Mohon tunggu...
Medio Podcast Network
Medio Podcast Network Mohon Tunggu... Lainnya - Medio by KG Media

Medio, sebagai bagian dari KG Radio Network yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut. Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pandemi dan Fenomena Seputar Kesehatan Mental Remaja

3 April 2022   14:45 Diperbarui: 3 April 2022   14:47 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Alifia Putri Yudanti & Brigitta Valencia Bellion 

Kesehatan mental kembali menjadi isu yang sering digaungkan selama era pandemi. 

Perubahan pola hidup secara tiba-tiba membuat semua orang harus beradaptasi lagi. Akan tetapi, tidak semua orang mampu untuk melakukan hal itu. 

Masa-masa remaja adalah waktu yang tepat untuk mengembangkan diri dan produktif. Banyak tekanan yang datang dari orang terdekat dan mengharuskan mereka untuk terus berkembang. 

Sementara itu, sebagiannya lagi sudah ada yang berpikir jangka panjang; untuk menjadi tumpuan keluarga. 

Oleh karenanya, mereka dituntut untuk melakukan banyak hal dalam satu waktu. 

Hal ini didukung dengan data UNICEF, yang menyebutkan bahwa secara global, setidaknya satu dari tujuh anak mengalami dampak akibat pembatasan sosial berupa karantina. 

Sementara itu, 1,6 miliar anak terdampak oleh terhentinya proses belajar mengajar. 

Selain itu, gangguan terhadap rutinitas, pendidikan, rekreasi, serta kecemasan seputar keuangan keluarga dan kesehatan membuat banyak anak muda merasa takut, marah, sekaligus khawatir akan masa depan mereka. 

Padahal, menurut penuturan Benny Prawira Siauw, Founder Into The Light Indonesia dalam siniar OBSESIF, pandemi justru menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk menyadari bahwa diri sedang tidak baik-baik saja. 

Justru, dengan mencoba menjadi sosok yang kuat, hal tersebut dapat memicu stres berkepanjangan. Tak hanya itu, hubungan sosial pun juga terganggu.

Waspada kelelahan mental 

Saat tubuh telah mengirim sinyal bahwa pikiran sedang tak baik-baik saja, terkadang kita tak menyadari itu. 

Justru, sinyal tersebut dianggap enteng dan diri semakin mengejar target hingga lupa akan kondisi tubuh. 

Padahal, bisa jadi, ternyata tubuh kita telah mengalami tanda-tanda kelelahan mental. 

Pertama, kita mulai kehilangan minat sehingga akan merasa apa yang dilakukan tak bermakna. 

Tanda-tanda ini sangat umum terjadi di kalangan remaja. Misalnya, saat biasanya senang menonton drama Korea sebagai distraksi, kita tak akan merasakan perasaan emosional lagi saat menontonnya. 

Kedua adalah perubahan pola hidup yang mencakup pola tidur dan pola makan. Padahal, keduanya merupakan aktivitas esensial bagi manusia. 

Saat pola tidur kacau, maka akan memengaruhi cara berpikir sehingga akan cenderung mudah stres. 

Pola tidur yang tak tepat?meskipun memiliki lebih banyak waktu tidur?juga akan membuat badan tak terasa segar saat bangun. 

Oleh karena itu, kedua tanda utama ini perlu diperhatikan lebih lanjut. Apabila tubuh kita memiliki dua sinyal di atas, maka perlu diwaspadai dan mengubah pola hidup secara perlahan agar kembali normal. 

Tak meratanya akses profesional 

Meskipun sosialisasi kesehatan mental sedang naik daun. Akan tetapi, hal ini hanya sampai di wilayah-wilayah perkotaan atau yang memiliki akses informasi memadai. 

Bagi wilayah terpencil, informasi terkait kesehatan mental masih sangat minim. 

Selain kendala akses informasi, kendala lainnya adalah di penanganan oleh profesional. 

Menurut data Kemenkes, sampai hari ini jumlah psikiater untuk pelayanan kesehatan mental hanya sebanham 1.053 orang. 

Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250.000 penduduk. Oleh karena itu, hal ini juga merupakan salah satu beban pemerintah untuk terus berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. 

Benny juga menuturkan masalah akses ini dapat berujung pada tindakan self-diagnose. Selain jumlah profesional yang sedikit, biaya pengobatan yang belum merata juga menjadi faktor maraknya tindakan tersebut. 

Apalagi, harga obat dan perawatan bagi pasien tak tergolong murah. Pun juga perawatan harus dilakukan pasien secara rutin. 

Fenomena diagnosis mandiri 

Meruntut dari faktor ekonomi, faktor-faktor lain, seperti mudahnya akses internet juga menjadi salah satu penyebab banyaknya fenomena self-diagnose. 

Selain itu, maraknya romantisasi gangguan mental yang beredar di media sosial juga menjadi faktor terjadinya fenomena ini. 

Munculnya budaya bahwa gangguan mental adalah hal yang menarik dan estetik di media sosial membuat self-diagnose meningkat. 

Para remaja menganggap bahwa kehidupan "normal" itu arus utama sehingga ingin terlihat lebih keren dengan titel gangguan mental. 

Padahal, justifikasi negatif terhadap diri sendiri inilah yang kemudian menjadi akar dari tindakan self-diagnose. 

Sebenarnya, yang dibutuhkan oleh kita adalah self-awareness bukan self-diagnose. 

Self-awareness membuat diri lebih waspada akan apa yang sedang dialami oleh tubuh kita. 

Melalui itu, kemudian kita mulai mencari-cari informasi terkait kondisi diri dan profesional untuk penanganan lebih lanjut. 

Mencari bantuan 

Saat kita merasa diri tidak baik-baik saja dan cocok dengan kondisi yang dijelaskan oleh situs daring, hal yang sangat perlu dilakukan adalah berkonsultasi dengan profesional. 

Saat ini, kemajuan HealthTech membuat telemedicine menjadi alternatif untuk berkonsultasi. 

Selain telemedicine, kita juga dapat mencurahkan segala pikiran dan masalah ke orang yang dipercaya. 

Atau, kita dapat melampiaskan dengan menuliskannya di buku catatan.

Intinya, jangan sampai menunggu kondisi badan atau pikiran semakin parah. Dengan menunda-nunda, tentu akan membuat jangka waktu pemulihan semakin lama. 

Stigma kesehatan mental 

Stigma-stigma di masyarakat terkait kesehatan mental juga masih banyak terjadi. 

Hal ini membuktikan bahwa diperlukan usaha sosialisasi lebih giat dan pemahaman intens dari masyarakatnya sendiri. 

Stigma adalah suatu hal yang terus dibicarakan oleh individu, kemudian diperkuat dengan 'katanya', dan disebarkan secara masif. 

Untuk menghilangkan stigma, masyarakat juga perlu memahami apa yang dirasakan penyintas melalui bacaan-bacaan yang tersedia di internet atau penyuluhan. 

Selain itu, kepedulian untuk mendengarkan cerita dan tidak menyudutkan penyintas juga diperlukan. 

"Diajak untuk skeptis deh, belajar untuk kritis deh, belajar untuk terbuka deh kalau apa yang kita yakini salah. Sering kali orang yang punya pandangan stigmatis, mereka enggak mau buka hati dan pikiran karena udah sayang sekali sama apa yang mereka yakini dalam diri mereka. Pengetahuan bisa diperbarui," ujar Benny. 

Melalui siniar OBSESIF musim keempat episode dua, Benny memberikan pandangannya terkait isu kesehatan mental yang marak diperbincangkan pada masa pandemi.

Simak pemaparan Benny Siauw selengkapnya hanya di podcast OBSESIF bertajuk "Keeping Sanity in Era of Insanity" hanya di Spotify.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun