"Kamu, kenapa suka anak-anak?"
Aku berpikir ini akan menjadi topik menarik sampai akhirnya bus yang kamu tunggu datang. Di sebuah halte, aku membuka perbincangan sore itu. Kita tidak hanya berdua. Banyak orang-orang yang juga sepertimu, sedang menunggu bus untuk pulang.
"Kata Nabi, sayangilah mereka, maka Allah akan menyayangi kita. Aku ingin disayang Dia." Caramu menjawab mengesankan sekaligus lucu. Menatap langit sore sambil memasang wajah indah, tersenyum. Membuatku ingin ikut tersenyum oleh jawabanmu juga tingkahmu yang tak berani menatap si penanya, aku. "Kalau kamu, kenapa suka buku? Aku lihat kamu hobi sekali membelinya. Apa sudah kamu selesaikan semua buku-buku itu?" Kamu balik bertanya dan kali ini aku dibuat sedikit terkejut. Wow. Kamu berani menatapku. Cuma sebentar. Namun, sangat memesona bagiku.
"Kamu benar. Banyak sekali buku-buku di rumahku. Ibuku sampai mengomel karena buku-buku itu sudah menggeser posisi piring-piring koleksinya di lemari pajangan. Aku cuma ingin nantinya anak-anakku senang membaca buku-buku itu. Tidak seperti ayahnya yang penggila game ini." Aku tertawa kecil di ujung kalimat, dan sepertinya kamu juga ikut tersenyum mendengarnya.
Suasana hening kembali. Bus yang kamu tunggu pun tak datang-datang dan aku senang. Seperti ini saja sampai senja menghilang, itu jauh lebih baik. Doa yang sialan memang.
"Kamu penyuka anak-anak sementara aku punya cita-cita anak-anakku suka dengan buku-bukuku kelak. Apa kamu tidak menyadari, kalau kita ini ... serasi?" Aku bukan penggombal ulung, jadi untuk bicara ini, dadaku sedikit deg-degan. Meski kuakui, ini tidak jentelmen sama sekali. Bukannya kamu masih punya wali, tempat aku menyampaikan ini?
Aku menunggu, lumayan kesal karena kamu tak juga memberi jawaban. Sampai akhirnya kesialan kecil lain menimpa, bus yang kamu tunggu datang. Sial. Sial. Sial.
'Bisa tidak, Pak Sopir, jalankan busnya lebih pelan sebelum sampai kemari? Lima menit saja.'
Kamu tetap duduk sambil menatap tanah di bawah kursimu. Diam.
Namun, aku belum rabun sampai melewatkan wajahmu yang merona tiba-tiba. Senyuman manis juga tidak bisa kamu tutupi. Itu terlalu nyata. Seperti kebiasaan perempuan lain, maka kali ini aku juga yakin, diammu adalah jawaban. Kamu setuju, bahwa kita memang ... serasi. Semesta bak ikut merayakan sebuah perayaan kecil di lubuk hati. Burung-burung kecil yang pulang menuju sarang, terbang indah menyempurnakan warna jingga senja sore itu.
Pertemuan sore itu berakhir dengan aku tersenyum senang menatap bus yang membawamu pulang. Kamu yang tersenyum indah di ujung senja hari ini, di atas kursi roda. Sebab bagi mereka yang melihatmu, kamu adalah si gadis cacat kaki.
Namun, tidak di mata laki-laki ini.
***
Kelainan pada kromosom tulang sepanjang lutut sampai telapak kaki. Bertahun-tahun menarik tuas dan mengayuh kursi roda dengan jari-jari cantiknya. Lumpuh kaki, tetapi tidak lumpuh hati. Itulah dirimu yang jelita di mataku. Wanita yang semakin bagai mutiara di tengah samudera, saat kudengar tujuan hidupnya untuk kali pertama. Saat kita mulai dekat, saat satu sama lain mau saling membuka diri.
"Bermanfaat untuk sesama. Kamu tentu lihat diriku bagaimana. Jika cacat tak punya manfaat, rasanya aku hanya menjadi seonggok daging saja." Itu katamu. Terlalu tajam di telinga, terlalu mengiris hati. Meski aku tahu, dirimu bukan wanita haus simpati. Hal-hal yang akan membuat terenyuh pendengarnya, hanya akan kamu bicarakan kepada orang-orang tertentu, yang mungkin istimewa bagimu. Hei, tunggu! Jadi untukmu, benarkah aku istimewa? Yang aku tahu, dirimulah yang berpredikat itu di mata, juga tentu di hatiku. Sampai tidak ada alasan lagi untuk tidak menggenggam tanganmu, hidup bersama.
"Jadi, kamu setuju?"
Kamu mengangguk sambil menatap ujung kaki, menyembunyikan rona malu, juga mungkin bahagia.
Kita duduk di kursi besi panjang di halte bus, seperti senja yang sudah-sudah. Meski bagiku, warna jingga kali inilah yang paling indah.
Kepulan asap sialan dari corong-corong knalpot bus yang melintasi jalanan di depan kita, bagai bau-bau bunga yang baru saja mekar bagi hidungku. Saking bahagianya.
Aku masih tak berani menyentuh tanganmu yang lembut itu, tetapi esok hari akan kuberanikan untuk membawamu ke depan Bapak dan Ibu.
"Jangan gila, Ibrahim! Kamu anak kami satu-satunya, dan akan menikahi perempuan seperti dia? Kami tidak setuju! Bagaimana nanti caranya dia melayanimu? Memasak atau mengurus rumah kalian, juga anak-anakmu, jika dia cacat begitu. Ibu akan pilihkan yang lebih baik darinya jika memang kamu sudah siap untuk berumah tangga."
Selesai menolak keras niatku, Ibu berjalan cepat menuju kamarnya. Untungnya, dia masih berbaik hati dengan tidak mengatakan itu di depanmu. Aku pastikan saat Ibu sedang meluapkan emosinya itu, kamu sudah dalam perjalanan pulang di dalam bus. Mungkin dengan hati yang menerka-nerka, sebab saat kamu duduk tenang di ruang tamu sambil selalu memasang senyuman, mereka tidak memberikan komentar apa-apa. Membisu.
Maaf, maafkan aku, Jelitaku. Pemilik mata jernih nan sayu.
"Kalau ibumu sudah bicara seperti itu, Bapak tidak punya wewenang lagi," tambah Bapak. Lalu berjalan menuju teras depan, setelah menepuk pundak kananku. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H