Wiji Thukul, seniman dan aktivis hak asasi manusia yang dihilangkan secara paksa pada momen titik nol reformasi Indonesia, meninggalkan separuh bagian dirinya dalam Fajar Merah, putranya, yang kala itu masih berusia balita.
Puluhan tahun berselang, Fajar hadir ke publik sebagai musisi. Ia membawakan berbagai lagu yang sejatinya adalah puisi yang dimusikalisasi. Puisi tersebut tidak lain adalah ciptaan mendiang bapaknya.
Salah satunya berjudul Puisi untuk Adik yang pada masanya ditulis oleh Thukul saat keadaan keluarganya sedang sulit. Sesuai dengan judulnya, puisi tersebut ditujukan bagi kedua adiknya.
Fajar menafsirkan, melalui puisi tersebut, Thukul berusaha untuk tegar dengan cara memotivasi adik-adiknya. Ia menganggap puisi yang dibuat bapaknya adalah bentuk perlawanan terhadap keadaan yang menimpanya.
"Aku suka melawan di puisi itu karena itu ditujukan untuk suatu ketidaktahuan ya, mungkin. Jadi itu hal yang membuat aku tertarik untuk memusikalisasikan puisi, itu karena ketidaktahuan itu adalah kemiskinan yang membahayakan," tutur Fajar.
Hingga saat ini, puisi karangan Thukul pun masih terasa relevan dengan kondisi sehari-hari bagi banyak orang. Permasalahan ekonomi, tanggungan hidup yang berat; dalam porsinya masing-masing.
"Kita ternyata adalah adik-adik dari tulisan itu," ucap Fajar.
Musik sebagai bentuk penghormatan
Darah seni Thukul nyatanya mengalir lewat putra kelahiran 1993 ini. Fajar yang memilih jalan sebagai seniman, merasa bahwa musik adalah salah satu caranya dalam menyelesaikan masalah juga menyelamatkan akal sehat.
Semenjak melancangkan kolaborasi dengan penyanyi beraliran rock and roll Melanie Subono dalam musikalisasi puisi Sajak Suara, Fajar tergelitik untuk mengadopsi semakin banyak puisi karangan bapaknya.
Dari November lalu hingga bulan Mei, ia pun membuat album yang bertajuk Dia Ingin Jadi Peluru (Tribute To Wiji Thukul). Album tersebut berkomposisikan puisi-puisi populer dan beberapa puisi kurasi Fajar.
Puisi pilihannya tersebut justru bukanlah yang cenderung bermuatan politik seperti yang banyak dikenal orang. "Aku malah lebih tertarik kadang dengan hal-hal yang itu tidak berat gitu loh, kadar isunya," ungkapnya.
Alih-alih bergulat di politik, ia berterus terang kalau minatnya didominasi oleh hal-hal berbau seni walau tak bisa dimungkiri, keduanya sering kali bersinggungan. Fajar pun menekankan bahwasanya musik yang ia ciptakan tidak dilandasi oleh motif selain bentuk penghormatannya kepada sang bapak.
"Aku hanya sekadar seorang anak yang bagaimana caranya memberi penghormatan pada bapaknya lewat musik yang aku buat, yang di dalamnya ada tulisan-tulisan bapak," tutur Fajar.
Cara berjuang yang berbeda
Pada berbagai kesempatan, banyak orang yang berharap dan mendorong Fajar untuk melanjutkan perjuangan Thukul. Pesan-pesan ini bahkan diterimanya melalui media sosial.
"Aku pikir, ya, kita semua itu pejuang gitu loh. Kita bisa berjuang dengan cara kita masing-masing," ucap Fajar.
Ia berharap, orang-orang tidak meletakkan ekspektasi pada dirinya dan membiarkan ia berjuang dengan cara yang ia pilih.
"Karena mungkin aku akan mengecewakanmu. Lebih baik kita menjalankan peran masing-masing kita sebagai manusia, gitu aja. Dan aku ya cuma bagian dari itu yang tugasnya itu menyelaraskan nada dengan kata," imbuhnya.
Cerita ini dikutip dari episode ke-11 siniar BEGINU season dua yang bertajuk "Fajar Merah, Wiji Thukul dan Cara Berbeda Melawan Rezim". Selengkapnya, Fajar berbincang dengan Pemimpin Redaksi Kompas.com, Wisnu Nugroho tentang mimpi Fajar dalam bermusik serta jalan berbeda yang ia tempuh untuk berjuang.Â
Dengarkan BEGINU di Spotify dengan cara klik ikon di bawah atau mengunjungi situs berikut ini https://bit.ly/S2E11Beginu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H