Oleh: Alifia Riski Monika dan Ikko Annata
Pernah dengar istilah toxic positivity? Istilah ini populer karena kalimat positif yang dilontarkan seseorang, justru berbarengan dengan dampak emosi negatif yang ditimbulkan. Sehingga hal ini menjadi 'racun' bagi mereka yang menerimanya.Â
Apa sebenarnya toxic positivity?Â
Melansir medicalnewstoday.com, toxic positivity merupakan obsesi pemikiran positif atau keyakinan bahwa orang harus memberikan pandangan yang positif pada semua pengalaman, meski pengalaman tersebut sangat tragis.Â
Toxic positivity dapat membungkam emosi negatif, merendahkan kesedihan, dan membuat orang merasa tertekan dengan berpura-pura bahagia.Â
Toxic positivity bisa terjadi pada hubungan asmara, keluarga, bahkan dalam lingkup pertemanan. Nana (nama samaran) juga mengalami pengalaman tidak mengenakkan karena mendapat toxic positivity dari orang terdekat.Â
Kisahnya mendapat saran dari Psikolog Novita Tandry yang bisa didengarkan lewat siniar Anyaman Jiwa bertajuk "Memiliki Teman yang Toxic Positivity".
Ungkapan positif sebagai penyemangat, sejatinya hal yang baik, namun bisa jadi racun yang justru merusak bila tidak disampaikan dengan bijak. Suatu kalimat positif bisa disebut toxic, jika kata-kata tersebut menyederhanakan, menyepelekan, dan mengecilkan emosi atau masalah yang dialami seseorang seakan-akan pemikiran negatif tidak boleh dirasakan.Â
Lalu apa saja bahaya yang terjadi ketika kita mendapat toxic positivity?Â
Mengabaikan Rasa Sakit yang NyataÂ
