Mohon tunggu...
Medina MeccaZy
Medina MeccaZy Mohon Tunggu... Guru - Nona

Si Pemimpi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Katakan Kepada Cinta, bahwa Aku Ingin Berlari Bersamanya (Bagian 1)

28 Januari 2020   13:00 Diperbarui: 2 Februari 2020   14:22 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertemuan sore itu berakhir dengan aku tersenyum senang menatap bus yang membawamu pulang. Kamu yang tersenyum indah di ujung senja hari ini, di atas kursi roda. Sebab bagi mereka yang melihatmu, kamu adalah si gadis cacat kaki.

Namun, tidak di mata laki-laki ini.

***

Kelainan pada kromosom tulang sepanjang lutut sampai telapak kaki. Bertahun-tahun menarik tuas dan mengayuh kursi roda dengan jari-jari cantiknya. Lumpuh kaki, tetapi tidak lumpuh hati. Itulah dirimu yang jelita di mataku. Wanita yang semakin bagai mutiara di tengah samudera, saat kudengar tujuan hidupnya untuk kali pertama. Saat kita mulai dekat, saat satu sama lain mau saling membuka diri.

"Bermanfaat untuk sesama. Kamu tentu lihat diriku bagaimana. Jika cacat tak punya manfaat, rasanya aku hanya menjadi seonggok daging saja." Itu katamu. Terlalu tajam di telinga, terlalu mengiris hati. Meski aku tahu, dirimu bukan wanita haus simpati. Hal-hal yang akan membuat terenyuh pendengarnya, hanya akan kamu bicarakan kepada orang-orang tertentu, yang mungkin istimewa bagimu. Hei, tunggu! Jadi untukmu, benarkah aku istimewa? Yang aku tahu, dirimulah yang berpredikat itu di mata, juga tentu di hatiku. Sampai tidak ada alasan lagi untuk tidak menggenggam tanganmu, hidup bersama.

"Jadi, kamu setuju?"

Kamu mengangguk sambil menatap ujung kaki, menyembunyikan rona malu, juga mungkin bahagia.

Kita duduk di kursi besi panjang di halte bus, seperti senja yang sudah-sudah. Meski bagiku, warna jingga kali inilah yang paling indah.

Kepulan asap sialan dari corong-corong knalpot bus yang melintasi jalanan di depan kita, bagai bau-bau bunga yang baru saja mekar bagi hidungku. Saking bahagianya.

Aku masih tak berani menyentuh tanganmu yang lembut itu, tetapi esok hari akan kuberanikan untuk membawamu ke depan Bapak dan Ibu.

"Jangan gila, Ibrahim! Kamu anak kami satu-satunya, dan akan menikahi perempuan seperti dia? Kami tidak setuju! Bagaimana nanti caranya dia melayanimu? Memasak atau mengurus rumah kalian, juga anak-anakmu, jika dia cacat begitu. Ibu akan pilihkan yang lebih baik darinya jika memang kamu sudah siap untuk berumah tangga."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun