Sonja Lyubomirsky dalam Oxford Handbook of Stress, Health, and Coping mengatakan bahwa otak bertanggung jawab dalam memengaruhi tingkat kebahagiaan yang kita miliki.
Misalnya ketika kita mengalami suatu pengalaman atau perubahan yang menyenangkan seperti pertama kali menjalani hubungan. Walaupun sangat menyenangkan, tetapi perasaan ini secara natural akan berangsur-angsur surut.
Sebab, otak akan mengembalikan rasa senang ke garis dasar, yaitu posisi ketika kita tidak lagi merasakan kesenangan itu atau stabil.
Kemudian, karena sudah pernah mengalami kesenangan tersebut, muncul kecenderungan meremehkan bahkan mengabaikan sesuatu, contohnya hubungan.
Meskipun demikian, bukan berarti kita menerimanya begitu saja. Kita masih bisa mengatasinya agar kecenderungan ini tidak menimbulkan keretakan hubungan. Roxy menyarankan untuk berpikir kembali tentang betapa bahagianya hubungan yang sedang dijalani. Kita bisa mulai dengan bertanya, “Bagaimana hidupku jika tidak bertemu dengannya?” atau “Adakah alasanku untuk bersyukur dari hubungan ini?”.
Intinya, pertanyaan-pertanyaan ini berusaha memantik kita agar bisa menciptakan perspektif baru dari hubungan dan melawan kecenderungan otak.
2. Terbiasa dengan Hubungan yang Memiliki Pasang Surut Intens
Banyak orang yang dulunya menjalani hubungan dengan pasang surut intens atau tidak stabil. Menurut Roxy, pengalaman ini membuat mereka jauh lebih sedikit mengalami kecemasan dibanding yang belum.
Akibatnya, ketika menjalani hubungan stabil, muncul perasaan yang cenderung membosankan.
Lagi-lagi, Roxy menyarankan untuk berpikir kembali sehingga keretakan hubungan tidak terjadi akibat faktor ini. Caranya adalah dengan mengingatkan diri mengapa hubungan sebelumnya tidak berhasil.
Dengan demikian, akan muncul perspektif baru yang dapat mengatasi faktor ini.