Mohon tunggu...
Medio Podcast Network
Medio Podcast Network Mohon Tunggu... Lainnya - Medio by KG Media

Medio, sebagai bagian dari KG Radio Network yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut. Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Selanjutnya

Tutup

Metaverse Pilihan

Sebelum Era Metaverse Tiba, Mari Rapikan Kemampuan Komunikasi Virtual Kita

5 Mei 2022   14:00 Diperbarui: 5 Mei 2022   14:03 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (freepik.com)

Oleh: Harry Febrian

KITA semua sepakat bahwa pandemi Covid-19 berhasil mengobrak-abrik tatanan komunikasi di berbagai aspek, termasuk dunia kerja. 

Work From Office (WFO) dan Work From Home (WFH) kini jadi istilah sehari-hari. Begitu pula penggunaan aplikasi rapat daring. 

"The great acceleration," kata Profesor Marketing dari New York University, Scott Galloway, untuk merujuk pada dampak paling enduring dari pandemi ini. 

Maksudnya, hal-hal yang tadinya butuh waktu lama, tiba-tiba serentak berubah dalam waktu sedemikian pendek. 

Barang kali kita ingat bagaimana perusahaan dan universitas berlomba-lomba untuk menjanjikan pembelajaran dan rapat virtual belasan tahun lalu. Namun, hal itu belum membuahkan hasil. 

Skype, misalnya, sudah eksis bertahun-tahun, tapi tidak berhasil mencapai critical mass-nya. 

Bandingkan dengan Zoom yang dalam dua tahun terakhir melejit sehingga sudah menjadi suatu kata: zooming, seperti halnya googling.

Belum kita khatam dengan segala bentuk komunikasi virtual di era pandemi ini, jargon baru, yaitu metaverse sudah digaungkan. Ketika Facebook menjelma menjadi Meta, semua membicarakan dunia virtual ini. 

Bill Gates, di catatan akhir tahun 2021-nya, meramalkan, "Mayoritas rapat virtual akan bergeser ke metaverse, dengan avatar di dunia tiga dimensi." 

Pertanyaan penting untuk semua yang percaya komunikasi itu krusial di dunia kerja: dengan disrupsi yang semakin masif, bagaimana kita bisa tetap berkomunikasi dengan efektif di era digital ini? 

Mulai dengan ber-video call lebih efektif 

Awal 2022 ini, sempat ada yang menduga kita akan pelan-pelan kembali ke tempat kerja secara fisik. 

Akan tetapi, selain karena sejumlah varian virus yang bermutasi, kebiasaan berkomunikasi lewat aplikasi rapat daring, sepertinya mulai mengakar. 

Rapat virtual adalah tulang punggung untuk kerja jarak jauh yang makin populer. 

Riset dari Bloomberg menunjukkan 49 persen pekerja generasi millenial dan Gen Z di AS memilih mengundurkan diri jika tidak diberi opsi kerja jarak jauh. 

Di Indonesia, konon sejumlah start-up menawarkan opsi WFH untuk menggaet pekerja dari perusahaan saingan yang sudah mengharuskan WFO kembali. 

Oleh karena itu, mau tak mau, kita harus makin paham cara berkomunikasi secara virtual. 

Besar kemungkinan, isu-isu yang ada akan terus eksis hingga era rapat virtual dengan avatar di metaverse tiba. 

Menyadari realitas zoom fatigue 

Disadari atau tidak, banyak yang merasakan kepungan rapat virtual membuat proses komunikasi di dunia kerja jadi semakin melelahkan. 

Mungkin sekilas terdengar aneh, karena kita tidak banyak menghabiskan waktu untuk bergerak. Akan tetapi, kenapa kerja jarak jauh bisa terasa lebih melelahkan?

Salah satu penjelasan paling komprehensif soal fenomena ini berasal dari riset Jeremy Bailenson, Profesor Komunikasi sekaligus Founding Director Stanford Virtual Human Interaction Lab (VHIL). 

Bailenson mengidentifikasi empat alasan mengapa rapat virtual via video dengan waktu yang lama bisa menimbulkan perasaan lelah atau zoom fatigue. 

Pertama, kontak mata yang tidak natural dan eksesif. Berbeda dengan rapat tatap muka langsung, mata kita mengalami input yang berbeda-beda. 

Akan tetapi, dalam video call, semua orang melihat satu hal dalam waktu bersamaan. Seorang public speaker sering mengalami kesulitan karena mengira ada di dalam situasi yang intens. 

Kedua, selain melihat orang lain, kanal video call biasanya membuat kita juga melihat wajah kita sendiri terus menerus di layar. 

Hal ini cukup melelahkan karena studi membuktikan kita cenderung lebih kritis terhadap diri sendiri ketika melihat refleksi diri. 

Kemudian, muncul beragam pertanyaan, seperti "Apakah rambut saya sudah rapi?". 

Ketiga, kurangnya mobilitas. Berbeda dengan situasi tatap muka langsung ketika kita mungkin bisa bergerak ataupun berjalan, dalam video call, kita hanya terpaku di tempat yang sama. 

Keempat, beban kognitif yang lebih berat. Komunikasi secara langsung saja tidak mudah, apalagi dengan mediasi video yang membuat kita harus bekerja lebih keras dalam mengirim dan menerima sinyal komunikasi. 

Misalnya, kita harus mendengarkan rapat sambil memastikan apakah posisi video kita sudah pas. 

Selain itu, saat ingin memberikan respons kepada orang lain, kita harus mengangguk dengan sedikit berlebihan agar terlihat. 

Untungnya, Bailenson juga memberikan sejumlah tips untuk meminimalisasinya. 

Pertama, usahakan tidak menggunakan layar secara penuh. Jika memungkinkan, gunakanlah keyboard eksternal. Kombinasi ini bisa meningkatkan personal space antara kita dan peserta rapat lainnya. 

Lalu, gunakan fitur hide self-view agar kita tidak perlu melihat diri sendiri secara terus-menerus. 

Matikanlah kamera video kita sesekali sehingga ada sedikit jeda rehat. Lebih baik lagi, hal-hal ini bisa disepakati bersama sebelum rapat. 

Terakhir, jangan sungkan untuk melakukan audio only break, yaitu kita mematikan video dan mengistirahatkan diri dari pesan nonverbal. Dan, gunakanlah kesempatan ini untuk melakukan peregangan badan singkat. 

Selain tips-tips komunikasi yang bisa dilakukan oleh diri sendiri, penting juga menyadari peran dari pemimpin perusahaan ataupun organisasi dalam menjaga kesehatan para bawahannya. 

Buatlah aturan-aturan yang membantu pekerja agar bisa lebih maksimal. 

Inisiatif Amit Agarwal di 2018, yang kala itu menjabat sebagai Country Manager Amazon India, bisa jadi contoh. 

Dari jauh hari, Amit memerintahkan anak buahnya agar berhenti membalas pesan ataupun melakukan rapat di luar jam kerja. 

Protokol komunikasi yang baik seperti ini menjadi semakin relevan. Rapat virtual dan berbagai wujud komunikasi virtual lainnya, seperti surel, aplikasi rapat, hingga aplikasi pesan singkat, berpotensi menimbulkan fatigue-fatigue lainnya. 

Sebelum Metaverse dan berbagai turunan komunikasi virtualnya menjadi semakin pervasif dalam dunia kerja, alangkah eloknya jika kita pelan-pelan membereskan proses komunikasi dasar satu per satu. 

Tentunya, hal ini bisa dimulai dari diri kita sendiri. 

Dengarkan perbincangan selengkapnya bersama Harry Febrian, seorang Pemerhati Komunikasi Digital dan Kandidat Doktor di RMIT University, Australia, melalui siniar Obsesif musim keempat bertajuk "Komunikasi, Teknologi, dan Medsos dalam Keterbatasan Koneksi Nyata". 

Akses sekarang juga melalui tautan berikut dik.si/obsesifharryf.

*Harry Febrian
Pemerhati Komunikasi Digital, Kandidat Doktor di RMIT University, Australia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun