.
Pasti timbul pertanyaan, kok bisa disebut investor? Saya kan tidak punya uang yang banyak?
Sadarilah bahwa tanah itu adalah modal utama, nilai tanah sebaiknya mengacu kepada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berlaku berdasarkan keputusan Bupati, Gubernur atau Mentri tergantung diwilayah mana lokasi tanah tersebut.
NJOP adalah taksiran harga untuk tanah dan bangunan dimana perhitungannya berdasarkan luas, zona rumah serta bangunannya. Atas dasar inilah nilai investasi yang dapat disertakan dalam kepemilikan saham kepada para pengembang atau pengelola. Tapi dengan syarat utama, lengkapi legalitas kepemilikan tanah dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh pihak BPN.
Setiap investor luar masuk hampir dapat dipastikan semua perlu real property berupa lahan yasan yang meliputi bangunan hunian, kantor, pabrik dan sebagainya untuk mendukung bisnis berjalan dengan baik. Investasi terbesar salah satunya adalah tanah. Nah disinilah giliran kita yang bisa berperan untuk menjadi mitra bisnis nya. Ada tiga bentuk kemitraan yaitu (1) Sistem disewakan (rental), (2) Sistem kerjasama dan bagi hasil (joint venture), (3) Sistem murni bagi hasil (fee).
Semua memiliki resiko dengan imbalan cuan yang berbeda-beda tergantung pilihan masing-masing. Mau pilih resiko rendah ambil sistem rental hanya saja nilai cuan nya sedikit tapi konstan tidak tergantung untung ruginya pengembang atau pengelola. Mau resiko sedang ambil sistem fee dengan nilai cuan sudah barang tentu akan fluktuatif sesuai dengan naik turunnya produktifitas perusahaan.
Jika berani ambil resiko besar maka pakai sistem joint venture dimana ada penyertaan modal dalam bentuk saham yang dapat diambil dari nilai tanah berdasarkan NJOP dan pengelolaan perusahaan dijalankan secara bersama-sama sesuai porsi yang disepakati. Kerjasama jenis yang terakhir ini biasanya tanah akan menjadi asset perusahaan yang juga dimiliki bersama. Nah menarik bukan!. Hanya bermodal tanah kosongpun kita bisa memiliki passive income bahkan memiliki sebuah perusahaan melalui metode kemitraan.